Aku mengerti. Gimmy tidak diperbolehkan pulang malam ini. Entah apa yang Tetua tanyakan pada Gimmy, entah apa yang terjadi di sana, seharusnya Gimmy masih diperbolehkan pulang dan hukuman berjalan esok hari.
Meski kami di dalam kamar dan ini sudah waktunya untuk tidur, kami masih terjaga. Tentu saja, kami tak akan pernah bisa tidur nyenyak malam ini tanpa kehadiran Gimmy, dan terus merasa takut akan esok hari. Diamnya orang-orang dalam rumah juga membuat hening, kami tak bersuara sama sekali.
Akhirnya, aku menyibakkan selimut, menyuruh agar adik-adik cepat terlelap meski tak akan nyenyak. Aku tak mau mereka sakit, karena itu akan menambah beban untuk orang tua. Pergi ke tabib untuk berobat tidak membutuhkan uang yang sedikit, maka tak heran banyak anak-anak meninggal karena sakit yang tak terobati.
Aku juga mencoba untuk terlelap, menenggelamkan wajah lebih dalam pada bantal, tapi tetap tak bisa. Sehingga jam terus bersuara, suasana semakin senyap, aku tetap terjaga dengan sendirinya. Tak ada rasa kantuk yang mencoba menguasai. Saat aku bangun dan ingin mengeluarkan buku misterius itu untuk dibaca lagi, telingaku menangkap suara seseorang menangis. Tidak lain itu adalah Ibu.
Satu fakta, aku tak pernah mendengar Ibu menangis. Di mataku, beliau adalah sosok yang kuat. Ibuku itu keras, tak pernah berlebihan dalam bercanda, selalu serius menanggapi berbagai hal. Sama sepertiku, Ibu benci kejutan. Semua hal-hal yang dipersiapkannya dari jauh-jauh hari harus terlaksanakan, jika tidak beliau akan marah-marah, tapi berusaha keras untuk memulainya kembali. Mungkin, sekarang, menurutnya kejadian hari ini adalah di luar rencana Ibu. Kejutan tentang kami yang seharusnya sekarang tidur nyenyak seperti biasa bersama Gimmy, kini tidak lagi. Kejutan yang seharusnya aku memulai rencana akan magang yang dilaksanakan Minggu mendatang, kini tidak lagi. Dengan kata lain, aku mengacaukan semuanya.
Aku turun dari ranjang, berjalan pelan dan membuka pintu kamar. Tampak orangtuaku saling merangkul dengan Ibu yang menangis tersedu-sedu. Perasaan sedih ikut mengusik benakku, karena ini adalah kali pertama aku melihat mereka seperti sekarang.
Aku mendekat pada mereka, menyentuh tangan Ayah dan Ibu, merasakan tangan mereka menegang dan raut wajah yang terkejut, serta melihat dengan jelas sisi lemah ibuku.
"Ayah, Ibu, maafkan Grill." Aku berujar lirih. "Maaf, maafkan Grill," kataku berulang sembari memejamkan mata, merasakan napasku sesak.
Sentuhan hangat membelai rambutku, begitu aku membuka mata, Ayah tersenyum. "Semuanya akan baik-baik saja. Ayah senang kau mau memperjelas dan bertanggung jawab."
"Aku tidak bisa menjaga adik-adik dengan baik," aku menjeda, berusaha menahan suaraku agar tak gemetar, "tolong maafkan aku."
Ibu mengangguk, menarikku pelan dan membawanya ke dalam dekapan. Aroma lemon yang kentara tercium, ibuku sejak dulu tak berubah. Mungkin sekarang hanya raut wajahnya yang selalu tampak lelah, kerutan di mana-mana, kantung mata yang kian menghitam. Aku sayang ibuku, aku selalu ingin beliau mampu memahamiku selalu, memperhatikanku lebih, seperti dulu saat William belum lahir.
Kini sudah ada semuanya; William, Teressa, Chloe dan Choirul, Gimmy. Mereka jarang bertanya padaku soal keseharian, perhatian mereka juga terbagi untuk adik-adik. Meski begitu, aku tak merasa iri. Tanggung jawab Ibu dan Ayah tentu lebih besar daripada aku.
"Ibu harus bawakan baju untuk Gimmy," ujar Ibu melepas pelukan. "Kau cepatlah tidur, sudah hampir jam sepuluh malam."
"Bolehkah aku ikut?"
"Apa yang ingin kaulakukan?"
Aku ingin ke perpustakaan. "Aku ingin berbicara sebentar dengan Gimmy."
Ibu menatapku khawatir, tapi sebisa mungkin aku berekspresi biasa agar tak mencurigakan. Kenapa aku ingin ke perpustakaan? Aku butuh buku sejarah. Kenapa aku berbohong? Tidak, aku tidak berbohong. Aku ingin meminta maaf pada Gimmy, dan berkata padanya bahwa aku sebisa mungkin akan mengiriminya surat, agar Gimmy tak kesepian selama masa hukuman berlangsung.
Ayah menghela napas dan mengangguk. "Jangan berbuat yang aneh-aneh, kau mengerti?"
Aku ikut mengangguk. "Terima kasih, Ayah."
