Almara berjalan menuju batu besar tempat dimana Ruha mengatakan jika Vaniya mati disana.
Dia mencocokkan tempat dengan foto yang tadi dikirim kepadanya. Tempat dia, Ruha, Mura, dan Vaniya difoto tepat diantara batu besar dan gunung yang jauh di ujung.
Ya, Almara yakin jika wanita yang ada di samping Mura adalah Vaniya. Wanita yang ada di mimpinya tadi juga Vaniya dan sama persis dengan yang ada di foto tadi.
"Jadi disini tempatnya." Gumam Almara saat sampai di depan batu besar.
"Ada apa sih sebenarnya di masa lalu? Kenapa gue dibawa-bawa?"
Hening. Tidak ada yang menjawab Almara karena hanya dia sendirian di pantai. Dia mengusap kedua lengannya. Dingin memang berada di pantai saat malam hari. Apa lagi dengan kondisinya yang saat ini.
"Lo Almara, kan?"
Almara terlonjak kaget saat mendengar suara seseorang. Dia langsung membalikkan badannya dan mendapati Mura yang kini berjalan ke arahnya.
"Mura?"
"Ngapain lo disini?" Tanya Mura saat sampai di depan Almara.
"Lo juga ngapain disini?" Almara bertanya balik kepada Mura.
Mura hanya diam sambil duduk di pasir. Dia menatap kaki kiri Almara yang diperban, kemudian dia menekannya yang membuat Almara langsung terduduk.
"Arghh.. sakit.." ringis Almara sambil mengusap kakinya yang diperban.
"Kirain gak ada luka." Ucap Mura dengan wajah tanpa dosanya.
"Lo gila ya?!" Pekik Almara sambil menatap tajam Mura.
"Mending lo pulang sekarang. Gue yakin lo kesini gak ngasih tahu Ruha." Tebak Mura yang 100% benar.
Almara mengalihkan pandangannya. Dia juga tahu mungkin saat ini Ruha sedang mencarinya. Tapi sebentar lagi mungkin dia akan sampai kesini karena cincin masih melingkar di jari manis Almara.
"Terserah gue." Ketus Almara.
"Lo gak perlu nyari jawaban kesini. Gak ada yang bisa menjawab semua pertanyaan di pikiran lo." Ucap Mura yang membuat Almara langsung menatapnya.
"Maksud lo?" Tanya Almara sambil mengerutkan dahinya.
"Mending lo hidup dengan tenang aja. Gak usah terlibat hubungan apa pun dengan hantu."
"Kalau lo masih disini, cepat atau lambat lo pasti akan menyesal."
"Maksud lo apa sih?" Tanya Almara karena dari tadi mendengar ucapan Mura yang seperti melantur.
"Gue ngasih lo saran sebagai sahabat lama, meskipun lo gak ingat. Jalani aja hidup lo seperti sebelumnya." Ucap Mura sambil menatap Almara.
"Jangan pernah nyari jawaban atau lo akan menyesal." Lanjut Mura.
Almara hanya mengedipkan matanya berkali-kali. Sama sekali tidak mengerti dengan arah pembicaraan Mura.
"Sejak kapan lo jadi sahabat gue?" Tanya Almara saat otaknya mulai berfungsi.
"Lo gak perlu tahu." Ucap Mura yang membuat Almara menghela napasnya.
"Gue perlu jawaban untuk semua pertanyaan di hidup gue. Gue gak peduli kalau pun nyesal, yang terpenting gue tahu semuanya." Ucap Almara sambil menundukkan kepalanya.
"Ruha gak akan biarin lo tahu semuanya karena itu yang terbaik buat kita semua. Termasuk gue juga gak akan biarin lo tahu."
"Emangnya kenapa? Ada apa sih sampai gue sendiri gak boleh ingat atau tahu?"
"Lupain aja."
Mura berdiri dari duduknya yang membuat Almara langsung menatapnya.
"Lo mau kemana?" Tanya Almara.
"Ruha udah datang, jadi gue harus pergi sekarang." Ucap Mura sebelum menghilang dari samping Almara.
Almara hanya mengembuskan napasnya kasar. Bertemu Mura pun tidak membuatnya mendapat jawaban. Dan kini hanya menambah pertanyaan di pikirannya.
"Almara!" Teriak Ruha dan Almara langsung menoleh ke belakang.
Ruha kini sedang berlari ke arahnya. Almara yakin jika Ruha sangat mencemaskannya.
"Lo kenapa kesini, hah?" Tanya Ruha saat sampai di depan Almara.
"Gue.."
