Sarapan dan makan malam bersama adalah hal wajib di keluarga Vito, hal ini dikarenakan untuk tetap menjaga keharmonisan dalam keluarga. Sesibuk apapun Boby, ia akan meluangkan waktu untuk keluarganya. Ketika malam minggu atau hari libur, mereka akan makan malam bersama di luar.
Keheningan pada sarapan pagi ini dipecah oleh Boby yang bertanya kepada Vito dan Ashel – adiknya.
"Gimana sekolah kalian? Barang barang untuk keperluan MPLS udah semua shel?"
"Udah Yah, engga terlalu banyak kok. Untung sekolah enggak nyuruh aneh-aneh." Ashel Lyra Dipraja, gadis yang anggun dan ceria. Berbeda dengan Vito yang minim ekspresi, Ashel adalah anak yang dengan mudah menunjukkan ekspresinya.
"Kamu Vito? Ini tahun terakhir kamu di SMA, Ayah harap kamu sudah memiliki tujuan untuk masa depan kamu."
"Iya, Yah." Jawabnya singkat.
Ayahnya bukan orang yang kaku, Boby adalah sosok ayah yang hangat namun tegas. Dia tidak pernah menuntut lebih ke anak – anaknya. Sikapnya yang bijak menjadi sosok idola bagi anak – anaknya, terutama Vito. Salah satu sifat Boby yang menurun ke Vito adalah pendiam.
Anin sendiri memutuskan untuk berhenti menjadi model ketika Vito berusia 5 tahun. Ia lebih memilih menfokuskan diri untuk merawat anak – anaknya dan hanya menerima endorse saja.
Usai sarapan bersama, Vito dan Ashel segera berangkat menuju sekolah. Tak lupa mereka menyalami kedua orang tuanya dengan takzim.
"Hati – hati di jalan, abang jangan ngebut bawa motornya," Ucap Anin yang dibalas anggukan oleh Vito.
Setibanya di sekolah, Vito langsung menuju ke kelasnya, sedangkan Ashel harus berkumpul bersama siswa baru lainnya di aula sekolah.
Selalu begini, tak pernah ia tak merasa gugup jika di dekat seorang gadis yang kini berdiri di sebelahnya.
Berada satu lift selama beberapa menit, membuat Vito terus memejamkan matanya sembari memakai earphone di telinganya.Namun, ia tak mendengarkan lagu apapun. Percayalah, itu hanya sebuah cara untuk menyembunyikan kegugupannya.
Vito membiarkan gadis itu serta temannya ke luar mendahuluinya. Ia perlu menetralkan detak jantungnya sebelum nanti bertemu di kelas.
Ah, sial ia baru ingat ternyata mereka sekelas. Vito berdiri cukup lama di depan kelasnya, entah kenapa dia kembali gugup. Selama 2 tahun mengagumi dalam diam dan dari jauh, mengapa di tahun ke-3 ini mereka harus berdekatan? Vito -- hanya takut. Lamunannya buyar ketika tepukkan keras mengenai pundaknya, Febian pelakunya.
"Lo ngapain diem doang di depan pintu gini?" Febian mendorong Vito untuk memasuki kelas mereka. "Ah, gue tau ni kenapa," Ia terkekeh melihat wajah datar Vito, namun, Febian tau jika sahabatnya itu sedang gugup.
Iya, memang hanya Febian yang mengetahui rahasia besar Alvito Hema Dipraja. Itupun karena ia tak sengaja memergoki Vito yang sedang memandang wanita itu seraya tersenyum. Mau tidak mau Vito menceritakan itu semua kepada Febian karena Febian yang terus bertanya dan bagi Vito itu sangat menganggu. Tapi Vito bersyukur Febian tak menceritakan hal ini kepada siapapun.
****
"Gue masih ngga percaya kita sekelas sama cewek-cewek cakep." Ucap Zahran setelah berhasil menghabiskan makan siangnya. Kini mereka ber-enam berada di kantin. Vito yang biasanya menyendiri di taman belakang pun ikut bergabung bersama teman-temannya.
"Dih, Norak, kayak nggak pernah lihat cewe cakep aja lo." Balas Azizi.
"Yaudah si, kok lo yang sewot, Ajijay."
"Lo berdua bisa nggak si, sehari nggak adu bacot? Capek gue dengernya." Ucap Evan frustasi melihat Azizi dan Zahran yang selalu bertengkar di manapun dan kapan pun. Padahal, mereka tetanggaan, dari kecil selalu bareng-bareng. Sampai pernah orang tua mereka membelikan kaos yang sama ketika pulang dari liburan.
Di sebuah meja yang berada di tengah kantin terdapat circle yang berisikan wanita-wanita cantik. Mereka sedang menikmati makan siang mereka sembari bercanda. Sebenarnya banyak pasang mata yang menatap ke arah mereka. Entah itu curi-curi pandang atau bahkan terang-terangan. Tak sedikit orang yang mengagumi mereka.
"Gila kita sekelas sama kutu buku." Ucap salah satu dari mereka yang bisa kita kenal dengan nama Dhea.
"Tapi teh kasep euy, apalagi itu si ketua OSIS, senyumnya bikin meleleh."
"Alay lo Helisma," Nabila – Lala memutar bola matanya menanggapi perkataan Helisma.
Yessica tertawa kecil melihat teman-temannya. Matanya yang indah mengitari penjuru kantin. Dia terdiam, beberapa saat dia terpaku. Dia tidak pernah menemukan senyum semanis itu sebelumnya. Hanya senyum kecil seorang pria yang sedang duduk bersama teman-temannya. Atensinya tertuju pada layar handphone miliknya. Chika--begitu ia dipanggil, tak henti menatap wajah pria itu.
Chika tak pernah menyangka akan menyukai seseorang hanya dengan melihat senyumannya. Ia melihat keberadaan Azizi di sana, kenapa sepupunya itu tidak menceritakan kalau dia mempunyai teman yang memiliki senyum semanis itu?
Chika terus memandang wajah itu, sampai tak lama mata mereka bertemu. Hanya sesaat, sebelum seorang wanita yang Chika ketauhi adalah Satine menghampiri pria yang telah mencuri perhatiannya hari ini. Hey! Apakah Satine adalah kekasihnya?
****
Tipis dulu hehe, sekali lagi ditunggu kritik dan sarannya!
Terima kasih yang udah baca :)
KAMU SEDANG MEMBACA
Ice Cream & Chocolate
General Fiction"Kamu itu seperti es krim, dingin, tapi aku suka." - Yessica Tamara "Kalau coklat itu manis, senyum kamu berkali-kali lipat lebih manis daripada coklat favoritku" - Alvito Hema Dipraja