Rosa : Jayakarta Berdiri Tegap Di Sana

340 73 1
                                    

Ternyata mid-test dibatalkan. Kami dianjurkan untuk ikut turun kejalanan dan mengikuti aksi demonstrasi bersama mahasiswa lainnya. Tidak punya pilihan lain, saya akhirnya mengambil almamater dan memakainya serta membawa beberapa spanduk yang sudah disiapkan teman-teman saya.

Langit ibu kota sedang terik-teriknya. Orasi dari berbagai kalangan baik dari aktivis maupun dosen terdengar lantang.

Beberapa kali kami berteriak menyerukan tujuan, seperti sumpah mahasiswa dan yang lainnya. Saya merinding, betulan. Di tahun-tahun krisis ini saya lebih sering berkutat dengan buku diktat, belajar-belajar, dan belajar lagi. Sampai-sampai saya menutup mata kalau negara saya sedang kacau begini.

Tidak ada rasa sesal yang menyelimuti, siang itu saya bersama Ralin-teman dekat satu jurusan saya, bergerak mengikuti kerumunan yang tengah menyongsong keadilan untuk hari esok, menggelorakan banyak amarah untuk rezim kejam dijaman edan ini.

Jalanan di luar kampus penuh dengan lautan mahasiswa. Paling depan, berjajar panglima-panglima tempur dari universitas kami, kebanyakan lelaki. Suara mereka nyaring terdengar sampai di barisan saya dan Ralin. Lantas saya yang tidak memiliki pengalaman turun ke jalanan hanya mengikuti instruksi dan melangkah dengan penuh hati-hati. Sampai ketika saya menangkap bayangan seseorang.

Jayakarta berdiri tegap di sana. Gagah dan berani.

Setahu saya, ini juga pertama kalinya lelaki itu turun ke jalanan, namun sosoknya tidak terlihat gugup sama sekali, punggung lebarnya sungguh indah dipakaikan almamater kebanggaan kampus. Rambutnya yang senantiasa rapi dan lebat disisir ke belakang, saya terkagum-kagum sampai Ralin harus menyikut pinggang saya pelan untuk kembali menyadarkan saya.

"Jangan melamun! Lihat siapa sih?"

"Jaya."

"Hish, kita sedang demo kamu malah fokus kepada lelaki. Jangan lengah, kita nanti terpisah!"

"Iya-iya."

Ralin dan saya mengangkat spanduk dengan semangat. Kami berlalu menuju gedung DPR waktu itu, namun perjalanan kami terhenti. Dengar-dengar sedang ada aparat yang menjaga dan dari pihak kampus kami tengah melakukan negosiasi.

Akhirnya kami harus menunggu untuk waktu yang cukup lama sebelum meneruskan langkah. Ralin nampaknya kehausan, keringatnya sudah tumpah ruah membasahi kaus hitam polosnya, almamater yang tadinya terpasang kini disampirkan di pundak. Ia mengibas-kibaskan rambut panjangnya, "kamu nggak bawa kunciran rambut?"

"Tadi rambutku sudah ku kuncir, Sa. Tapi karetnya putus. Aku nggak bawa lagi," eluh Ralin.

Kami mendengkus bersamaan. Tidak tahu apa yang terjadi di depan sana, kami di barisan belakang hanya duduk-duduk menanti keputusan.

"Aku beli minum sekalian cari karet dulu," kataku. "Kamu tunggu aku ya, jangan pergi."

"Terima kasih!"

Ralin mengangguk antusias dan saya pergi sendirian menembus ribuan mahasiswa yang tengah duduk-duduk mengistirahatkan penat. Ada warung di seberang jalan, saya berniat buat pergi kesana membelikan Ralin air mineral dan bertanya kepada pemiliknya apakah mereka memiliki karet dan sejenisnya untuk menguncir rambut.

Dengan penuh perjuangan dan tenaga akhirnya saya sampai, namun tak lama selepas saya mendapatkan apa yang saya butuhkan, kerumunan mahasiswa berlarian dengan tunggang langgang. Saya panik, beberapa kali saya disenggol sampai oleng dan hampir terjatuh. Kaki saya diinjak dengan sedemikian brutalnya, tidak ada yang memperdulikan rintihan kecil dari mulut saya, Ralin sekalipun.

Saya paham disituasi begini keselamatan diri adalah nomor satu, namun bukan seperti ini bayangan saya. Saya cuma kenal Ralin, diantara pendemo lain, saya tidak menemukan wajah yang familiar. Ini yang saya takutkan, saya tidak punya tujuan sampai saya tertinggal cukup jauh.

"LARI! LARI SEKARANG!"

"RICUH-RICUH!"

"UDAH NGGAK BISA KONDUSIF, BALIK!"

"ADA GAS AIR MATA, AWAS!"

"BALIK SEMUANYA! LARI!"

Suara teriakan yang nyaring, ledakan, dan semuanya bersahut-sahutan. Saya jadi paham apa alasan ayah melarang saya ikut, namun apa boleh buat, saya ini mahasiswa, saya berhak menentukan apa yang mau saya tempuh dan terima.

Mari mengesampingkan rasa kesal terhadap Ralin yang meninggalkan saya. Ini perihal penting, tidak bisa mundur, dan pergi begitu saja. Sedang mencoba tenang ditengah hiruk pikuk kekacauan yang terjadi, saya melihat ke langit ketika gas air mata diluncurkan.

Bodohnya saya karena tidak memiliki satupun pengetahuan tentang bahayanya zat yang terkandung di dalamnya, saya malah mendekat, alih-alih menjauh. Sontak seseorang menyentak saya selepasnya.

"JANGAN MENDEKAT, SEMBUNYI! BAHAYA!"

"Aku harus kemana..."

Masih tidak dapat berpikir jernih, saya diam tak berkutik. Lalu sebuah almamater ditutupkan di atas kepala saya, dan saya digandeng untuk menjauh dengan cepat. Dari napasnya yang berat dan memburu saya sudah menebak-nebak kalau lelaki ini sudah kelewat lelah, namun begitu langkahnya tetap mantap menjauh, menerjang kerumunan guna menjauhi kerusuhan.

Padahal beberapa menit yang lalu suasana masih baik-baik saja, semua berbanding terbalik selepasnya. Tidak tahu alasannya apa, mungkin ada provokator diantara kami dan aparat sehingga kami berselisih paham dan berakhir begini.

"Maaf, boleh berhenti?"

"Jangan, mereka nanti mendekat." balas lelaki itu menolak permintaan saya.

"Ini Jaya?"

"Ya, ini Jayakarta. Rosalinè kita harus menjauh, kita kembali ke kampus saja."

Entah mengapa saya merasa aman seketika. Lengan Jaya masih senantiasa membentangkan almamater untuk melindungi saya dari gas air mata yang diluncurkan berkali-kali. Ia menyuruh saya untuk menutup mata dan memeluk pinggangnya guna menyusuri sepanjang jalan menuju aman.

"Jaya-"

"Jangan sekarang, Rosa. Jangan bicara ... dulu. Bahaya."

Saya menurut waktu Jaya mengatakan kalimatnya, kami berjalan cukup jauh, sungguh melelahkan. Sampai ketika perlahan-lahan langkah lelaki itu mulai lamban. Saya kira kami sudah sampai di tempat yang aman.

"Sudah sampai, ya?"

Saya belum mengatakan apapun, Jayakarta langsung memeluk saya dengan erat.

***

-bersambung.

Jayakarta Berdiri Tegap Di Sana | ✔Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang