Page 6

450 39 4
                                    

Aku mengerjapkan mataku. Cahaya mentari yang terik menembus jendela kamarku. Aku menyentuh wajahku. Terasa sakit. Ah. Ternyata benar- benar hanya mimpi. Kenangan singkat bertemu Amane hanyalah sebatas mimpi indah di siang hari.

Aku menyeka air mataku kasar. Mencoba untuk tersenyum walaupun kulit- kulit wajahku terasa sangat sakit. Aku mengumpulkan semua memori- memori manisku bersama Amane. menyemangati diriku sendiri agar dapat melanjutkan kehidupanku. Aku tidak boleh pesimis. Walaupun hidup adalah suatu cobaan yang berat untukku.

Siang berganti sore, sore berganti malam. Bintang bintang mulai bermunculan menemani sang bulan. Aku menatap bulan yang jauh disana. Mencoba meraihnya dengan mengulurkan tanganku. Tetapi jarak memisahkan. Sangat jauh. Tak dapat kuraih. Aku memeluk lututku dan membenamkan kepalaku diantaranya. Aku mencoba untuk memikirkan bagaimana caranya aku bisa bertahan dari semua penyiksaan yang Tsukasa berikan. Aku mengerti kalau dia sangat marah kepadaku. Tetapi apakah harus seperti ini?

Amane dan Tsukasa. Kakak beradik kembar yang wajah dan postur tubuhnya bisa dibillang sangat mirip. Tetapi sifat dan kesukaan mereka berdua berbeda. Amane yang aku kenal merupakan seseorang yang pendiam, perhatian dan penyayang. Tidak dengan Tsukasa. Tsukasa cenderung hiperaktif, selalu ceria, dan memiliki pikiran yang sangat sulit ditebak. Amane sangat bertanggung jawab terhadap adiknya. Selalu menyayangi adiknya walaupun adiknya sangat suka menyiksanya. Tsukasa sendiri sangat meyayangi Amane, tetapi rasa kasih sayangnya bukanlah seperti adik kepada kakaknya. Lebih seperti pasangan, rival, atau musuh.

Aku tidak terlalu mengenal keluarga Yugi. Aku hanya sering mendengarkan apa yang diceritakan oleh Amane. Orang tua mereka sangat jarang berada dirumah. Profesi merekalah yang membuatnya seperti itu. Mereka berdua adalah orang tua yang lebih mementingkan pekerjaan daripada anak sendiri.

Tsukasa pernah mengalami kecelakaan di umur 3 tahun. Kecelakaan saat bermain bersama Amane. Dia tertabrak kendaraan saat sedang mengambil bola yang ditendang terlalu jauh oleh Amane. Sejak saat itu, Amane selalu menyalahkan dirinya sendiri. Orang tuanya juga selalu menyalahkan Amane. Tidak hanya secara verbal, terkadang orang tuanya juga suka menyiksa Amane. Melimpahkan semua kekesalannya kepada Amane.

Setelah Tsukasa keluar dari rumah sakit, Amane selalu menghindarinya. Takut bila dia terlalu dekat, Tsukasa akan terluka lagi. Tetapi tindakan itu salah. Semakin ia menjauh, Tsukasa semakin mendekatinya. Tsukasa sama sekali tidak mengerti mengapa kakaknya menjauhinya. Amane juga tidak menjelaskan kepada adiknya mengapa ia menjauhinya. Situasi canggung itu berlangsung selama beberapa bulan sampai akhirnya Tsukasa melihat orang tuanya memukuli Amane dengan sebuah tongkat. Dia melihat wajah Amane yang dibanjiri air mata dan tubuhnya yang penuh memar. Teriakan orang tuanya, hinaan, cacian, dan makian memenuhi indra pendengarannya. Disaat itulah Tsukasa mengetahui alasan mengapa Amane menjauhinya, dan disaat itu juga Tsukasa menjadi seseorang yang sangat mengerikan.

Penyiksaan demi penyiksaan dilakukan oleh Tsukasa kepada Amane. dia bilang itu adalah bentuk 'sayang'nya kepada kakaknya. Amane merasa, perlakuan Tsukasa adalah hukuman yang harus ia terima karena membuat Tsukasa terluka. Amane tidak mengeluh, ataupun kabur dari Tsukasa. Ia menerimanya, walaupun itu menyakitkan untuknya.

-:-

Hari demi hari berlalu. Membereskan rumah, memasak, sudah menjadi aktivitasku sehari- hari semenjak diskors dari sekolah. Terlalu lama dirumah membuatku jenuh. Aku memutuskan untuk berjalan- jalan di sekitar rumahku. Menikmati angin sore yang hangat, menelusuri jalanan aspal yang sepi. Aku melangkahkan kakiku menuju taman bermain anak- anak. Di jam segini sudah pasti tidak ada anak kecil yang bermain lagi. Aku mendudukkan diriku diatas jungkat jungkit yang sudah usang termakan usia. Menikmati semilir angin yang memainkan anak rambutku.

Lama aku termenung dalam kesendirian, aku memutuskan untuk kembali ke rumah. Langit sudah berubah gelap. Sepertinya aku terlalu lama melamun. Aku melangkahkan kakiku lemah. Aku menunduk dan melihat langkah kakiku. Tiba- tiba ada anak kecil yang tidak sengaja ku tabrak. Ah dia manjatuhkan eskrimnya. Aku membungkuk menyetarakan diriku dengannya.

"maafkan aku, eskrimmu jatuh. Aku belikan yang baru, ya?"

Aku mengusap kepalanya pelan. Dia tidak menjawabku. Tatapan matanya jatuh di lututku yang memar.

"kakak, lututmu kenapa? Apakah itu sakit?"

Dia mengusap lututku perlahan. Aku cepat- cepat menyibakkan rokku dan menutupi luka dilututku. Dia menatapku keheranan. Walaupun sudah cukup lama, tetapi ada beberapa lukaku yang masih belum sembuh.

"ah. Tidak apa- apa. Ini luka karena terjatuh. Yuk aku belikan eskrim di toko itu."

Aku segera mengalihkan pembicaraan dan menggandeng tangan anak itu. Membelikkan eskrim untuknya dan bergegas meninggalkan anak itu. tetapi ia menarik tanganku dan menyodorkan plester luka kepadaku.

"pakai ini kak. Mungkin tidak akan cukup untuk lukamu, tetapi aku harap ini membantu."

Dia tersenyum kepadaku. Ah polos sekali senyumannya. Aku mengambil plester itu dan mengusap kepalanya.

"terima kasih banyak. Kamu sangat membantu"

Aku berjalan meninggalkan anak itu, dia melambaikan tangannya kepadaku sambill menjilati eskrimnya.

-:-

Aku membuka pintu rumahku. Suasana gelap menyambut kedatanganku. Inilah resiko bila tinggal sendiri. Aku melepaskan sepatuku dan bergegas ke kamarku. Aku merebahkan tubuhku dan mengambil plester yang diberikan oleh anak kecil tadi. Senyumannya mengingatkanku kepada Amane. Perasaan rindu kembali menghantuiku. Dadaku kembali sesak, air mata mengalir dari pelupuk mataku. Aku merindukannya. Sangat merindukannya sampai rasanya ingin mati.

Ketukan pintu mengagetkanku. Siapa yang malam- malam seperti ini datang? Tsukasa? Dia tidak biasanya mengetukkan pintu seperti itu. Ketukan itu makin keras. Aku tersentak dan bergegas melihat siapa yang mengetuk. Aku mengintip dari lubang yang ada di pintu rumahku. Tidak ada yang terlihat. Dengan perlahan aku membuka pintu dan mendapati Tsukasa yang meringkuk lemas. Aku terkejut dan tubuhku kaku. Apa yang harus aku lakukan? Apakah aku harus meninggalkannya diluar yang dingin seperti ini? Atau aku bawa dia masuk kedalam? Dia terlihat sangat menderita. Wajahnya memerah, dan nafasnya terasa berat. Ada apa ini sebenarnya?

Dilema. Itu yang aku rasakan saat ini. Langit malam yang gelap, makin gelap karena awan hujan yang mulai menyembunyikan cahaya bulan. Angin juga berhembus sangat kencang. Menandakan sebentar lagi akan ada badai. Aku ingin meninggalkannya diluar. Ya, untuk apa aku menolong seseorang yang menyakitiku? Dia juga pasti tidak akan suka aku tolong kan?

Yah, respon tubuhku berkata lain. Aku membawanya masuk ke rumahku dan menidurkannya di kasurku. Dia terlihat sangat tersiksa. Sejujurnya aku tidak tega melihatnya seperti ini. Dia terlihat sangat mirip dengan Amane. Itulah yang membuatku ingin menolongnya. Lagipula dia juga seseorang yang sangat disayangi Amane. Walaupun Tsukasa selalu menyiksaku untuk kesenangan pribadinya. Tetapi mungkin, jauh dilubuk hatinya yang paling dalam, pasti dia melakukan itu karena dia sangat sayang kepada kakaknya. Dia menganggapku musuh karena akulah yang membuat kakaknya mengalami hal yang tidak menyenangkan. Mungkin.

Aku mengambil sebaskom air dingin dan handuk bersih untuk mengompresnya. Aku berusaha melakukannya dengan sangat perlahan agar dia tidak terbangun. Dengan perlahan aku meletakkan handuk di keningnya. Tiba- tiba tangannya menggenggam tanganku erat. Aku tersentak dan melihat tatapan matanya yang melihatku penuh benci.

"Apa yang mau kau lakukan?"

Suaranya serak, dia berusaha bangkit tanpa mau melepaskan tanganku. Aku masih berfikir positif.

"Kamu terjatuh di depan rumahku, dan sepertinya kamu demam. Aku ingin menolongmu"

Suaraku bergetar. Aku mengalihkan pandanganku darinya. Aku terus berusaha mengumpulkan pikiran positif kalau Tsukasa tidak sejahat itu.

"Aku tidak perlu bantuanmu. Dan lagipula, kau baik hati sekali mau membawaku masuk ke kamarmu ini? Kau memang biasa membawa laki- laki masuk ya, Nene?"

Tatapan matanya menusukku. Tetapi ada sesuatu yang aneh. Tatapannya tidak seperti Tsukasa yang biasanya. Yah mungkin karena dia sedang sakit?




Tbc~

The Unforgiven LoveTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang