10. Mimpi Delian

36 11 0
                                    

"Kamu belum sarapan loh, Tan. Mau papa buatin sesuatu?" Ucap papa sembari meletakkan kunci mobil ke dalam nakas. Dirasa tubuhnya tak begitu letih setelah berkunjung ke makam, papa menawarkan untuk membuat sarapan sesuai keinginan putrinya.

Intan menggeleng dan melesat begitu saja ke dalam kamar tidurnya. Karena sedari tadi Intan merengek agar steak menjadi menu sarapan mereka berdua. Mengingat tak ada restoran steak yang buka sepagi itu, ia berniat membuat mie instan saja. Papa menggeleng-gelengkan pelan kepala menyadari betapa cinta anaknya pada steak. Persis seperti istrinya. Berbeda dengan papa yang lebih menyukai seafood.

Jendela kamar yang terbuka lebar menyiratkan sinar surya yang seharusnya menyambut kebahagiaan. Tak berlaku bagi satu insan yang dengan ribuan rasa gelisah terpaku pada secarik kertas yang ia temukan tak sengaja di dalam tasnya sekian jam berlalu. Lantas jari itu bergerak kesit membuka lipatan kertas membuat beberapa kata yang tertulis nampak jelas siap untuk dibaca.

Selamat pagi siang ataupun malam Intan! Karena aku nggak tahu kapan kamu bakal buka surat ini. Aku mau cerita sekaligus minta tolong ke kamu, boleh ya?

Kalau aku udah nggak ada lagi di sisi kamu berarti sekarang roh aku kembali. Aku nggak tahu kembali kemana. Bisa aja kembali ke orang-orang yang aku sayang atau justru ke pelukan tuhan. Dan kalaupun aku bangun, aku nggak akan ingat semua tentang kita. Tentang sembilan puluh hari aku di sampingmu. Aku nggak akan kenal sama kamu.

Aku minta tolong, Tan. Kalau kamu punya perasaan yang sama, jemput aku di rumah sakit. Ceritain semuanya. Tentang gimana kita pertama kali ketemu, tentang Jia sama Agas. Kasih tahu aku semuanya.

Air mata yang tak dapat lagi dibendung oleh empunya lepas begitu saja tanpa permisi. Jantungnya terasa dihujam ribuan panah membuat mati rasa ke sekujur tubuh kian merekah. Sulit sekali memasok oksigen ke dalam paru-paru ketika dadanya memaksa mendapatkan kehidupan kembali.

Delian tidak menyerah. Ia tak pernah benar-benar mengucapkan selamat tinggal. Intan seharusnya mengerti sejak awal. Percaya pada sorot mata gelap di malam saat ia memohon dengan lantang agar laki-laki itu tetap ada di sisinya.

Aku minta maaf. Waktu kamu dihukum sepulang sekolah karena Tante Roseta, aku sempat nyapa bibirmu dengan bibirku. Maaf aku ngelakuin tanpa permisi. Jadi aku rasa sekarang lebih baik aku bilang. Kamu juga boleh marah ke aku nanti.

Satu lagi, aku nggak pernah mau cerita kita selesai. Karena ternyata hati aku mau supaya kamu ada terus disana. Jadi, aku tunggu ya! Kamar 2300 RS. Cahaya Marga.

Delian Arunika

Dihapus dengan kasar air mata yang menodai wajah rupawan milik Intan. Tangan kanannya mengusap pipinya tanpa kelembutan. Dadanya sesak bergemuruh mengatakan bahwa gadis itu harus menuruti kata hatinya. Kelabu awan siap menyambut cerita yang tak siap untuk diselesaikan.

Dengan seluruh tenaga yang ia punya, Intan berlari. Menyambar tas kecilnya kembali dan melesat keluar dari kamar. "Papa! Aku keluar. Ada perlu sebentar." Teriak Intan saat melewati kamar papa. Pintu tua itu tak sepenuhnya tertutup. Saat papa baru saja menjawab Intan tak dapat beliau temukan lagi di rumahnya. Ia sudah berjarak jauh dari rumah.

Langkah gadis itu berhenti saat ia terduduk dalam kursi bus. Dipandang dengan kedua netra jalanan yang tak begitu ramai. Kepalanya tanpa diduga memutar kejadian lalu dimana mereka beranjak pulang dari laut. Di pertemuan pertama itu dapat Intan rasakan bagaimana canggung dan randomnya percakapan diantara mereka berdua. Jika Intan bisa membantu Delian mengingat semua, ia bisa saja mereka ulang kejadian itu dengan percakapan yang lebih manis. Membuat mereka berdua lebih bahagia dari sebelumnya.

DENTING | Renjun ✅Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang