Saya tidak pernah sangka kalau Rosa adalah gadis yang begitu baik dan ikhlas.
Saya memang sering pergoki gadis itu mondar-mandir di belakang gedung fakultas sendirian. Berjongkok, berdiri, berjongkok lagi seperti mencari sesuatu, lantas ia berdiri kembali. Ternyata ia tengah menelusuri keberadaan kucing kampus yang lama tidak terlihat.
"Dia hamil."
Waktu itu saya tanya ada perihal apa, mengapa tiba-tiba Rosa meminta saya untuk pulang terlebih dahulu. Biasanya kami pulang berdua, saya antar dia, rumah kami searah, walau tidak berdekatan.
"Lalu?"
"Pasangannya enggan bertanggung jawab."
Saya tidak meninggalkan Rosa, saya ikuti gadis itu dan meniru kegiatannya. Rosa ambil sesuatu dari tasnya, mengambil boks bekas (sepertinya buku) dan menaruhnya di tempat teduh di sudut bangunan gedung.
"Kamu di sini, jangan kemana-mana."
Bukan saya yang diajak mengobrol, tetapi kucingnya. Dia mengangkat kucing hamil itu untuk dimasukkan ke boks yang sudah dilapisi selimut (milik Rosa). Rosa juga sediakan air minum yang ditaruh di mangkuk kecil, lantas ia kembali.
"Sudah?" Tanya saya. "Kamu ini harusnya masuk FKH."
"Aku cuma bantu cari rumah buat kucing, Jaya."
"Aku juga lagi bercanda," saya usak rambut gadis itu. "Mau pulang sekarang?"
"Ayo."
Lalu saya ambil motor kebanggaan ini. Walau suaranya berisik, dia jadi saksi saya tiap kali saya antar Rosa kemanapun ia minta. Saya pasangkan helm kepada gadis itu, Rosa naik selepas saya.
"Jaya."
"Hmm?"
"Anak-anak itu kasihan. Mau berhenti dulu?"
Saya tolehkan kepala, Rosa tunjuk dua anak yang sedang mengais sampah di dekat bangunan kosong yang hampir rubuh. Helm belum terlepas, tetapi Rosa buru-buru pergi ke toko kelontong terdekat untuk membeli minuman dan beberapa buah roti.
"Dek, Adek! Ke sini dulu!"
Rosa melambaikan tangan. Keduanya datang bersamaan. Kulit mereka terbakat sinar, mata mereka berbinar, Rosa berikan apa yang ia bawa sehingga keduanya ucapkan terima kasih. Mereka kembali mengais sampah.
"Harusnya kamu jadi mentri sosial," saya berkomentar.
"Nggak mau, aku takut mati."
"Haha, kok mati?"
"Sistem pemerintahannya saja demikian, aku bisa mati! Kamu tahulah sifatku yang seringkali berontak. Kalau aku ditembak di tempat, bagaimana?"
"Iya juga."
Rosa menepuk pundak saya, memberi tanda untuk teruskan perjalanan. Kami susuri Jl. Pattimura yang lengang sore itu. Selepasnya saya hentikan motor ketika rumah Rosa sudah terlihat.
"Nak Jaya," itu Maminya Rosa. Bu Agis Btari. "Makasih loh ya, yaampun kamu ini susah-susah jemput Rosa. Padahal kami ada supir."
Saya tersenyum, Ibu Rosa juga.
"Tidak apa-apa Bu, lagipula kami satu kampus. Rumahnya juga satu arah," jawab saya kikuk. Sementara itu Rosa sudah menarik-narik Ibunya untuk masuk rumah. Tetapi Bu Agis tidak kunjung sadar, ia masih nyengir.
Hmm apakah aku setampan itu sampai Ibu-ibu terpikat?
"Calon mantu itu Nduk! Kamu jangan jutek-jutek!"
Pipi Rosa bersemu merah, "ah, Ibu! Ibu ini ada apa sih? Malu aku!"
"Sampai jumpa, Rosa!"
"Iya! Sampai Jumpa, kamu hati-hati!"
Ucapan Rosa sering kali saya dengar. Polanya masih sama, nada suaranya juga tidak berubah. Tetapi entah mengapa saya selalu kecanduan.
Dia manis sekali.
Ps : potret Rosa waktu itu, saya ambil diam-diam waktu dia amati pemandangan yang bagus.
KAMU SEDANG MEMBACA
Jayakarta Berdiri Tegap Di Sana | ✔
Short StoryTentang Jayakatra Alfarabi dan kisah singkat kami.