_Untuk apa menangisi perpisahan... Terkadang pertemuanlah yang menyakitkan_"SIAPA NAMAMU..?"
Aku tak langsung menjawab pertanyaan itu. Bukan karena apa, aku hanya terlalu kaget dan butuh mengatur nafas dulu untuk bisa menjawab pertanyaan mudah itu. Belum lagi cowok yang berdiri di depanku ini bertanya dengan nada yang tinggi. Dia berteriak.
"KAMU TULI, YA?!" kembali dia meneriakkan pertanyaan dengan melotot ke arahku.
Seumur-umur aku belum pernah dibentak seperti ini.
"Melvin. Melvin Deannova," jawabku akhirnya.
"Kamu benar-benar tuli ya?" gerutunya dengan senyum yang meremehkan, "sekali lagi aku tanya, SIAPA NAMAMU?!"
Nih orang gila kali, ya? Dia kali yang tuli.
"WOY!! SIAPA NAMAMUUUU...?"
"MELVIN DEANNOVA...," aku refleks berteriak.
Aku lihat raut geram di wajahnya. Mungkin dia tak suka karena aku menjawab dengan berteriak, sama halnya aku tak suka karena dia berteriak padaku.
Dilipatnya kedua tanggannya di depan dada, lalu membelalakkan matanya padaku. "Entah kamu ini tuli atau kamu pembangkang? sampai enggak tau instrusksi yang diberikan saat pengarahan tadi. HAH?!" ucapnya penuh kesinisan. Kemudian dia mengedarkan pandangannya pada barisan di samping kiri dan kananku. "Kamu! Berdiri!" perintahnya saat pandangannya jatuh pada seseorang yang tak jauh dari sisi kiriku. "Siapa namamu?"
"Keong Bunting, bang." Cewek yang barusan ditanya namanya itu pun menjawab dengan mantap. Membuatku menyadari kesalahanku.
Cowok di hadapanku ini pun kembali menoleh padaku. Wajahnya memamerkan senyum kemenangan. "Sekarang Aku tanya lagi. SI-YA-PA NA-MA-MU?" tanyanya sambil menekan-nekankan telunjukknya pada dadaku, pada kertas nama yang menempel di situ.
Dia masih saja berteriak. Jujur, aku masih kesal, namun aku cukup sadar akan kesalahanku, maka mau tak mau aku pun menjawab dengan berat hati, "Banci Salon."
Sontak saja sekumpulan orang yang tak jauh berada di depanku tertawa terbahak-bahak setelah aku mengatakan itu. Sedangkan cowok yang berdiri di depanku ini meski tak ikut tertawa, namun senyum mencemoohnya lebih menohok dibanding tawa-tawa di belakangnya. Direntangkankannya satu tanganya ke belakang, mengarah ke sekumpulan orang yang tertawa itu dan dengan perlahan suara tawa itu pun menghilang seolah dikomandoi.
"Panggil aku, bang!" Dia mendelik, "jadi siapa namamu?"
Saat ini memang aku berada di bawah otoritasnya, tapi itu tak membuatku takut untuk tetap menatapnya, dan dengan mantap aku pun menjawab, "banci salon."
"Siapa?" Dia membelalak.
"Banci salon-" rasanya begitu berat untuk melanjutkan kalimatku, "-bang."
Senyum puasnya membuat aku muak. "Oh! Teknik Sipil juga rupanya," katanya saat melihat tali kuning yang mengikat di pergelangan tanganku.
Yah, aku memang mengambil jurusan Teknik Sipil. Dan tali kuning yang menyimpul di pergelangan tanganku menerangkan identitas jurusanku. Setiap jurusan memiliki warna masing-masing. Aku lupa warna-warna apa saja untuk jurusan yang lain. Eh, tunggu dulu! Tadi apa maksudnya dengan dia mengatakan 'juga'? Apa dia seniorku di jurusanku itu? Ah, sial!
"Sekarang turun!" bentaknya lagi sambil menunjuk tanah yang kami pijak, "push-up sebanyak lima kali."
Sekali lagi aku berusaha menahan kesabaranku, toh, hanya lima kali. Aku langsung mengambil posisi ingin push-up.
KAMU SEDANG MEMBACA
ANOTHER LOVE STORY
De Todo"... Ketiadaan sesuatu pada dirimu bukanlah ketidaksempurnaan, karena ketiadaan itu adalah cara Tuhan untuk membuatmu menjadi sempurna ...." Setelah kematian kakak perempuan satu-satunya, Melvin memutuskan tinggal bersama kakak iparnya, Arjuna-yang...