09. Milis si Penyihir Pengelana

107 39 19
                                    

Semakin kami masuk ke dalam hutan, semakin tinggi pohon-pohon yang kami temui. Semuanya berukuran raksasa dan membuat kami merinding takut. Ditambah lagi di sini begitu gelap, banyak suara gagak, tapi juga sangat menakjubkan. Serangga-serangga yang berterbangan memiliki cahayanya sendiri walau sekecil cahaya korek api pada tubuhnya, juga, pohon-pohon liar yang belum pernah kami temui secara langsung tetapi ada dalam buku di perpustakaan desa. Saat aku mendongak, ada kabut di atas bersamaan dengan tribun daun-daun pohon raksasa---membuatku tidak dapat melihat langit. Sepertinya, jika ada matahari pun, sinarnya takkan dapat menerangi seluruh hutan ini.

Aku dengan adik-adik dapat beristirahat dengan sedikit tenang di sini----karena sedari tadi tak tampak hewan-hewan besar yang mengerikan, karenanya kurasa kami aman.

Aku berusaha mengumpulkan ranting kering, rumput-rumput menguning yang bertebaran di sekitar. Kemudian, menyalakan api unggun dengan menggunakan batu api yang William temukan, kain arang, dan menggeseknya perlahan hingga mengeluarkan percikan panas di sana.

Dengan begitu, muncul api.

Aku sudah pernah belajar cara menyalakan api dengan menggunakan bahan-bahan yang ada di sekitar. Saat itu, desa sering mati listrik dan minyak tiba-tiba sulit didapati. Alhasil, mau tidak mau, kami memanfaatkan batu api dan kain arang untuk membuat api unggun, sekalian membantu sumber pencahayaan kami di malam hari. Begitu menyenangkan, aku juga bisa sambil bermain-main walau pada akhirnya Ibu akan marah dan menyuruhku untuk diam.

"Grill, aku mengantuk. Apa kita bisa benar-benar beristirahat di sini?" Suara Gimmy membuatku menoleh ke belakang dan tersenyum.

"Beristirahatlah, kalian juga. Biar aku yang berjaga."

"Kita kehabisan air." Teressa berjalan mendekatiku.

"Haus ...." Chloe memegangi perutnya. "Aku juga lapar."

Senyumku surut, aku mengerti kalau mereka lapar, karena aku juga merasakan hal yang sama. Sekarang, aku sudah tidak lagi berada di desa yang di mana aku dapat dengan mudah mengambil air dari sumur. Aku dengan adik-adik berada di hutan yang tak kutahu namanya apa, seberapa jauh dari rumah, atau apakah aku dapat melihat langit esok pagi. Aku tidak tahu di mana, bahkan aku tidak tahu apa-apa tentang hutan ini.

Tentunya, yang aku yakini, akan ada banyak bahaya yang menimpa. Mengingat apa yang terjadi di desa membuatku harus selalu waspada.

"Chloe dan Choirul, jaga Gimmy. Teressa dan William, tolong tetap di sini dan lindungi mereka. Aku akan mencari air atau, hal lain setidaknya yang dapat dimakan." Aku menyimpan tas selempang di atas tanah, membukanya.

"Lalu bagaimana denganmu, Grill? Apa kau akan pergi sendirian?" tanya Teressa.

Aku mengangguk.

"Aku harap kau dapat mempertimbangkannya. Ini bukan pilihan baik. Kita tidak tahu apa-apa tentang hutan ini, bagaimana jika kau tersesat?"

Aku mengerutkan alis. "Aku tidak akan pergi jauh," jawabku, mengeluarkan buku misterius itu dari dalam tas. "Sepertinya aku menemukan petunjuk."

"Petunjuk?" William berjalan mendekat. "Buku ini, kau membawanya?"

Aku mengangguk. "Buku ini adalah satu-satunya yang dapat membantu kita untuk bertahan hidup. Mungkin, ada banyak informasi lain di dalamnya." Aku membuka acak buku tersebut, membaca setiap kata yang aku temui; "Ada hutan yang menjadi medan tempur, ada hutan yang menjadi sumber kehidupan, ada hutan yang membuat mati. Jika gelap, jangan mendekat pada semak-semak. Jika gelap, jangan berlari dan berteriak".

Kemudian pada halaman 124 pada baris ke delapan bertuliskan; "Air ada pada akar pohon dengan daun merah".

Meski mengerikan, buku ini ternyata dapat membantu. Jika apa yang tertulis dalam buku ini benar adanya, maka aku dapat menemukan pohon dengan daun merah agar mendapatkan air. Namun, jika bukan, sepertinya buku yang kupegang ini tak akan berguna.

The Brother's Gimm and The Cursed World: Escape [ REVISI ]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang