Rosa : Kepada Sedah Rosalinè Rahmawati

630 89 3
                                    

Langit malam belum teramat kelam, jendela kamar saya diketuk dengan ringan, merdu suaranya memecah fokus akan buku diktat yang tengah dibaca. Saya sudah curiga kalau pelakunya adalah Jayakarta, si anak fakultas ekonomi yang mendeklarasikan perasaannya kepada saya tempo hari.

Bukan sebuah rahasia kalau Jayakarta itu anaknya sedikit aneh, terkadang dirinya begitu diam, tidak banyak bercakap. Kadang juga, bisa menghibur saya kala ayah dan bunda menetapkan banyak tekanan yang membuat saya stres tingkat kakap.

Kami berteman semenjak menjadi mahasiswa baru, pertemuan konyol kami pun menjadi buntut cerita panjang yang sedang saya utarakan kali ini. Itu terjadi sekitar satu tahun lalu, saat ospek dan sepatu kami tertukar entah bagaimana caranya. Jaya bertahan dengan sepatu yang terlalu kecil dan saya terus kesusahan karena sepatu di sebelah kaki saya ukurannya jomplang, kami sama-sama menderita. Namun karena tidak berani untuk mencari tahu dan meminta keringanan waktu kepada kakak-kakak panitia, kami diam sampai dijam pulang.

Kebetulan kami menaiki angkutan yang sama, dan Jaya menyapa saya terlebih dahulu, dia mengenali noda sepatunya yang habis diberi pilox warna hitam karena ternyata warna asli dari sepatunya adalah putih.

"Jadi bagaimana tentang proposal permintaan izin menaruh rasa kepada Sedah Rosalinè Rahmawati? Apakah di-ACC?"

Saya sudah bilang bukan? Itu betulan Jaya. Potret tampan dan tingginya terekam walau hanya dalam bayangan dari balik gorden kamar saya. Saya membuka jendela, dan lelaki itu tersenyum lebar seraya membawa kue bolu yang masih mengepulkan uap dari wadahnya.

"Masih belum, anggaran dananya terlalu tinggi."

Lantas Jaya mendengkus, kue bolunya saya ambil alih dan saya taruh di meja belajar. Saya menyusul lelaki itu buat keluar, karena kalau saya menyuruhnya masuk, bisa-bisa ayah saya yang notabenenya seorang jenderal itu mengamuk dan menembak saya dengan senjata laras panjang. Tidak, saya tidak mau. Saya masih suka pergi ke Citraland bersama teman-teman.

"Bagian mana sih yang harus direvisi?"

Jaya bertanya dengan bodohnya. Kelakuan anak ini memang di luar nalar, beberapa hari lalu saya dibuat kebingungan karena tiba-tiba saja Jaya menanyai apakah dia boleh melabuhkan hatinya kepada saya dengan mengirimkan proposal lengkap dengan segala judul, metode penelitian, anggaran dana, dan bahkan ada daftar pustakanya pula.

Mengapa harus dengan mengajukan proposal? Saya tidak paham. Caranya aneh dan sedikit berlebihan.

"Besok kuberi tahu mana yang harus direvisi."

"Besok tidak bisa, aku mau pergi ke rumah Wira. Ada tugas akhir yang belum kukerjakan, sekarang saja."

Sebetulnya tidak ada yang perlu diperbaiki lagi, suasana hati saya berubah menjadi sehangat sup pagi hari ketika saya tahu bahwa Jayakarta Alfarabi memiliki rasa yang sama buat saya. Saya hanya menunggu lelaki itu menyatakannya secara langsung, bukan lewat tulisan seperti anak sekolah dasar. Itu tidak keren, tidak seperti lelaki sejati.

"Hem, bagaimana ya ...."

"Kamu mau aku langsung bilang kalau aku mau kamu?" Jaya berkata gamblang.

Untung saja sudah malam, kalau tidak pasti pipi saya terlihat bersemu merah, anak ini sungguhan ... saya ingin memenjarakannya agar tidak dapat memporak-porandakan perasaan saya.

"Ya, seperti itu."

"Jadi?"

"Jadi apa?"

"Apa diizinkan?"

Saya mengangguk pelan dan senyum manis milik Jaya terkembang. Kami berdua terkunci diantara sinar rembulan yang mulai menampakkan eksistensinya, bak lantun suara nyanyian yang merdu, jangkrik mengerik tanda malam semakin gulita. Pun hal tersebut tidak membuat Jaya menurunkan lekuk bibirnya.

Lelaki itu tersimpul untuk waktu yang lama, lantas saya memutuskan untuk berdeham dan mengakhiri sesi saling pandang tak berujung ini.

"Mau keliling?" tawarnya.

"Jalanan sedang tidak kondusif Jay, kamu tahu lah belakangan ini banyak kerusuhan. Ayah melarangku buat keluar, lagipula sudah malam."

Saya menolak bukan tanpa sebab. Berhari-hari ayah saya tidak pulang, kalau kalian melihat koran dan berita harian, pasti tahulah alasan utamanya. Saya seorang gadis biasa, bukan aktivis mahasiswa. Namun ayah terus-terusan memaksa saya buat diam mendekam tanpa menengok bagaimana keadaan di jalanan yang katanya sedang dalam rangkulan cekam. Saya dapat informasi dari teman-teman bahwa aksi demonstrasi akan dilakukan dikeesokan hari.

"Ngomong-ngomong, Ralin mengajakku untuk ikut demo besok," saya kembali membuka obrolan setelah kami menciptakan hening cukup lama. "Begitu kusuruh meminta izin Ayah, dia langsung kabur."

"Begitu ya? Wira juga, kami janjian untuk ikut demo dahulu, malamnya akan mengerjakan tugas dan belajar buat mid-test." balas Jaya selepasnya. "Kalau tidak lelah dan mengantuk sih."

"Kamu tidak takut? Ayahmu komisaris, anak-anak aparat dilarang ikut demo. Kata ayahku nanti pasti ada saja aksi anarkis dan berujung rusuh, beliau tidak mau aku terluka."

"Kata siapa dilarang ikut? Apapun alasannya, pilihanku sama, aku tetap turun." Jaya menggeleng mantap, "aku lahir di tanah air. Rasanya kurang tepat kalau cuma diam dan mangkir. Hidup itu perihal mampir, Rosa. Satu dua lecetpun tidak masalah, kita ikut berjuang menyuarakan aspirasi yang dibungkam."

"Ayahmu mengizinkan?"

"Tentu tidak, Ayah mati-matian melarangku. Tidak tahu kenapa, tapi semakin Ayah bilang tidak boleh, aku semakin ingin ikut besok. Biarlah Ayah marah dan menendangku dari rumah, aku masih punya tempat untuk pulang."

"Ke mana?"

"Kepada Sedah Rosalinè Rahmawati."

***

-bersambung.

Jayakarta Berdiri Tegap Di Sana | ✔Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang