Matanya terbuka perlahan–mengedip beberapa kali untuk menolak bias cahaya terang yang masuk ke bola matanya. Hawa dingin mulai menusuk permukaan kulit. Bau khas obat-obatan yang membuat kepala pusing pun tidak kalah ikut menyambut. Mama papa disana. Namun, sosok yang ia pikir akan ada saat ia membuka mata nihil. Kasihnya tak disana.
Perlahan tubuhnya bangkit. Kepalanya sama sekali tak merasa pusing atau bahkan sakit. Begitu juga tubuhnya yang ia rasa sudah patah atau bahkan remuk bahkan sekarang terasa baik-baik saja.
"Ma? Pa? Lian udah bangun loh ini? Bukannya disambut malah tidur." Ucap Delian pada mereka di seberang kasur. Keduanya tak bergeming–nyenyak dalam tidurnya. Delian menoleh sekilas pada jam dinding yang bertengger di atas mereka–pukul satu dini hari.
Karena tidak kunjung mendapat jawaban, ia lantas turun dari tempat tidur dan bergegas membangunkan keduanya. Berniat untuk menepuk pundak mama agar beliau bangun untuk sekedar tau bahwa keadaannya sudah baik-baik saja.
Namun kedua bola mata yang biasanya dipenuhi bintang itu membulat bukan main. Terkejut sekaligus dibunuh rasa takut. Campur aduk. Tangan Delian tidak dapat menyentuh apa-apa. Bibirnya berbisik lirih dalam hawa dingin. Mama? Laki-laki itu memutar badannya menghadap tempat tidur, dimana sebelumnya ia terbangun darisana.
Delian disana. Banyak kabel menjuntai dan menempel di seluruh bagian dari tubuhnya. Bahkan oksigen juga terpasang rapi menutup hidung mancung sampai ujung dagunya. Dadanya masih berdetak–terdengar dari monitor hemodinamik. Ia masih hidup. Tapi apa yang sebenarnya terjadi sekarang?
"Bagus kalau sudah tahu masih hidup." Ejek pria tinggi yang tepat berada di belakang Delian–menyilangkan kedua tangannya di depan dada. Oh astaga. Apakah manusia memang selalu sebodoh ini saat tau rohnya terpisah dari tubuh dalam keadaan koma?
"SIAPA?!" Teriak Delian kemudian menutup mulutnya secepat kilat. Takut jika suaranya membangunkan kedua orang tua yang tengah tertidur nyenyak menjaga tubuhnya.
"Kamu mau teriak pakai mic disini mereka juga nggak akan bangun." Pria itu memutar bola matanya malas.
"Kakak? Bisa lihat aku?" Tanya Delian sembari menunjuk dirinya sendiri dengan telunjuknya yang mungil. "Kalau begitu tolong aku! Tolong bangunkan mama papa, Kak!" Delian berlutut merangkul kaki pria itu–ia dapat menyentuhnya. Air matanya tumpah begitu saja, sulit dibendung. Dia kehilangan kendali untuk mengontrol emosinya.
"Ikut saya." Pria itu menarik pelan lengan Delian–menyuruhnya bangkit. Mereka pergi keluar dari kamar rawat. Menuju taman rumah sakit. Melihat beberapa pasien yang sama sakitnya dengan Delian.
"Denger ya, Delian Arunika." Ucap pria itu dengan penuh penekanan. Sedangkan lawan bicaranya bergidik ngeri bukan main. Darimana dia tahu namaku?. "Saya bicara dengan roh dari Delian Arunika sekarang. Kamu tengah menjalani koma. Dan ya, selama menjadi roh, saya yang mengarahkan kamu bagaimana selanjutnya hidupmu dapat berlangsung."
Delian mengangguk cepat. "Jelaskan saja bagaimana caranya agar aku bisa bangun kembali." Jawab Delian putus asa. Persetan menjadi roh atau apalah itu. Siapa lagi yang bisa membantunya disaat seperti ini selain orang itu? Dalam otaknya hanya bagaimana cara untuk kembali dan bertemu dengan mama papa.
"Ingin langsung pada intinya saja?" Tanya pria itu memastikan siapa tahu Delian berubah pikiran. Namun tanpa disangka Delian mengangguk. "Pegang tangan saya." Pinta pria itu. Meski Delian merasa aneh, ia tetap melaksakan perintahnya. Berharap semuanya akan segera selesai setelah ini.
***
"Sembilan puluh hari itu sangat lama!"
"Kalau begitu kamu lebih memilih mati saja? Begitu?"
Ah, sialan batinnya.
