Malam semakin larut selepas saya pulang dari rumah Rosalinè. Berbekal dengan keberanian, saya menjejakkan kaki di mana ayah tengah menunggu di depan teras bersama ibu. Motor yang berisik ini menganggu anjing tetangga, jadi sejak sampai di pekarangan, saya matikan mesinnya.
"Assalamualaikum," saya menyapa santun.
Hanya ibu yang menerima uluran tangan saya untuk salim dan menciumnya. "Nungguin Jaya semua nih?"
"Besok tidak perlu kuliah."
Ayah mengangkat alisnya yang tajam menukik, "kenapa begitu?" sahut saya setelahnya.
Ayah mengesah dan bersedekap, "kamu pasti mau ikut demo. Jadi sebelum kenapa-kenapa, Ayah sarankan kamu besok tidak usah masuk kuliah."
"Memangnya aku mau perang? Demo 'kan menyuarakan pendapat, lagi pula aku sudah sembilan belas, sudah mahasiswa." tukas saya. Ayah nampaknya tengah meredam amarah.
"Aku bisa jaga diri, aku bisa menahan untuk tidak neko-neko, Ayah."
"Kamu mengerti apa? Kamu masih kecil, di rumah saja, nanti menyesal. Yang turun pasti banyak, kamu ikut atau tidak, sama saja. Jadi tidak ada gunanya."
Kalimat seperti ini selalu diulang-ulang, ayah mengutarakannya sudah lebih dari seratus kali belakangan ini. Sejak berita kerusuhan mulai terbit di koran dan disiarkan di radio, ayah mendadak cerewet bukan main.
"Ayah ini kenapa?"
"Ayah takut terjadi sesuatu."
"Tidak ada, Ayah. Tidak akan ada apa-apa, kami tidak akan macam-macam. Lagi pula Ayah adalah aparat penegak hukum, Ayah bisa melindungi Jaya. Iya 'kan?"
Lagi-lagi ayah menggeleng, "firasat Ayah sungguh buruk. Tolong dengar kata-kata Ayah."
"Aku buktikan ke Ayah kalau besok tidak akan terjadi apa-apa kepada Jayakarta Alfarabi, anak Ayah yang paling tampan ini. Selamat malam, selamat tidur."
***
Ternyata ayah benar, demo kali ini berujung kericuhan. Ada sahut salah paham antara kami para mahasiswa dengan aparat keamanan. Saya rasa diantara kami pasti ada provokator terselubung, entah dari sisi mana, tujuannya apa, yang jelas mereka penyebab seluruh kekacauan ini.
Saya lihat para aparat semakin mendekat, kami lari terbirit-birit. Saya dan Wira berjanji akan bertemu kembali di kampus dan segera pulang selepas menyelesaikan semuanya. Di tengah-tengah kerumunan yang panik dan chaos, saya melihat gadis itu. Gadis yang saya kagumi sejak sepatu kami tertukar satu tahun lalu, Sedah Rosalinè Rahmawati. Nampaknya ia kebingungan karena bising yang merengkuh pendengaran. Pun dengan lalu lalang tak beraturan ribuan mahasiswa yang menghindari serangan, Rosa berdiri di sana. Berkali-kali ia hendak tumbang, namun masih tetap berusaha tegap seraya memegang sebotol air mineral.
"LARI, KACAU!"
"ADA GAS AIR MATA, HATI-HATI!"
"SEMBUNYI!"
Refleks, saya mendekati Rosa dengan almamater yang saya lepas dari badan saya. Saya lindungi gadis yang sudah saya pilih untuk menemani kisah-kisah saya di hari selanjutnya itu dengan penuh tenaga.
Untungnya kami dapat menghindari beberapa batu yang terlempar serta gas-gas yang diluncurkan. Saya paham dengan efek yang ditimbulkan ketika menghirup gas air mata terlalu banyak. Apalagi paru-paru saya tidak teramat bagus, jadi rasanya menyesakkan. Tetapi ada seorang gadis yang ketakutan di sini, memeluk pinggang saya dengan erat sembari terus mengucapkan kalimat-kalimat memohon perlindungan kepada Tuhan.
"Ya Allah ampuni Rosa ..." cicitnya berkali-kali saat kami terhuyung menghindari tembakan gas dan lemparan batu. "Ya Allah ampun ... ampun."
Saya sudah habis tenaga, bernapaspun pelik rasanya. Ini masih jauh sekali, namun seluruh aparat keamanan semakin dekat, saya takut dikira biang rusuh atau sejenisnya. Saya takut kalau Rosalinè tidak bisa kembali pulang dengan selamat.
"Sudah sampai, ya?"
Tepat saat Rosa membuka almamater yang melindungi kepala dan sedikit badannya, suara tembakan terdengar nyaring dan menyakitkan. Saya terdorong, entah asalnya dari mana, tapi saya rasa ini sinyal bahaya.
Ada rembesan darah yang mengaliri membasahi kemeja milik ayah yang saya pinjam hari ini. Saya tidak bisa apa-apa selain menjatuhkan tubuh saya kepada Rosalinè. Setelahnya, seluruh semesta tidak terjamah oleh mata. Seluruh teriak dan pekik dari berbagai sisi tidak dapat ditangkap oleh indera saya.
"JAYA!"
***
-bersambung.
KAMU SEDANG MEMBACA
Jayakarta Berdiri Tegap Di Sana | ✔
Short StoryTentang Jayakatra Alfarabi dan kisah singkat kami.