Jinyi kembali bersiap melangkahkan kakinya ke sebuah bar di daerah Gangnam. Sebuah tas berisi gaun terusan selutut yang selalu menjadi satu permintaan dari Junyeong, sang manajer untuk urusan sopir pengganti pun sudah bersanding pada bahunya.
Kondisi jalanan yang sudah mulai lengang ditinggal para penikmat jalan membuatnya tiba di tempat tujuan dalam waktu singkat. Meskipun begitu, bangunan-bangunan dengan suara musik keras menggema hingga ke luar masih terlihat sibuk dengan berbagai kegiatan manusia di dalamnya. Di depan bar yang menjadi tempat tujuannya, Jinyi melihat seorang pria mabuk yang mengeluarkan isi perutnya berulang-ulang.
Tanpa menghiraukannya, Jinyi melangkahkan kakinya ke dalam bar tersebut.
"Kamu sudah datang?" tanya Junyeong.
"Hm. Apa dia di dalam? Ruangan yang mana?", tanya Jinyi tanpa basa-basi.
"Dia ada di luar. Kamu tidak bertemu dengannya ketika masuk tadi?" jawab Junyeong yang juga tak kalah dinginnya.
Jinyi mengarahkan kepalanya ke pintu masuk, memperhatikan pria yang berjuang untuk tetap sadar, meskipun kondisinya tidak memungkinkannya lagi untuk sepenuhnya sadar. Pria itu bahkan tidak bisa berdiri tegap menggunakan kakinya sendiri. Tubuh tingginya terus membungkuk, mengeluarkan suara demi suara muntahan tanpa jeda.
"Maksudmu, dia??" tanya Jinyi, menggerakkan ibu jarinya dengan malas pada pria tersebut.
"Hm. Kamu sudah pernah mengantarkannya khan?"
"Tapi kenapa dia di luar sana?"
"Kamu tidak tahu? Dia bukanlah orang yang sama dengan pria waktu itu. Sekarang, dia hanya rakyat biasa seperti kita. Pesan minuman-minuman mahal tapi pada akhirnya tidak bisa membayarnya."
"Maksudmu? Orang kaya seperti dia, mana mungkin tidak bisa membayar minuman yang tidak seberapa?"
"Cih. Orang kaya? Dia sudah menjadi pria miskin. Semua kartunya diblokir, debit juga kredit."
"Lalu? Bagaimana caranya membayar minuman yang sudah dipesannya?"
"Bos memberinya kelonggaran karena dia pelanggan tetap disini. Tapi dia tidak bisa berlama-lama disini. Ocehannya mengganggu kenyamanan para pelanggan disini. Kamu antar saja dia secepatnya."
"Hhhh, baiklah. Mana kunci mobilnya? Dia yang pegang kuncinya?"
"Mobil? Aku tidak melihatnya membawa mobil." ujar Junyeong dengan santainya.
"Hah?! Lalu buat apa kamu memanggilku kesini kalau dia tidak membawa mobil yang bisa kugunakan untuk mengantarnya??"
Pria yang memanggilnya ke bar tersebut tidak menjawab apapun. Ia hanya menaikkan kedua bahunya, tak peduli.
"Aissh! Kamu hanya membuang waktuku dengan percuma!" dengan kesal, Jinyi membalikkan badannya dan mendekati pria mabuk di depan bar sambil menghentakkan kakinya di setiap langkahnya. "Hei! Ayo!"
"Hm? Siapa kamu? Apa yang kamu lakukan? Kau mau membawaku kemana?" dengan suara mabuknya, Seokjin bertanya maksud dan tujuan perempuan yang menggelayutkan lengannya di pundaknya tanpa tedeng aling-aling.
Jinyi tidak menjawab pertanyaan Seokjin, hanya berusaha sekuat tenaga menyeret tubuh tinggi pria tersebut memasuki sebuah taksi yang dihentikannya. Gadis itu tidak dalam mood untuk berargumen, bahkan hanya untuk sekedar memberi jawaban.
[---]
Taksi yang membawa keduanya membelah angin, mengantarkan mereka dalam sekejap ke depan rumah mewah Seokjin. Jinyi menarik napas dalam sebelum menarik kembali tubuh Seokjin. Pertama dan terakhir kalinya dia mendatangi rumah tersebut adalah beberapa hari lalu, dan sejujurnya, peristiwa tersebut tidak memiliki kenangan yang baik untuk diingat.
KAMU SEDANG MEMBACA
Between Us
FanfictionDua manusia duduk berdampingan, di hadapan seorang pria yang sedang membacakan janji sumpah sehidup semati, lengkap dengan pakaian kebesarannya sebagai seorang pendeta. Kemeja hitam sang pria dan gaun putih gading sang wanita terlihat kontras di dep...