"Apa yang salah dengan gadis itu? Kelihatannya baik-baik saja. Kamarnya bahkan jauh lebih rapi dari kamarku." Cerca Delian sembari mengamati sosok perempuan yang sedang mengerjakan tugas sekolahnya di ujung kamar–menulis sesuatu semacam rangkuman di atas meja belajar yang di desain selucu mungkin dengan nuansa warna biru laut.
"Bagus kan kalau kamu pikir begitu? Kamu tidak kesulitan untuk ada disampingnya setiap saat." Pria itu kembali menyilangkan tangan di depan dadanya. Menghirup udara untuk dipasok ke dalam tubuhnya sebelum memulai ceramah. "Mari kita ulang agar kamu tidak lupa aturannya. Kamu bisa dilihat oleh gadis itu kapan saja sesuai hatimu. Kamu hanya beberapa kali bisa menyentuh gadis itu selama koma alias oleh rohmu. Kesempatan itu berlaku tiga kali, saya harap kamu menggunakannya dengan baik dan hati-hati. Genggam loncengmu untuk itu. Terakhir, jangan biarkan dia menangis di sembilan puluh hari kamu bersamanya. Meskipun bukan kamu penyebabnya. Jangan biarkan setetes air mata muncul dari muara keteduhan itu. Mengerti? Jika butuh sesuatu cukup gerakkan lonceng di kalungmu tiga kali. Akan kuusahakan datang tepat waktu."
Sembari mendengarkan seluruh ocehan malaikat itu, Delian perlahan mendekat. Memandangi setiap inci gadis itu–Intan namanya, Intan Sabitha."Bisakah kau ceritakan sesuatu tentang keluarganya?" Tanya Delian sembari memutar tubuhnya untuk menatap lawan bicara. Nihil. Malaikat itu menghilang ditelan udara atau bahkan dinginnya angin malam hari ini. Benar juga, beliau Malaikat. Delian harus terbiasa setelah ini.
Intan Sabitha, haruskah kita berkenalan malam ini?
***
Delian menatap kosong jalanan kota pagi ini dari dalam bus yang ia tumpangi. Ia mengekor di belakang wanita tua yang membawa beberapa sayur dan bahan makanan–menunggu wanita itu membuka pintu bus agar dirinya dapat masuk kesana. Delian ingin mengunjungi tubuhnya di rumah sakit. Ia juga ingin melihat Jia barangkali gadis itu disana.
Isi otak Delian kian bertambah. Ia masih belum berani menampakkan wujudnya pada Intan. Apalagi berkenalan. Siapa yang tidak takut dengan hantu di dunia ini? Delian hanya roh. Bahkan meskipun ia setampan Leonardo DiCaprio pun semua orang juga dipastikan berteriak jika ia muncul tiba-tiba.
Mengapa skenario Tuhan harus serumit ini?
Kakinya tertuntun menuju kamar nomor 2300. Tempat dimana ia bangun kemarin. Jia ada disana. Gadis itu duduk manis di sebelah ranjang Delian–bergantian mengamati tangan kemudian wajahnya.
"Jadi kamu kapan bangun, Del?" Bisik Jia–tangan pucat dan dingin milik perempuan yang Delian puja selama dua tahun itu terulur menyentuh jemarinya. Hening. Tak ada jawaban bagi Jia. Hanya suara monitor hemodinamik lah yang dapat Jia dengar.
Aku disini, Ji. Tunggu aku menyelesaikan misi rumit di delapanpuluh sembilan hari kemudian ya?
Bukan ini yang Delian mau. Hari itu bahkan Delian sudah menyiapkan hatinya untuk bertemu dengan segala kejutan yang mungkin akan ia rasakan di kencan kedua mereka. Bak bunga dandelion yang tersapu karena angin, semuanya menghilang begitu saja–biji bunga dandelion sudah seperti rencana yang mereka berdua buat di hari itu. Terbang bebas tak ingin mendarat.
Mereka berdua saling meminta maaf dalam diam–di lubuk hati paling dasar dari diri mereka. Kuncinya adalah menunggu. Delian mulai menguatkan dirinya. Tak ada yang susah dengan menjaga seorang gadis demi melanjutkan kehidupannya. Tujuannya yang tadi menggantung kian jelas.
Jia. Aku harap kita bisa bersabar dan lebih kuat karena kejadian ini. Aku minta maaf.
to be continue
Kakak Malaikat
KAMU SEDANG MEMBACA
DENTING | Renjun ✅
FanfictionGoresan luka basah yang tercipta dalam hati setiap manusia sangat sulit ditemukan penawarnya. Ketika setiap insan memilih berkalut sampai kesedihannya dibawa hanyut oleh gemercik sendu menuju muara ketenangan sejenak alih-alih melupakannya, Delian j...