06. Hukuman Intan

26 10 0
                                    

"Cantik banget anak papa pagi-pagi. Beneran mau berangkat sekarang?" Tanya papa sembari mengusap-usap handuk pada kepalanya yang basah dan mulai beruban.

Dulu sewaktu mama masih ada, Intan selalu konsisten bangun pada jam dimana mama akan menggoyangkan tubuh putrinya. Selalu seperti itu setiap hari bahkan di hari minggu. Sekarang berbeda cerita. Karena mama tak perlu lagi datang susah payah dan naik ke lantai dua lewat tangga yang kapanpun bisa membuat kakinya terasa pegal. Mama memilih tertidur pulas memeluk rumah terakhirnya. Membiarkan seluruh tanggung jawab kecil-kecilan perkara bangun pagi pada Intan. Dengan rajin semenjak kepergiannya, Intan juga membangunkan papa untuk pergi berangkat ke kantor.

"Aku udah bikin spaghetti yang paling enak buat papa. Kalau mama bisa makan juga pasti mama bakal puji aku. Suruh aku jadi koki aja daripada jadi arsitek." Omel gadis itu panjang lebar sembari menyampirkan tas ransel sekolahnya di belakang punggung. Gantungan serigala yang selalu bertengger di resleting depan tas juga ada disana. Hadiah kecil dari mama saat perkumpulan guru pergi karyawisata ke kota sebelah.

"Siap, Komandan!" Papa mengangkat tangannya hormat pada putri kecil yang selalu ia sayang. Putri kecil yang mungkin sekarang bisa saja tersenyum namun tidak dengan hatinya. "Hati-hati ya nanti diculik orang jahat." Lanjut papa setelah merangkul Intan dan mengantarnya sampai ke depan pintu utama rumah.

"Intan udah gede kali, Pa." Bola mata Intan berotasi malas menghadapi papa dengan mode usilnya. "Lagian ada yang jagain juga kok." Lanjutnya senyam-senyum seperti orang kerasukan sebelum kemudian netranya menangkap sosok yang ia ingin lihat sedari malam kemarin. Delian menunggu gadis itu di depan rumah. Menyunggingkan senyum paling manis dari yang paling manis. Bahkan cokelat Toblerone pun kalah mutlak jika dibandingkan olehnya.

Saat netra mereka bertemu, ada jutaan rasa bahagia yang ingin disambut sorak riang dari dalam gundah masing-masing hati yang kemarin tak berangsur membaik. Kupu-kupu tanpa permisi mengucapkan selamat pagi di lenggangnya jalanan menuju halte bus.

"Aku mau ke laut dulu. Masih ada dua jam sebelum bel sekolah bunyi. Lian ikut?" Tanya Intan pada laki-laki yang tadinya mengayunkan kakinya saat duduk di halte bus sebelum mulai fokus pada pertanyaan yang dilontarkan Intan. Delian mengangguk sebagai balasan.


***


"Sakit ya Del? Soal Jia... ?"

"Jawab jujur iya. Tapi baru kemarin aku bersyukur karena liat mereka berdua terang-terangan kayak gitu di depanku. Jadi pelajaran. Kalau emang manusia itu nggak ada yang bisa dipercaya. Manusia bisa berubah kapan aja. Bahkan yang udah bilang sayang aja tau-tau pindah hati seenaknya sendiri."

"Jadi kamu senang?"

"Nggak juga. Ada plus minusnya, Tan. Aku bener-bener berterimakasih sama Tuhan karena dibiarin ngeliat mereka yang ternyata pengkhianat sama mata kepala aku sendiri. Tapi rasanya sakit juga, karena waktu itu aku udah jatuh sejatuh-jatuhnya sama dia. Aku pikir dia bakal jadi yang pertama juga terakhir."

"Sudah ikhlas?"

"Sudah. Lahir batin. Kamu sendiri gimana?"

"Kalau yang kamu tanyain perihal mama sih kayaknya aku nggak perlu jawab." Intan tersenyum, kemudian kembali memfokuskan pandangannya pada hamparan air disana. "Sama kok Del kayak kamu. Aku sudah ikhlas, lebih dari ikhlas kalau buat mama. Seneng juga akhirnya aku nggak bakal ngeliat mama yang setiap malam mimisan. Demi Tuhan, mama itu kolotnya minta ampun. Sudah tahu capek masih aja maksa kerja. Sebegitu cintanya dia sama pekerjaannya."

"Emang yang berlebihan itu nggak bagus, Tan."

"Del, kamu jangan pergi dulu ya. Masa bodo kamu mikir aku ke kamu cuma ada butuhnya. Tapi kalau kamu nggak ada waktu itu, mungkin aku juga nggak akan ada disini sekarang."

DENTING | Renjun ✅Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang