5] Kontrak

2 1 0
                                    

Jinyi terbangun dari tidurnya di atas sofa yang terletak tidak jauh dari pintu kamar. Tempat tidur besar nan empuk tidak tersentuh seujung jari pun oleh Jinyi, begitu pula baju tidur dan berbagai baju lainnya yang tersedia dalam lemari.

Meskipun ibu Seokjin bersikeras dengan seluruh fasilitas yang disediakan olehnya, dengan kepribadian yang dimiliki Jinyi, dia tidak akan menggunakannya seolah semuanya adalah miliknya. Ia mungkin bukan orang berada dan ia bersedia melakukan apapun untuk mendapatkan uang, tapi bukan berarti dia seorang yang gila uang. Sepanjang malam, dia menghabiskan banyak waktu berpikir dengan tindakan spontannya yang menerima tantangan dari Kakek Seokjin. 

Ia ingin menarik semua perkataannya tapi dia sendiri bahkan tidak memiliki kesempatan untuk menyatakan pendapatnya setelah berjanji akan menikahi Seokjin, hanya agar pria itu menerima kembali seluruh haknya sebagai pewaris Jin Enterprise. Seperti yang dikatakan di atas, dia bukan seorang yang materialistis, tapi Jinyi tidak suka jika dia adalah penyebab terjadinya sesuatu dalam kehidupan seseorang. Lagipula pernikahan ini seharusnya hanya terjadi seumur hidup. 

Wajah gadis itu terlihat sedikit pucat, mungkin kelelahan dan beban pikiran yang mengganggunya sepanjang malam. 

Tok tok tok. 

"Ya?" Jinyi beringsut menuju pintu dan membukanya. 

"Nona, Anda ditunggu untuk sarapan bersama." ujar wanita tua yang semalam menawarkan jasanya dengan ramah.

"Ah, baiklah. Saya akan turun. Tolong beri saya waktu untuk bersiap." ujar Jinyi. Kedua belah matanya menutup rapat, berusaha menyingkirkan rasa tak enak yang menjalar ke seluruh tubuhnya. 

"Nona tidak apa-apa? Wajah Anda terlihat pucat." wanita tua yang masih belum diketahui namanya oleh Jinyi, menggerakkan tangannya hendak menyentuh dahi gadis muda tersebut. Dengan sebuah gerakan halus yang cepat, Jinyi mengelak dari sentuhan yang ditawarkan olehnya.

"Tidak, tidak apa-apa. Saya hanya kurang tidur, saya tidak terbiasa tidur di tempat asing." jawab Jinyi tersenyum masam, mencoba menghilangkan kekhawatiran yang mungkin muncul dalam benak wanita tua tersebut. "Saya akan bersiap-siap." Jinyi segera membalikkan tubuhnya, menghilang di balik kamar mandi.

Wanita yang sudah tidak lagi muda itu melangkahkan kakinya masuk ke dalam kamar tamu tersebut, melayangkan pandangan ke seluruh penjuru ruangan. Sofa dengan bantal sofa yang terletak asimetris, tempat tidur yang rapi lengkap dengan baju tidur di atasnya. Ia mengamati kondisi ruangan tersebut dengan teliti dan seksama sebelum melangkahkan kakinya menuju walking closet, memeriksa beberapa baju yang tergantung di dalamnya.

Setelah melakukan pemeriksaan cepat, ia kembali ke ruang makan, mendekati ibu Seokjin dan berbisik di telinganya. Entah apa yang dikatakan olehnya, tapi ibu Seokjin hanya mengangguk pelan menanggapi perkataannya.

[---]

Jinyi memasuki ruang makan dan mendapati seluruh anggota keluarga sudah menempati tempatnya masing-masing. 

"Maaf, saya terlambat." ujar Jinyi, berdiri di tengah pilar yang memisahkan antara ruang tamu dengan ruang makan. Salah satu tangannya menyentuh tangan lainnya dengan canggung, tidak tahu sikap apa yang harus ditunjukkannya. 

"Tidak apa-apa, ayo duduk." Mama Sujin pun kembali sigap, berdiri dari tempat duduknya, segera menghampiri Jinyi, menyentuh tangannya untuk membimbingnya ke kursi di samping Seokjin.

Melihat dan mengetahui maksud gerakan Mama Sujin tersebut, Jinyi pun segera mengelakkan tubuhnya, seperti yang dilakukannya pada kepala pelayan wanita sebelumnya, "Ah, maaf, saya bisa sendiri. Anda tidak perlu membimbing saya." ucap Jinyi, menundukkan kepalanya, memberi tahu bahwa ia tetap menghormati wanita paruh baya tersebut meskipun tubuhnya menolak maksud baik darinya. 

Kamu telah mencapai bab terakhir yang dipublikasikan.

⏰ Terakhir diperbarui: Sep 10, 2021 ⏰

Tambahkan cerita ini ke Perpustakaan untuk mendapatkan notifikasi saat ada bab baru!

Between UsTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang