8. Keluarga Sultan

952 68 0
                                    


"Pekerjaan ini tidak semudah yang kamu bayangkan."

Nala mengerjapkan mata, tidak sepenuhnya memahami ucapan Bibi El.

"Jangan takut," tutur wanita bermata sipit itu kemudian. "Pekerjaan ini juga tidak sesulit yang kamu bayangkan."

Meski begitu, tidak ada nada menghibur di suaranya, apalagi mimik wajahnya. Jadi, hal itu tidaklah mengurangi keraguan Nala. Dia merasa cukup takut kalau-kalau nanti dia akan melakukan sebuah kesalahan dan berujung dengan pemecatan.

"Kemarilah, ada banyak tempat dan ruangan yang harus kamu ketahui." Bibi El lantas beranjak, Nala mengikutinya dari belakang dengan lambat.

"Rumah ini memiliki luas bangunan seribu meter. Ada tiga puluh kamar di sini. Empat kolam renang. Dua di kamar pribadi, dua lainnya ada di lantai bawah dan bebas digunakan siapa saja. Ada mini bar, spa, gimnasium, minimarket, ATM, lapangan tenis, cinema room. Kita ke lantai dua sekarang!"

Bibi El terus berbicara di depan Nala ketika mereka melintasi ruang utama di lantai dasar. Padahal Nala belum puas melihat-lihat sekitarnya tapi wanita itu sudah mengajaknya ke lantai dua.

Sejak tadi, Nala baru melihat dua orang staf wanita berusia sekitar empat puluh tahun sedang mengelap beberapa guci antik yang ada di sana. Entah di mana keberadaan para pemilik rumah ini. Nala sungguh penasaran dengan wajah-wajah mereka.

"Jalan lebih cepat, Nona. Kamu harus tepat waktu jika sewaktu-waktu mendapat panggilan dari salah satu Bos kita. Mereka tidak suka membuang waktu untuk sekedar menunggu," ujar Bibi El sambil menoleh pada Nala melalui bahu.

Nala mempercepat langkahnya, menyusul Bibi El yang sudah berdiri di depan sebuah lift. Untuk kesekian kalinya, Nala dibuat tercengang dengan apa yang dilihatnya di rumah mewah ini. Fasilitasnya setara hotel berbintang. Di mulai dari desain eksterior dan interiornya. Semuanya benar-benar menakjubkan di mata seorang Kaynala Mentari.

"Bibi El," ucap Nala ketika mereka sudah berada di dalam lift.

"Ada apa?"

"Berapa jumlah asisten rumah tangga yang bekerja di sini?"

"Lebih dari tujuh puluh orang."

"Wah, banyak banget. Apa semuanya perempuan?"

"Empat puluh wanita dan sisanya pria."

Tak lama kemudian, pintu lift membuka dan tibalah mereka di lantai dua yang berisi ruangan untuk spa, mini bar, minimarket, ATM, dan lapangan tenis terbuka yang berhadapan langsung dengan laut. Ada enam buah kamar di sana, masing-masing digunakan untuk tempat tinggal para maid wanita.

"Perhatikan setiap sudutnya, mungkin suatu saat kamu akan diminta untuk membersihkan area di sini."

"Iya," jawab Nala sekedarnya.

"Kita ke lantai tiga."

Nala mengangguk pelan, mulai merasa lelah. Rumah ini terlalu luas untuk dijelajahi. Nala yang tukang rebahan sambil menonton Drama Korea ini tidak terbiasa dengan aktifitas melelahkan seperti sekarang.

Bisakah dia ke kamarnya sekarang? Dia butuh bantal saat ini juga. Matanya mengantuk jika dia merasa lelah.

Nala menguap lebar-lebar tepat di belakang Bibi El, bahkan sampai mengeluarkan suara. Bibi El menoleh padanya dengan tatapan dingin yang menusuk sementara Nala hanya balas menatapnya dengan wajah tak berdosa.

Setibanya di lantai tiga, kantuk Nala hilang begitu dilihatnya pemandangan yang ada di sana. Kolam renang berbentuk hati di keliling oleh pondok-pondok kecil untuk bersantai. Melihat jernihnya air itu, rasa-rasanya Nala ingin menceburkan dirinya ke sana.

"Di lantai ini ada kamar milik Tuan besar dan Nyonya besar. Juga kamar putri perempuan mereka. Saya akan memperkenalkan kamu dengan mereka nanti jika mereka semua sudah pulang dari liburan di Korea."

"Oh, jadi mereka sedang liburan."

"Iya."

Nala manggut-manggut, sambil memandangi sekelilingnya. Lantai tiga ini memiliki sebuah ruang keluarga yang dilengkapi dengan sofa berlapis emas, TV berukuran besar beserta furnitur lainnya yang hampir semuanya diimpor dari Virginia. Ada lukisan pemandangan padang rumput sabana di salah satu dindingnya, yang berharga miliaran rupiah. Nala tidak berani menyentuh apapun di sana karena setiap pergerakannya seperti bisa dirasakan oleh Bibi El.

"Lantai tiga ini adalah tempat keluarga Tuan besar berkumpul. Biasanya mereka akan berada di sini hingga larut malam."

Nala hanya ber-oh kecil dan terus mengikuti ke mana Bibi El melangkah. Dia menunjuk pintu kamar milik majikan mereka yang menghadap langsung ke laut. Lalu, memberitahu Nala letak kamar putri mereka yang memiliki kolam renang pribadi yang tadi sempat Nala lihat.

"Tempat ini sangat privasi. Tidak ada yang boleh ke sini kecuali atas permintaan mereka."

"Oh, begitu," ujar Nala.

"Kita akan ke lantai empat."

Nala pasrah saja diajak berkeliling seperti itu. Awalnya dia bersemangat untuk melihat seluruh isi rumah. Tetapi, setelah dijalani, ternyata sangat melelahkan.

"Di sini ada dua kamar milik Tuan Muda kita. Berhati-hatilah jika datang ke sini karena salah satu dari mereka... sedikit berbeda."

"Berbeda?"

Bibi El tidak menjawab, dia terus berjalan seraya menunjukkan ruangan apa saja yang ada di sana. Dimulai dari mini bar, ruang bersantai dengan jendela panorama yang memperlihatkan Samudra Hindia. Adapun infinity pool yang terletak di bibir tebing, menghadap langsung ke laut lepas.

Dari sana, Nala bisa mendengar suara debur ombak yang menghempas batu karang. Angin terus menerpa wajahnya, membuatnya merasa kian mengantuk.

"Oh, ya, Bi, kok saya nggak ada lihat foto keluarganya Pak Bos?"

"Kamu memang belum melihatnya. Ada lukisan mereka di lantai bawah, di dekat ruang utama. Saya akan menunjukkannya nanti."

Nala hanya mengangguk, tak berniat bertanya lebih lanjut. Bibi El kemudian mengajaknya kembali turun ke lantai dasar. Di mana kamar sebagian maid terletak di sana. Nala sendiri akan ditempatkan di kamar di lantai dua, bersama sepuluh orang staf lainnya.

Bibi El membawa Nala menuju ruangan yang terdapat meja panjang dan dua puluh kursi yang biasa digunakan jika mereka kedatangan tamu istimewa. Di depan meja itulah tampak sebuah lukisan besar berisi gambar diri 5 orang anggota keluarga yang mana salah satu di antara mereka membuat Nala tercengang seketika.

"Lukisan ini dibuat oleh pelukis terbaik di Ubud pada tahun dua ribu delapan belas," ucap Bibi El, berdiri di samping kiri lukisan tersebut.

"Ini adalah Tuan besar kita. Bapak Cipto Udayana Devandra Wicaksana dan Nyonya Nilam Kaylindra Maheswari Wicaksana." Bibi El menunjuk lukisan dua orang yang duduk bersampingan.

Nala mengamati wajah keduanya dengan seksama. Namun, dia kembali fokus pada gambar seorang pria berambut hitam dengan sebuah senyuman selebar bulan sabit.

Dia...

"Ini Nona Adisti Isvara Kalinda, satu-satunya anak perempuan dari keluarga ini. Masih berusia delapan belas tahun. Dan ini...," Bibi El menunjuk gambar seorang pria dengan bola mata hitam yang tajam. Tak ada senyuman di wajahnya yang tampan. "Tuan Muda Raden Aji Dilan Pratama Wicaksana. Berusia 28 tahun dan menjabat sebagai Presiden Direktur perusahaan Shine Grup."

Nala tidak begitu peduli dengan nama-nama itu, yang dia ingin tahu saat ini adalah, siapa pria yang berdiri di sisi nona muda itu? Kenapa wajahnya mirip sekali dengan seseorang yang pernah dikenalnya di masa lalu.

Sadar karena tatapan Nala tak berpindah dari satu wajah sejak tadi, Bibi El pun menjelaskan, "Ini Tuan Muda Keenan Arkana Mahesa Wicaksana, putra kedua dari Tuan dan Nyonya. Dokter di salah satu rumah sakit milik keluarga ini juga."

Kelopak mata Nala membesar ketika mendengar nama itu disebutkan.

Jadi benar...

Dia....

Astaga, apa takdir sedang bercanda?

Tak melihatnya selama beberapa tahun, apa mereka akan kembali bertemu di sini?

****

Unboxing My BossTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang