Ternyata rentang kisah kami begitu singkat. Tidak ada yang tahu kalau Jayakarta, si anak fakultas ekonomi itu ternyata jadi korban di hari itu.
Tangis histeris terdengar di telinga sebelah kanan saya kala dr. Fara terus menyerukan nama Jaya dan berharap atas atas keselamatannya. Dokter bedah ternama yang potretnya seanggun anggrek, kali ini benar-benar terduduk lemas seraya memukuli dada suaminya —komisaris Juanda.
Jaya dilarikan ke rumah sakit selepas pingsan dalam dekapan saya, ternyata salah sangka, dia bukan memeluk tanpa alasan. Setelah rembesan darah itu membasahi kemeja dan telapak tangan, barulah saya sadar kalau dirinya tertembak peluru nyasar. Entahlah dari mana asalnya dan kenapa harus ditujukan kepada anak manis tak berdosa itu, saya masih tidak habis pikir.
"Anakku Jaya.." dr. Fara meraung, rintihnya menggaung disepanjang lorong ruang operasi. "Anakku harus pulang sama aku!"
"Ibuk.. tenang. Jaya pasti baik-baik saja."
"Buat apa Bapak menjaga negara kalau menjaga anak saja tidak bisa, hah?" dr. Fara menyentak. "Serahkan pelakunya kepadaku sekarang! Berani-beraninya dia melukai Jaya!"
Komisaris Juan tidak dapat berkata, tubuh kekarnya hanya mampu merengkuh dan meredakan eluhan dr. Fara dalam sekejap. Kami bertiga duduk di sini sudah berjam-jam lamanya, terakhir kali saya melihat Jaya ya waktu itu, waktu maniknya perlahan mengatup sebelum dirinya jatuh dalam ceruk leher saya.
"Rosa, bisa ikut sebentar?" Wira—teman terbaiknya Jaya yang sering diceritakan datang dengan langkah gontai, lantas saya mengikuti tubuh jangkung itu.
"Ada apa?"
"Ini, aku dititipin sama Jaya waktu kami tadi misah. Katanya tas dia terlalu kecil, jadi takut pecah barang yang ada di dalamnya," Wira menyodorkan sekotak kecil berbungkus koran dan bertali goni. "Jaya bilang suruh ngasih ke kamu semisal aku ketemu kamu lebih dulu."
"Terima kasih."
Saya langkahkan kaki menjauhi koridor, Wira entah kemana. Ia berbalik arah. Saya lihat anak itu kembali menunduk dengan raut murung. Kejadian ini benar-benar membuat seluruh teman, keluarga, dan para dosen berduka. Tidak ada yang menyangka kalau Jaya mendapat peluru meleset sesaat sebelum sampai di gedung kampus.
Kaki-kaki saya masih lemas, akhirnya keputusan untuk duduk di kursi tunggu yang kosong melompong menjadi pilihan terbaik saya. Selepas membalas SMS dari Ralin, orang tua saya, serta beberapa teman sekelas, saya buka bingkisan yang diperuntukkan kepada saya.
Sedah Rosalinè Rahmawati, yang cantik dan harum seperti melati.
Tulisannya begitu, di dalam kotak tersebut ada jam tangsn yang indah. Walau sedikit retak, saya tetap ambil pemberian Jaya, saya pakai di hari itu juga. Sebab saya tidak tahu apakah Jaya akan keluar dengan napas yang masih tersisa, ataukah dengan raga yang tinggal nama.
"Rosa."
Saya tolehkan kepala, Ralin.
"Aku minta maaf, kalau bukan karena aku yang ceroboh dan bikin kamu nyariin ikat rambut, kamu dan Jaya pasti sudah sampai dengan selamat ...."
Ralin peluk saya, dia tahu saya sudah tidak kuat.
Saya tumpahkan kesedihan mendalam, masih berharap kalau Jaya akan keluar dengan sehat, menggoda saya lagi, dan apabila waktu itu tiba, akan saya ikrarkan kalau saya akan jadi pasangan yang baik.
Saya akan terima cinta Jayakarta. Saya akan jadikan dia pelabuhan terakhir untuk cinta saya. Saya ... akan berusaha menjadi seorang Sedah Rosalinè, yang pantas bersanding dengan Jayakarta Al-Farabi.
"Jaya ... dia gimana?"
"Masih belum ada kabar."
"Nak Rosa!"
Itu suara dr. Fara. Dia berikan berita terkini, saya harus siapkan hati.
***
–bersambung.
KAMU SEDANG MEMBACA
Jayakarta Berdiri Tegap Di Sana | ✔
Short StoryTentang Jayakatra Alfarabi dan kisah singkat kami.