Page 8

191 22 18
                                    



'Amane kabur untuk menjauhimu'

'Dia kabur untuk lari dari psikopat sepertimu'

'Dia tidak mau dibunuh olehmu untuk yang kedua kalinya'

Kalimat mengerikan yang menghantui dan yang selalu mengingatkanku akan kenyataan. Itulah kenyataannya. Aku tidak dapat menepis fakta bahwa akulah yang jahat. Akulah yang memulai semua ini.

Sepertinya aku butuh angin segar.

Aku mengambil jaketku dan bergegas keluar rumah. Sudah mulai dingin. Aku merapatkan jaketku ke tubuhku. Butiran salju mulai turun memenuhi jalanan setapak. Indah. Seulas senyuman terukir di wajahku. Seandainya aku bisa menemuinya. Sekali saja. Hanya sekali.

Aku ingin berbicara dengannya.

Hanya beberapa kalimat.

Air mata mulai membasahi pipiku. Aku terisak. Ditengah dinginnya malam, air mataku masih terasa hangat. Rasa dingin yang terus menusuk tulangku, dan kaki yang sudah tidak kuat untuk menahan beban tubuhku. Sesaat sebelum tubuhku menyentuh dinginnya salju yang menumpuk, sepasang tangan menahan beban tubuhku. Aku berusaha untuk melihat wajahnya. Dan iris matanya bertemu denganku.

Mataku membulat dan tenggorokanku tercekat. Iris mata yang sangat ku rindukan. Tatapan khawatir terpancar dari irisnya yang sendu.

"A- Amane?"

Dia memelukku erat. Kakiku terasa sangat lemas. Aku jatuh bersama dengannya ke tumpukan salju dingin yang menyelimuti jalan. Aku memeluknya erat. Menangis meraung- raung. Haus akan kehangatannya. Tangisanku memekakkan telinga. Penderitaan, rasa rindu yang sudah lama aku pendam, aku limpahkan semuanya didalam dekapannya. Dia diam tidak bersuara. Hanya aku yang terus meneriakkan namanya.

Kata maaf terus terucap dari bibirku. Aku tidak meminta pengampunan darinya. Aku tidak pantas untuk dimaafkan olehnya. Aku mengerti akan semua kebodohan dah kesalahanku. Aku memeluknya erat. Hanya untuk kali ini saja. Aku ingin menyimpan kehangatan ini dalam ingatanku.

==

Kepalaku terasa sakit, dan mataku sangat berat. Dapat kurasakan bengkakan mataku. Aku terlalu banyak menangis. Aku mencoba untuk memproses kejadian semalam. Aku cepat- cepat terbangun dan melihat ke sekelilingku. Ini kamarku, aku mengenakan pakaian tidur. Apakah yang semalam hanyalah mimpi? Aku mencoba mencari ke sekeliling. Hanya ada aku sendirian di ruangan ini. Ternyata semuanya hanyalah mimpi. Dia tidak mungkin mendatangiku dan memelukku. Mimpi yang indah, sangat indah.

Aku kembali menuju kamarku. Memandangi langit dengan tatapan yang kosong. Semua itu terasa sangat nyata. Tatapannya, dan kehangatannya. Aku meyakini kalau itu semua hanyalah mimpi. Karena mustahil dia mau menemuiku. Dia pasti sangat membenciku. Ingin rasanya aku kembali ke dunia mimpi. Hanya disanalah aku bisa bersama dengannya. Aku memejamkan mataku sambill menikmati semilir angin yang masuk melalui jendela kamarku. Tiba- tiba sesuatu menyentuh pipiku. Dingin. Aku membuka mataku perlahan. Hal yang pertama kali kulihat adalah iris itu.

"Hai Nene, apa kabarmu?"

Suaranya menyadarkan lamunanku. Lidahku kelu, aku hanya bisa menatapnya. Air mata berlinang membasahi pipiku. Dapat ku lihat matanya yang berkaca- kaca menahan tangis. Dia memelukku erat. Aku membalas pelukannya.

"Apakah ini mimpi?"

Aku masih tidak mempercayai ini. Aku menanyakan pertanyaan itu tanpa sadar. Aku dapat merasakan dia terkekeh.

"ini bukan mimpi, ini kenyataan, aku disini sekarang"

Dia melepaskan pelukannya dan mengusap air mataku. Perlakuannya yang hangat membuat tangisku pecah. Seperti ada secercah cahaya yang menerangi duniaku yang gelap.

Kamu telah mencapai bab terakhir yang dipublikasikan.

⏰ Terakhir diperbarui: Jul 15, 2021 ⏰

Tambahkan cerita ini ke Perpustakaan untuk mendapatkan notifikasi saat ada bab baru!

The Unforgiven LoveTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang