Ketika kelopak matanya terbuka, bau obat-obatan langsung menyeruak ke indera penciumannya. Pandangannya memburam. Samar-samar, ia melihat langit-langit ruangan tempatnya berada.
Badannya terasa lemas. Mencoba bangkit, namun ia urungkan karena kepalanya yang terasa pening akibat pergerakan yang mendadak. Dengan pelan ia meraba, terdapat kain kasa yang melilit di kepalanya.
"Shhh, ini gue di mana?" Tanyanya bingung, ia mengedarkan pandangannya ke penjuru ruangan. Terdapat satu sofa panjang dan satu televisi dinding.
Ceklek
Pandangannya teralihkan ke arah pintu yang terbuka, di mana seorang suster yang sedang menutup pintu dan pria paruh baya berjas putih tengah berjalan ke arah tempatnya berbaring.
"Kamu sudah sadar Nak Arvan?" Tanyanya yang di balas anggukan.
Dokter Andi tersenyum ramah, ia mulai mengambil Tetoskop yang menggantung di lehernya, "Saya periksa dulu ya?"
Tanpa menunggu jawaban. Ia langsung memeriksa detak jantung pasiennya, memeriksa denyut nadi dan yang terakhir memeriksa monitor yang terus mengeluarkan bunyi. Sedangkan sang suster, ia hanya memeriksa infus dan mencatat perkembangan pasiennya.
Setelah selesai, dokter Andi kembali mengalungkan Tetoskopnya ke leher, ia memandang pasiennya dengan senyuman khasnya. "Stukurlah keadaan kamu sudah membaik," Ia menoleh ke arah suster yang berada di belakangnya, "Suster, tolong ganti perbanya, saya permisi dulu!" Ujarnya berlalu pergi setelah mendapat anggukan dari sang suster.
Suster itu membantu Arvan untuk mendudukan dirinya di atas bangsal, sembari membuka perban, ia memberikan air putih untuk Arvan minum.
"Terimakasih, Sus!" Suster itu mengangguk ramah.
Arvan kembali meletakan gelas yang telah kosong di atas nakas. Ia memperhatikan suster yang sedang melilitkan kain kasa baru ke kepalanya.
Bosan memperhatikan, ia akhirnya memilih melihat isi ruangan tempatnya di rawat. Setelah di pikir-pikir, ruangan yang ia tempati cukup berbeda dengan rumah sakit lainnya. Biasanya setiap ruangan terdapat beberapa bangsal yang berjejer rapi. Tapi ini? Hanya ada satu bangsal, itu pun sangat besar. Sepertinya muat untuk 2 orang. Sofa panjang, Televisi dinding, satu pintu di samping sofa dan tiga jendela yang berjejer di bawah televisi.
Daripada penasaran, lebih baik ia bertanya saja. "Sus!"
Suster itu menoleh mendengar panggilan dari pasiennya. "Kenapa? Ada yang bisa saya bantu?"
Ia menggaruk kepalanya gatal, bingung mau berbicara apa. "Em, saya mau nanya boleh?"
Suster yang sedang mengemasi peralatan pun kembali menoleh, "Boleh,"
Ia kembali berfikir, "Emm, kenapa di ruangan ini cuma saya doang Ya? Biasanya 'kan ada banyak bangsal sama pasien?" Tanyanya bingung.
KAMU SEDANG MEMBACA
Arvan's New Life
Teen Fiction| Follow Dulu Sebelum Membaca![ FOLLOW DULU SEBELUM MEMBACA! ] [ SETELAH MEMBACA, JANGAN LUPA TINGGALKAN JEJAK BERUPA VOTE AND COMENT! ] ______________________________ Arvan prasetyo, cowok tampan yang sayangnya hidup sebatangkara akibat di buang ol...