***
Kami berjalan di tengah-tengah keheningan. Ini adalah kali pertama aku keluar malam hari bersama Ayah dan Ibu di atas jam sembilan malam.
Suara serangga terdengar menggema, hawa dingin seolah menusuk-nusuk kulit, dan telinga yang menangkap setiap detail suara lebih jelas karena sepinya sekitar. Ternyata, malam hari cukup menyeramkan di Cratirone. Tak ada anak-anak yang berlari sambil tersenyum, orang-orang yang menyapa serta suara orang dewasa yang menawarkan dagangan. Sangat sepi, bahkan suara langkah kaki kami dapat terdengar sangat dekat.
"Jadi ingat saat Grill terjebak hujan di rumah Kenneth." Dari kami, Ayah adalah orang pertama yang membuka suara.
"Saat Gimmy sakit, Teressa merajuk, Chloe dan Choirul yang bertengkar, William yang sedih karena pancake yang dia masak gosong, kemudian Grill yang belum pulang juga karena terjebak hujan." Ibu ikut bersuara.
Saat aku asik membaca buku dongeng baru berjudul "The Little Mermaid" yang ditemukan Kenneth, teman masa kecil yang setahun lebih tua dariku (sekarang sedang magang), sampai lupa waktu. Untung saja Ayah mau menjemputku, bermodalkan sehelai daun pisang dan kantong plastik untuk menutupi rambutnya. Aku yang baru saja berumur sepuluh tahun, menangis di rumah Ken karena ingin Ken meminjamkan bukunya agar aku membacanya kembali di rumah. Akhirnya Ken mengizinkannya, lalu aku pulang sembari naik ke bahu Ayah, berlari di tengah hujan pada malam hari, sambil tertawa karena menyadari Ayah memakai celana pendek yang bolong bagian bokongnya.
"Grill sangat suka buku cerita itu, betulkan?" tanya Ayah, membuatku tersenyum nostalgia. "Putri duyung yang kehilangan cintanya demi sang pangeran."
"Dongeng yang tidak berakhir bahagia." Ibu menoleh padaku. "Dongengnya memiliki akhir cerita yang menyedihkan, kenapa kau menyukainya?"
Untukku, dongeng itu begitu menarik. Dongeng yang bagus, hanya saja tidak berakhir seperti kebanyakan dongeng pada umumnya. Dongeng yang tidak berakhir dengan kata-kata, dan mereka hidup bahagia selama-lamanya.
"Berikan alasanmu, Grill."
"Kenapa Ayah memintanya?"
"Ayah ingin mengetahuinya."
Aku terdiam sejenak, kemudian menjawab, "Karena dongengnya bagus, dongeng yang berbeda."
Ayah mengangguk. "Cerita yang tidak berakhir dengan bahagia, bukan berarti cerita itu jelek. Setiap kejadian juga tidak selamanya buruk, selalu ada hal-hal baik jika kita mau menyadarinya. Termasuk hari ini."
"Hari ini?" tanyaku.
"Hari ini kita tertimpa musibah, banyak kejadian yang selalu kita takutkan kedatangannya. Tapi hari ini justru membuat Ibu dan Ayah menyadari sesuatu tentang Grill." Ayah mengelus puncak kepalaku, kemudian jongkok di hadapanku. "Grill Gimm sudah tumbuh jauh lebih dewasa. Bukan anak kecil yang menangis karena berebut mainan dan buku dongeng. Terima kasih sudah mau menjaga adik-adik, Grill. Ayah harap, meski kau tak magang, kau tetap mau menjadi kakak untuk adik-adik."
Ucapan Ayah membuatku merinding, dadaku sesak dengan bahu yang seketika gemetar. Aku menggigit bibir bawah, mataku sedikit menyipit dengan alis yang berkedut, mati-matian menahan tangis agar tak keluar. Tapi aku terlalu lemah untuk menahan hal semacam ini.
Ibu ikut mengelus puncak kepalaku. "Terima kasih, Grill."
Aku senang, tapi aku juga sedih. Walau aku merasa menjadi yang paling sulit karena diberi tanggung jawab besar untuk menjaga adik-adik, tentunya mereka lebih sulit. Bekerja dan mengurus kami bukanlah hal yang mudah. Apalagi kami sering membangkang, tak menurut, sudah pasti menjadi beban.
Senyum yang diperlihatkan Ayah dan Ibu tampak tulus, aku berharap bisa jauh lebih kuat dan bertanggung jawab untuk adik-adik.
Aku mengangguk pelan, dan kami kembali berjalan beriringan.
Aku berjanji, akan menjaga keluargaku apa pun yang terjadi.
***
![](https://img.wattpad.com/cover/273641828-288-k461322.jpg)
KAMU SEDANG MEMBACA
The Brother's Gimm and The Cursed World: Escape [ REVISI ]
FantasíaAku menemukan sebuah buku dari perpustakaan yang memiliki nama penulis di bagian sampul belakangnya, yang membuatku terkejut begitu membaca isinya; "dunia ini terkutuk". Ada banyak monster yang tidak aku tahu, bahkan nama desa-desa kami ada di dalam...