Part 3

7 1 0
                                    

”Tapi apa?” tanya Allen, tangannya terus mencengkeram kuat tangan Ellen.

”Aku ingin pulang,” tambahnya lagi, pandangannya terus menunduk ke bawah.

”Kau diam sendiri atau aku yang akan membuatmu diam?” Matanya Allen menatap Ellen tajam. Sungguh, dia sangat geram akan gadis pembangkang.

”Dan satu lagi, jika kau banyak tingkah siap-siaplah pisau kesayanganku akan bermain di tubuhmu!” tegasnya. Kemudian, ia melepaskan tangannya Ellen.

”Apa yang harus aku lakukan agar Om tidak membunuhku?” Ellen bertanya dengan sedikit gugup. Ia takut pria itu akan benar-benar membunuhnya.

Tega-teganya Ayah menjual aku kepada pria yang tak berhati nurani ini, pikir Ellen.

”Jadilah pemuas nafsuku!”

”Hah?! A–apa aku tidak salah dengar?”

Ellen memundurkan beberapa langkahnya ke belakang, sekarang ia tidak bisa berpikir dengan jernih. Ellen tidak mau kalau mahkotanya diambil oleh pria yang tak dikenalnya. Dia sudah puluhan tahun menjaganya, tidak mungkin dalam sekejap ia menyerahkan ke lelaki itu.

”Tidak.”

”Aku tidak mau! Enak saja aku jadi pemuas nafsumu, aku sudah bertahun-tahun menjaga mahkotaku dengan gampangnya Om memintanya secara gratis. Mahkotaku hanya untuk suamiku! Camkan itu!”

Entah keberanian dari mana Ellen berani membentak pria itu, tidak takut apa jika dirinya dibunuh. Namun, Ellen tidak memikirkan itu. Sekarang yang terpenting bagi Ellen adalah mempertahankan mahkotanya.

”Kau sudah aku beli dengan harga yang mahal, mau tahu berapa?”

”Berapa?”

”Lima milliar.”

”Meskipun Om membeliku dengan harga yang sangat mahal, aku tetap tidak mau jadi pemuas nafsumu.”

Ellen langsung  mengambil langkah seribu, dan sekarang ia sudah berada di depan pintu.

”Mau ke mana?” Allen hanya berdiri santai dengan kedua tangannya dimasukkan ke dalam saku celananya.

”Mau kaburlah, masa' mau makan.”

”Emang mau kabur ke mana?”

”Ke mana aja asalkan aku menghilang dari rumah ini,” ucapnya yang telah memegang gagang pintu.

”Rumah ini cukup luas, CCTV pun ada di mana-mana ditambah puluhan bodyguard di luar sana yang aku utuskan untuk menjaga di seluruh penjuru. Yakin masih mau kabur? Siapa tahu entar jadi santapannya bodyguardku di luar.”

Ellen melepas gagang pintu, tubuhnya gemetaran bertanda ia sedang ketakutan. Keringat sudah mulai bercucuran di pelipisnya.

”E–enggak jadi,” ujarnya terbata-bata.

”Kabur aja, enggak papa, kok.” Allen tersenyum sinis. Dia sengaja membiarkan gadis di depannya kabur. Toh, mana berani dia kabur dan tidak mungkin juga Allen membiarkan dia kabur.

”Mulai malam ini hidupku akan seperti digua, gelap, sunyi, dan seterusnya akan begitu,” lirihnya dengan sangat kecil.

Ellen pikir ucapannya barusan tidak didengar oleh lawan bicaranya. Namun, ia ternyata salah. Allen memiliki pendengaran yang sangat tajam. Jadi tak salah jika dia bisa mendengarnya.

”Lampu sebesar ini dan cahaya yang sangat terang masih kau bilang gelap? Apa aku harus membeli lampu lain yang lebih besar lagi? Dan rumah semewah ini kau bilang seperti gua? Apakah aku harus membangunkannya lagi tiga kali lipat dari ini agar tidak terlihat seperti gua?” Allen mendekatkan wajahnya ke arah Ellen.

”Om bisa mendengarnya?”

”Fungsi ini untuk apa?” tanya Allen, lalu menunjukkan ke daun telinganya.

”Untuk mendengar. Tapikan aku ngomongnya enggak terlalu besar loh,” jelasnya.

”Kau ini! Bisa enggak jangan terlalu banyak bicara?”

”Oh, tentu tidak. Fungsi mulut ini untuk berbicara, jadi jika aku tidak bicara berarti mulutku tidak berfungsi lagi. Aku tidak mau itu terjadi.”

Sikap Ellen berubah drastis, dia yang dulu tidak banyak bicara tetapi malam ini. Lihatlah seolah-olah dia gadis yang sangat cerewet.

”Sepertinya kau harus diberikan hukuman yang setimpal dengan mulutmu itu!”

”Eh, Om. Jangan dong, aku janji enggak akan kabur lagi, enggak akan banyak bicara, aku akan menjadi anak yang patuh nurut sama, Om.” Ellen menatap Allen berharap Allen tidak akan menghukumnya.

”Kalau begitu sekarang enyahlah kau dari hadapanku sebelum aku berubah pikiran!”

”Aku harus ke mana?”

”Naiklah ke lantai atas, di sebelah kiri ada kamar yang di atas pintu tertulis kamar tamu.”

Tanpa membuang waktu lagi, Ellen langsung pergi meninggalkan Allen sendirian di ruang tamu. Meskipun dirinya tidak bisa kabur, setidaknya dia diperlakukan dengan baik dan tidak mengambil mahkotanya saja itu udah lebih dari cukup, pikir Ellen.

”Dasar gadis cerewet, apa karena ini ayahnya menjual dia? Tapi tidak masuk akal juga kalau iya. Ayah macam apa yang tega menjual putrinya sendiri.” Monolognya.

”Aa ...!” teriak Ellen kencang.

Allen yang mendengarkan, rasanya gendang telinga hampir pecah.

”Ada apa lagi, sih?”

”Ternyata bentuknya gini, merek supreme lagi,” ucapnya. Ia memutarkan benda tersebut.

Ellen tidak menyadari kalau Allen sedang berdiri di pintu menatap ke arahnya.

”Apa yang kau lakukan pada celana dalamku?” Mata Allen seperti Elang yang ingin memakan mangsanya.

”Aku tidak sengaja menemukannya di atas kasur. Om, kenapa taruh CD sembarangan, sih? Untungnya celana ini masih baru dan merek supreme lagi. Kalau ti–,” seru Ellen. Ia masih setia memegang CD nya Allen dengan kedua jarinya.

”Letakkan!” bentak Allen. Jujur saja, dia rasanya sangat ingin membunuh gadis di depannya, lalu meminum darahnya.

”Iya, Om. Jangan galak-galak entar tambah tua lagi,” tambahnya lagi, tanpa rasa takut sedikit pun.

Dia meletakkan CD itu di atas kasur, sedangkan Allen berjalan ke arahnya. Kemudian mengambil CD nya dengan kasar. Setelah itu, ia pun pergi dari sana. Tepatnya di depan pintu, Allen berkata.

”Sekali lagi kau berulah, aku akan benar-benar menghukummu!”

Terlihat jelas kalau Allen sedang marah, Ellen tidak berani menjawab apa-apa.

”Mendingan aku tidur aja daripada mikirin Om-om enggak jelas kayak dia.” Perlahan Ellen merebahkan tubuhnya di atas kasur. Sekarang ia sudah terlelap menjelajahi alam mimpi.



Allen [ Gadis Milik Mafia ]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang