Gemercik suara air hujan yang turun tanpa permisi menyentuh tanah membuat bau khasnya menusuk hidung kedua individu yang sedang asik bercengkrama di halte bus depan rumah sakit tempat dimana tubuh Delian beristirahat. Laki-laki itu selalu merasakan suatu ketenangan yang menjalar otomatis pada setiap inci tubuhnya saat melihat mama papa. Kedua orang yang ia damba-damba sedang bergelut dengan rasa khawatir dengan sebuah penantian yang juga tak pasti. Mereka masih disana setia menunggu Delian membuka kedua mata yang senantiasa bersinar baik di suka maupun duka.
"Kamu nggak ngerasa salah, Del? Soal Intan..." Malaikat membuka suara memecah berisiknya air hujan yang tumpah ruah dari langit turun ke bumi.
"Soal perasaanku?" Delian berganti menatap tetesan air hujan sebelum kemudian melengkungkan sudut bibirnya-tersenyum manis. "Nggak. Mungkin selama ini aku dibutakan sama Jia. Tapi kata hati aku selalu ngerasa kalau jatuh sama Intan itu suatu perayaan dalam diriku sendiri." Jia mungkin memang romantis. Tapi semakin beranjak dewasa bukan sebuah hadiah cokelat dan perihal main ke timezone saja. Bukan juga perihal gombalan-gombalan yang bisa membuat rona pipinya terlihat seperti kepiting rebus. Semenjak ia merasa hidupnya terus berjalan, saat itu pula Delian tersadar bahwa selama ini yang Delian cari ada dalam diri gadis itu. Entah apa namanya.
"Lian tahu kalau setiap pertemuan pasti berujung perpisahan?"
"Hah?" Alisnya mengerut diterpa seribu heran. Dipusatkan seluruh bagian tubuh itu untuk terfokus pada lawan bicaranya. Memangnya apa yang seorang anak SMA tahu tentang pertemuan dan perpisahan? Bahkan dirinya saja baru merasakan sorak gembira dalam hati karena menemukan gadis yang ia rasa tepat.
"Del. Maaf kalau saya lupa menyampaikan sebelumnya. Tapi jika misimu ini berhasil dan kamu mampu bangkit kembali dari koma, kamu akan melupakan saya dan seluruh kejadian di sembilan puluh hari ini. Itu berarti kamu juga tidak akan ingat perihal Intan dan perasaanmu saat ini. Tapi sepertinya saya sudah menyam-"
"Sudah kok. Memang sudah. Lian ingat. Kakak sudah bilang semuanya di pertemuan pertama kita. Lian nggak pernah lupa soal itu. Tapi satu yang Lian yakin. Intan bukan Jia. Kalau Jia tak mau menunggu dan menemaniku berjuang maka Intan akan melakukan sebaliknya." Delian tersenyum kecut dibalik raut antara tabah dan khawatirnya."Nggak apa. Delian percaya sama dia." Lanjut laki-laki yang sebenarnya ketakutan bukan main. Hari terakhirnya sudah begitu dekat. Perasaannya makin tak menentu. Kekhawatiran terus menggerogoti jiwanya selepas melihat mama yang tampak lesu tanpa harapan di sofa kamar inap dimana tubuhnya berbaring.
Malaikat bilang secara otomatis semua kenangan, perasaan, dan setiap orang ia temui akan terhapus dari ingatannya. Itu berarti ia akan mengingat Jia sebagai kekasihnya. Dan bedebah Agas itu menjadi karib terbaik yang ia punya. Sekarang perpisahan sudah bersiap untuk menyambutnya. Menjadi pilihan laki-laki remaja menuju dewasa itu untuk mengucapkan selamat tinggal atau justru memendam kekecewaan yang akan tumbuh di kedua belah pihak nantinya.
Malam itu percakapan mereka berdua ditutup gemuruh petir dan derasnya hujan yang mengguyur rasa ketakutan dan gurat resah dalam hati. Delian tak mengerti bagaimana kehidupannya akan berlanjut. Lantas dengan sejuta rasa keberanian yang ia kumpulkan malam ini langkahnya tertuntun untuk memeluk perpisahan.
***
Intan mengetuk pintu kamar tua yang terbuat dari kayu jati-masih tampak cantik meski sudah bertahun-tahun disana. Gagang pintu diayunkan untuknya berjalan masuk ke dalam kamar dengan bau khas -vanilla-. Gadis itu melangkah mendekat pada satu-satunya pria paruh baya yang ia sayang. "Pa? Besok main ke laut yuk!" Ajaknya riang gembira-menangkup pipi dengan kedua tangannya yang ia letakkan di atas meja papa.
"Tumben? Biasanya sibuk bimbingan belajar?" Papa menjawab sambil sesekali bergantian menatap anak semata wayang dan layar komputer di depannya.
"Besok hari minggu kalau papa lupa."
KAMU SEDANG MEMBACA
DENTING | Renjun ✅
FanfictionGoresan luka basah yang tercipta dalam hati setiap manusia sangat sulit ditemukan penawarnya. Ketika setiap insan memilih berkalut sampai kesedihannya dibawa hanyut oleh gemercik sendu menuju muara ketenangan sejenak alih-alih melupakannya, Delian j...