"Kenapa lo gak ngasih tahu gue atau pelayan? Bahkan lo bilang ke Niki mau ke toilet tapi sampai ke pantai! Lo nyari toilet sampai ke pantai, hah?"
"Lo gak tahu seberapa paniknya gue tadi sampai gak sadar kalau lo masih makai cincin itu. Lain kali kalau mau keluar bilang sama gue, jangan pergi tanpa ngasih tahu gitu!"
"Apa lagi kondisi lo saat ini gak baik. Lo gak mikirin kaki lo yang luka itu? Gak usah jauh-jauh deh mikir ke luka, gimana kalau musuh gue tiba-tiba celakain lo? Lo gak mikir sampai kesitu, hah?!"
Almara menundukkan kepalanya. Dia seperti sedang dimarahi kedua orang tuanya saat keluar tidak memberi tahu siapa pun. Memang salahnya juga karena pergi tanpa memberi tahu Ruha. Tapi setidaknya Ruha juga begitu. Dia berkata pergi kerja tapi ternyata beradu kata dengan pria yang selalu menelponnya. Lalu apa salahnya?
"Kaki lo gak apa-apa, kan?" Tanya Ruha sambil memeriksa luka di kaki kiri Almara.
"Hm." Gumam Almara tanpa menatap Ruha.
Mana berani dia menatap Ruha yang barusan memarahinya. Dia memang ada niat untuk membalas semua perkataan Ruha, tapi diurungkannya karena mata dan mulutnya tidak bisa bekerja sama. Dia tidak mau nangis sebelum berkata kepada Ruha.
"Kenapa lo kesini?" Kali ini Ruha bertanya dengan nada lembut.
"Gue pengen nenangin pikiran." Ucap Almara sambil menatap Ruha.
"Lain kali jangan pernah pergi keluar sendiri, bahaya buat lo." Ucap Ruha yang membuat Almara langsung menganggukkan kepalanya.
"Tadi lo beneran kerja?" Tanya Almara.
"Iya."
Almara mengalihkan pandangannya. Dia tidak mengerti kenapa Ruha tidak mau jujur padanya. Padahal selama ini dia menunggu Ruha menjelaskan semuanya kepadanya.
"Kemarin malam gue dapat pesan dari nomor asing. Nomor itu ngirim foto ke gue." Ucap Almara yang akhirnya berani mengatakannya kepada Ruha.
"Foto apa?" Tanya Ruha sambil mengerutkan dahinya.
"Gue, lo, Mura, dan Vaniya. Kita berempat ada di foto itu dan latar belakangnya tepat disini, tempat yang kita duduki." Ucap Almara.
"Kirim nomornya ke gue, nanti gue nemuin orang itu." Ucap Ruha.
"Setelah itu, orang yang ngirim foto nelpon gue. Dia nanya apa gue udah ingat semuanya atau belum. Gue gak paham maksud dia nanya gitu apa dan gue berusaha nyari jawaban."
"Orang itu juga bilang akan nunggu gue kembali. Dia juga bilang kalau terjun di sungai penghapus ingatan gak akan buat hidup gue tenang."
"Dari situ gue mulai bertanya-tanya ada apa di masa lalu dan apa hubungannya sama gue."
Almara menatap Ruha yang kini mengalihkan pandangannya.
"Setelah lo pergi tadi, orang itu nelpon gue lagi. Dan yang gue denger percakapan lo sama orang itu." Ucap Almara yang sukses membuat Ruha langsung menatapnya.
"Jangan buat gue kayak orang bodoh, Ruha. Kalau apa yang ada di masa lalu ada hubungannya sama gue, bilang! Kenapa cuma gue yang gak tahu? Lo sama Mura, kenapa kalian berusaha biar gue gak tahu? Sebenarnya ada apa?" Tanya Almara dengan mata yang berkaca-kaca.
Sedangkan Ruha hanya terdiam. Dia sama sekali tidak mampu menjawab pertanyaan Almara. Dia ingin membiarkan semuanya berjalan tanpa diketahui Almara. Semua yang dilakukannya juga agar Almara tidak melakukan kesalahan yang sama seperti di masa lalu. Dia tidak ingin harus kehilangan Almara lagi. Cukup sekali dan dia tidak ingin semuanya terulang.
KAMU SEDANG MEMBACA
Pengantin Untuk Hantu ✅
Mystery / ThrillerAlmara, wanita berusia 20 tahun yang hidup berdampingan dengan kekayaan. Namun semuanya berubah semenjak adik laki-lakinya mengalami sakit parah. Tanpa disadarinya, dia dijadikan pengantin untuk hantu agar adik laki-lakinya bisa kembali sehat. #1 Pe...