1. Kaynala Mentari

3.9K 143 3
                                    

"Nala nggak mau menikah dengan orang yang bahkan fotonya saja nggak boleh Nala lihat," tutur Nala di depan keluarganya.

Ada paman dan bibi, juga kakak dan adiknya yang pada malam itu memang sengaja berkumpul untuk membahas mengenai perjodohan Nala dengan seseorang yang dipilihkan oleh kakeknya yang sudah tiada.

"Calon suamimu itu bukan orang sembarangan, Nala. Seharusnya kamu bersyukur dia mau menerima perjodohan ini. Kamu  nggak akan menyesal setelah melihatnya," ujar sang Paman, yang adalah adik kandung dari ibunya.

"Paman, maaf. Tapi, Nala sama sekali nggak peduli. Siapapun dia, Nala nggak mau menikah dengannya," tutur Nala, masih berusaha bicara sesantun mungkin walau sebenarnya emosinya sudah memuncak.

"Tapi, Nala. Ibu dan bapak yakin kok, setelah kamu mengenal orangnya, kamu pasti mau. Besok, mereka akan ke sini. Ibu harap kamu mau bersikap baik, ya, sama mereka."

Nala tidak menjawab, dia langsung pergi ke kamarnya dan duduk di depan meja riasnya.

"Jangan-jangan, gue mau dijodohin sama aki-aki, lagi! Iiih!" Nala bergidik.

Lalu, ketika dia mengingat ucapan pamannya mengenai orang itu, Nala memelototi cermin di depannya.

"Maksudnya apa bukan orang sembarangan? Dukun?"

Keterlaluan! Masa jaman sekarang masih dijodoh-jodohkan, sih? Mana dia tidak diizinkan pula melihat foto orang itu. Benar-benar mencurigakan.

Pokoknya, Nala akan terus menolak perjodohan itu. Tapi, bagaimana caranya ?

****

Cahaya matahari pagi menerobos masuk ke kamar Nala yang bernuansa oranye. Kamar itu hening, tak ada aktivitas apapun di dalamnya. Padahal, jam sudah menunjukkan pukul tujuh pagi.

Maka dari itu, adiknya yang bernama Anggita datang untuk membangunkannya.

"Kak? Udah bangun belum? Aku ada sesuatu loh buat Kakak!" katanya setelah membuka pintu kamar itu.

Di atas ranjang, tampak sebuah gundukan besar. Mengira kakaknya itu sedang tidur, Anggita pun mendekat.

"Tau nggak? Kemarin, aku berhasil ngambil foto calon suaminya Kakak. Sumpah, demi apa! Kakak pasti nggak nyangka deh!"

Gundukan itu tak bergerak.

"Kak? Oi, bangun! Penasaran nggak nih?" Anggita mengeluarkan selembar foto dari sakunya. "Tadaaa! Ini dia fotonya!!!"

Tapi tak ada tanda-tanda pergerakan di  balik selimut bermotif Doraemon itu.

"Kak? Kak Nala?" Sekarang Anggita mulai menggoyang-goyangkan sesuatu di balik selimut.

Kok aneh? Empuk gitu, kayak boneka.

Curiga, Anggita menyingkap selimut itu dengan satu kali tarikan. Dan seketika, matanya membelalak. Jadi, dari tadi, yang diajaknya ngomong itu boneka buaya?

Lalu, di mana kakaknya?

Sebelum Anggita berteriak histeris, matanya menangkap selembar kertas yang ada di atas kepala boneka tersebut. Anggita mengambil dan langsung membacanya.

*Nala nggak mau dijodohkan, Pak, Bu. Nala pamit, ya. Suatu saat nanti, Nala pasti pulang. Jaga kesehatan Bapak dan Ibu, ya.*

Anggita lalu berteriak sekencang mungkin, "Bapaaaak! Ibuuuu! Kak Nala kabuuur!"

Brak!

Pintu kamar dibuka dengan kasar dari luar. Lalu kedua orangtuanya muncul dengan wajah terkejut, disusul kakak laki-lakinya.

"Apa kamu bilang?"

"Kak Nala kabur! Dia ninggalin surat ini." Anggita mengangsurkan surat itu dengan tangan gemetar kepada sang ayah.

Bersamaan dengan itu, sayup-sayup terdengar suara mesin mobil mendekat. Rangga, anak sulung keluarga itu membuka jendela untuk mencari tahu siapa yang datang.

Ada tiga mobil mewah yang memasuki pekarangan rumah mereka.

"Pak, Buk, mereka datang," lirih Rangga, membuat lutut kedua orangtuanya lemas seketika.

"Gimana ini, Pak? Mereka sudah datang!" ujar istrinya dengan wajah pias.

Bapak meremas surat di tangannya dengan penuh rasa marah.

"Anak itu benar-benar mau buat keluarga kita malu!"

****

Unboxing My BossTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang