Chapter 05: ALIEN, MR. INFERNO & MALAIKAT KECIL

1.4K 96 21
                                    


_Menunjukkan keperkasaanku dengan amarah itu sama saja menunjukkan kelemahanku..._

ALARM ponselku berbunyi. Aku membiarkannya. Sudah ketiga kalinya suaranya terus berulang mengingatkanku agar segera beranjak dari tidurku. Namun aku terlalu malas meladeninya, aku lebih memilih menutup seluruh tubuh-hingga kepala-ku dengan selimut yang hangat. Bukan malas karena lelah tapi lebih karena tak ingin menjemput waktu untuk memulai hari ini. Sebenarnya aku sudah terjaga jauh sebelum alarm ponselku berbunyi, bahkan bisa dibilang aku tak tidur sama sekali, seperti kataku tadi ... semua karena aku enggan memasuki hari ini, sehingga otakku pun kurang istirahat karena terlalu keras memikirkan ketakutan itu.

"Apa sekarang aku sudah jadi penakut?" batinku mengejek.

Dengan lekas aku beranjak duduk. Dan "AKH!" kulampiaskan kekesalanku pada selimut yang kini tersingkap dengan menepuknya keras.

"Tentu saja aku bukan penakut," bagian hatiku yang lain mencari pembelaan. "Hanya saja ... ehmm..." Aku berusaha memikirkan perasaan apa yang pantas disebutkan untuk keadaan yang aku alami sekarang. "Eehmm... mungkin pemalu." Aku sedikit bergidik menyebutkan itu. Aku jadi jijik sendiri.

Ok! Siapa yang tidak akan malu jika 'mungkin' sebagian besar orang yang akan aku temui hari ini memasang wajah aneh atau mungkin wajah menahan tawa ketika mereka melihatku. Erghhh! Ini semua karena segala kejadian yang aku alami sewaktu orientasi perkuliahan-beberapa hari yang lalu. Kenapa aku harus memiliki nasib sesial ini? "Hah!" Kembali kurebahkan tubuhku dengan perlahan dan menarik selimut hingga menutup wajahku.

Suara ketukan pintu tiba-tiba membuatku terpaksa kembali mengusik keenggananku.

"Oooom! Kok belum bangun? Hari ini kan kuliah pertamanya Om."

Ada kegirangan bercampur antusiasme yang kudengar dari suara Tiara dari balik pintu. Yah! Bocah itu dari kemarin memang terlihat bersemangat menyambut hari pertamaku berkuliah. Aneh memang! Aku sendiri pun tak tahu pasti alasannya apa, mengingat aku sendiri malah berharap hari ini tak pernah ada.

Kemarin ... Tiara bela-belain berulang-ulang melap sepasang sepatu yang akan aku pakai hari ini; sebenarnya hal itu tak perlu ia lakukan karena sepatunya sendiri baru aku beli dan belum pernah aku pakai. Dia juga membantu bi Neni menyetrika pakaian yang akan aku pakai; sebenarnya dia hanya kebagian membantu menyemprot pelicin pakaiannya saja. Semalam aneh lagi, dia mati-matian memaksaku agar mau menerima bantuannya untuk membantuku menyampul buku-buku tulis pelajaran. Setelah dengan susah payah aku menjelaskan bahwa aku tak butuh lagi buku tulis dan menunjukan binder yang aku punya, akhirnya dia pun menyerah, meskipun sempat dia menawarkan buku tulis dan buku gambar lengkap dengan pensil warna miliknya untuk diberikan padaku.

Mengingat antusiasme keponakanku itu, pikiranku jadi sedikit tersentil. 'Kenapa aku sebegitu ngototnya memikirkan hal yang seharusnya aku anggap sepele? Kehidupanku selanjutnya lebih berharga dibanding terus berkutat pada kejadian tak menyenangkan di hari yang lalu, padahal jam pasir sudah berkali-kali aku balik.'

"Aku tak ingin jadi orang yang menyedihkan." Aku pun beranjak dari kasurku.

* * *

Kuhela napas panjang untuk sekedar memantapkan diri, saat kulihat ke luar dari dalam mobil yang terparkir. Rombongan orang sudah berduyun-duyun melewati gerbang menuju kawasan perkuliahan. Beberapa orang terlihat seragam dengan kemeja putih lengan panjang yang dipadankan dengan bawahan berwarna hitam, aku yakin mereka pasti sama sepertiku: mahasiswa baru di jurusan Teknik Sipil. Ya, untuk tiga hari ke depan, kami memang diwajibkan untuk memakai pakaian itu, belum lagi sepatu kulit hitam yang harus kami kenakan. Tadi sebelum ke sini; saat aku bercermin di depan kamarku, aku melihat diriku seperti seorang pegawai di Department Store alih-alih seorang mahasiswa teknik ... Sebenarnya aku tak terlalu suka sama kewajiban yang tak jelas seperti ini-karena tak ada alasan yang kongkrit dan relefan untuknya. Alasan mendasarnya hanya agar memudahkan membedakan mana mahasiswa baru dan mana mahasiswa lama. Lucu ya?! Bukannya itu sama saja membudayakan diskriminasi tingkatan? Dan tentu saja semakin memudahkan tindakan-tindakan senioritas nantinya. Dan lebih daripada itu, seragam ini sepertinya akan lebih memudahkan orang mengenaliku; aku tak bisa menyelinap dan berbaur dengan mahasiswa yang memakai pakaian biasa. Ahh! Paranoidku mulai kambuh lagi. Isi sms Ninos semalam sepertinya benar, "lu terlalu lebay, Vin!"

ANOTHER LOVE STORYTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang