Page 5

317 33 6
                                    

Perih, rasa perih menyadarkanku. Mataku sangat berat. Tubuhku mengigil kedinginan. Aku berusaha membuka ikatan ditanganku. Dia meninggalkanku begitu saja tanpa melepas ikatan sialan ini. Setelah beberapa kali mencoba, akhirnya ikatan itu terlepas. Pergelangan tanganku merah, perih. Aku berusaha bangkit dan berjalan gontai menuju kulkas. Aku mengambil beberapa bongkah es batu dan mengusapnya di pergelangan tanganku.

Setelah luka di pergelangan tanganku terasa lebih baik, aku melangkahkan kakiku menuju kamar. Aku menatap tubuhku didepan cermin. Luka gigitan, robekan, bekas darah yang mengalir, masih terpampang jelas ditubuhku. Aku mengambil perban dan membalutkan ke luka- luka itu.

"Amane, apakah ini yang kamu rasakan setiap harinya?"

Aku terisak. Menahan perih di hati dan tubuhku.

Hari demi hari berlalu begitu saja. Sudah seminggu sejak Tsukasa menyiksaku, luka- luka di tubuhku juga sudah lebih baik. Walaupun ada beberapa yang membekas. Aku merasakan kenyamanan saat melihat awan- awan yang berjalan dilangit. Aku memejamkan mataku dan merasakan hembusan angin semilir yang masuk melalui jendela kamarku. Terdengar suara canda tawa dari anak- anak sekolahan, sepertinya sudah jam pulang sekolah ya? Terkadang aku merindukan masa- masa sekolahku yang dulu. Walaupun aku tidak memiliki teman satupun.

Aku dikucilkan dikelasku. Hanya karena nilaiku sedikit lebih tinggi dari mereka, mereka tidak senang dan mulai membulliku. Dari hal kecil seperti melempariku dengan kertas. Hingga membuang semua bukuku ketempat sampah. Aku tidak terlalu memperdulikan kondisiku. Aku menganggap mereka semua iri dengan pencapaianku. Terdengar sombong memang. Tapi memang seperti itu kan?

Menatap langit menjadi salah satu kegiatan favoritku sekarang. Aku baru mengerti mengapa Amane sangat suka dengan benda- benda langit. Menjelajah luar angkasa, menapaki bulan, atau menjadi guru sains, cita- citanya yang ia selalu ceritakan kepadaku. Dia selalu menceritakan pengetahuannya yang baru dengan senyuman lebar dibibirnya. Matanya memancarkan kebahagiaan setiap ia menjelaskan hal yang berbau astronomi kepadaku. Aku dapat merasakannya.

Awan- awan bergerak mengikuti arah angin. Menggabungkan diri dengan awan kecil lainnya. Angin berhembus membelai wajahku. Aku menikmati momen- momen seperti ini. Menikmati angin yang memainkan rambutku, melihat gumpalan- gumpalan awan yang mulai menghitam. Seketika dari hari yang cerah, menjadi gelap. Aku mendengar suara rintik hujan yang mulai membasahi bumi. Aroma hujan yang jatuh mengenai tanah yang kering, petrichor. Bau yang menenangkan.

Suara langkah membuyarkan lamunanku. Mataku terbelalak saat melihat siapa yang datang.

"Amane?"

Tubuhku bergetar hebat. Air mata berlinang membasahi pipiku. Kupu- kupu seakan memenuhi relung hatiku. Dia datang kepadaku. Orang yang paling aku rindukan, yang paling aku sayangi, dan yang kusakiti. Kabut hitam seketika memenuhi pikiranku. Senyumanku berubah hambar. Aku memalingkan pandanganku darinya.

Tidak mungkin Amane ada disini. Dia saja tidak mengingatku lagi.

"Kau mengira aku Amane, huh?"

Dia berjalan mendekatiku. Menangkup wajahku dan mencengkramnya erat. Kuku- kukunya merobek kulit wajahku.

"Hanya karena aku memakai pakaiannya, kau langsung mengira aku Amane? Rendahan sekali. Kau mencintainya? Jangan bercanda."

Dia menamparku. Ternggorokanku tercekat. Dia benar. Aku saja tidak bisa membedakan mana Amane dan mana Tsukasa. Apakah aku benar- benar mencintainya? Apa aku hanya sekedar kagum dan terobsesi padanya?

"Semakin aku melihatmu, semakin aku muak padamu"

Iris ambernya menatapku tajam. Dia melumat bibirku kasar. Sesekali ia menggigit bibir bawahku. Memaksaku untuk memberikan akses agar ia bisa menjelajah lebih dalam lagi. Dia melepaskan ciumannya, menciptakan benang saliva yang tercampur dengan sedikit darah dari bibirku. Dia menyeringai.

The Unforgiven LoveTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang