Page 1

713 45 5
                                    

.

.

Aku mengerjapkan mataku. Gelap. Apakah aku tertidur? Ah. Aku tertidur dikelas lagi rupanya. Kelas juga sudah sepi. Aku harus segera pulang. Atau aku akan kena marah lagi.

Aku melangkahkan kakiku dengan gontai ke luar kelas. Aku berjalan perlahan menyusuri koridor gelap sekolah. Sesaat aku memalingkan pandanganku melihat kelas- kelas yang sudah sepi.

Dan aku bertemu dengannya.

"Amane?"

Aku bergegas membuka pintu kelas, tetapi dia segera menghilang. Aku jatuh terduduk. Kakiku lemas. Air mata mulai berlinang. Sebenarnya apa yang aku tangisi? Apakah aku menangis karena sekilas aku melihat dia?

-:-

 Sinar matahari pagi menyelinap masuk menerangi indra pengelihatanku. Entah sudah berapa lama aku tertidur. Dan aku sama sekali tidak ingat bagaimana caraku untuk pulang ke rumah. Hal terakhir yang ku ingat, saat aku menangis di depan kelas. Dan setelah itu aku tidak mengingat apa- apa lagi. Aku melihat sekeliling. Kamarku berantakan sekali. Ya hal yang wajar. Aku tinggal sendiri. Mungkin sendiri. Aku tidak peduli.

Kegiatan pagi yang sangat tidak menyenangkan. Dimulai dari bersih- bersih, memasak, dan menyuci pakaian. Aku hanya tinggal di sebuah apartemen kecil. Jadi tidak terlalu pusing untuk membereskannya. Hanya saja aku terlalu malas. Jadi ruangan ini terlihat sangat kacau.

Aku membuka kulkasku. Kosong. Ah. Sepertinya aku harus berbelanja. Aku mengganti pakaian dan mengambil dompetku. Aku berjalan keluar apartemen dan bergeas menuju ke swalayan terdekat.

Hari sudah menjelang sore. Aku terlalu asik berbelanja sampai lupa waktu. Aku melangkahkan kakiku dengan cepat.

"semoga dia tidak datang"

-:-

Aku membuka pintu apartemenku dan aku melihat sepasang sepatu yang sudah tidak asing lagi. Aku menjatuhkan plastik belanjaan ke lantai. Tangan dan kakiku lemas. Aku berusaha agar tetap berdiri. Aku menyenderkan tanganku di tembok. Tetapi kakiku tidak mampu lagi menahan beban tubuhku. Dan aku jatuh terduduk.

"Nene?"

Suara itu, suara yang paling aku benci. Mengapa? Mengapa dia ada disini? Apakah aku membuat kesalahan lagi? Apa yang sudah aku perbuat? Aku hanya bisa merunduk dan membendung air mataku agar tidak mengalir.

"Nene? Kau habis dari mana? Mengapa lama sekali?"

Suaranya pelan. Merdu tetapi mematikan. Aku tidak bisa menatap matanya. Dia. Seseorang yang aku benci. Sekaligus aku takuti. Aku berusaha mati- matian untuk menghindarinya. Tetapi mengapa dia kesini?

"mengapa kau tidak menjawab pertanyaanku, Nene?"

Dia mengangkat daguku. Mataku dipaksa untuk menatap matanya. Tetapi aku membuang pandanganku. Tidak ingin menatapnya. Menakutkan.

"Maafkan aku. Aku pergi berbelanja. Kulkasnya kosong. Jadi aku harus mengisi Kembali kulkasnya."

Suaraku bergetar. Aku menahan tangisanku agar tidak keluar. Tanganku mendingin. Aku ingin dia cepat- cepat pergi dari sini.

"hmm. baiklah. Alasan diterima"

Dia melepaskan tangannya dariku dan menyeringai. Aku segera mengambil belanjaanku dan meletakkannya di kulkas. Sebisa mungkin aku bersikap normal didepannya agar dia cepat pergi dari sini.

"Nene?"

Aku menoleh pelan kearahnya tanpa menatap wajahnya. Apa lagi maunya? Mengapa dia tidak pergi?

"apa kau bertemu dengannya?"

Deg. Jantungku berdetak sangat kencang. Rasa sakit itu menyelimutiku lagi. Jantungku terasa seperti teriris- iris lagi. Lukaku belum sembuh. Mengapa dia harus menanyakan hal itu?

"Kembaranku. Kau bertemu dengannya kan?"

Aku membisu. Suaraku tidak bisa keluar. Keringat dingin membanjiri pelipisku.

"aku melihatnya sekilas di sekolah. Tetapi saat aku ingin menghampirinya, dia menghilang. Sepertinya itu hanya imajinasiku saja."

Suaraku bergetar. Aku tidak bisa menatap matanya. Dia berjalan mendekatiku. Dan dia mengelus kepalaku.

"Sepertinya rasa bersalah sedang menghantuimu ya, Nene?"

Aku tidak bisa lagi membendung air mataku. Aku menangis. Tangisan yang aku tahan. Terasa sangat menyakitkan. Dia memelukku, dan membisikkan hal yang membuat aku beku.

"Amane. Kakak kembarku. Kau yang membunuhnya"

Aku menjerit. Memukul- mukul kearahnya. Meminta dia melepaskan pelukannya. Aku lari menuju kamarku dan menguncinya. Berteriak- teriak kalau aku bukanlah pembunuh.

"Amane tidak mati. Dia belum mati. Aku bukanlah pembunuh. Aku tidak membunuhnya!"

Aku meneggelamkan wajahku ditumpukan bantal agar suara tangisanku teredam. Menyakitkan sekali.

"Kakakku memang belum mati. Tetapi tetap saja. Kamu yang hampir membunuhnya"

Suara itu sangatlah pelan. Tetapi aku sangat jelas mendengarnya.

Dia. Yugi Tsukasa. Adik kembar dari Yugi Amane. Dan aku Yashiro Nene. Perempuan yang hampir membunuh kekasihnya sendiri.

The Unforgiven LoveTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang