Sinar matahari pagi itu menembus tirai biru di balik jendela dan perlahan jatuh menyentuh kelopak mata seorang lelaki. Ia mengerang sembari mencoba menutupi kedua matanya dengan lengan agar terhindar dari silau matahari. Baru saja menemukan posisi nyaman untuk kembali tidur, seketika suara berisik dari arah jendela kembali merusak suasana.
ASTAGA.
Lima menit lagi! Ia hanya butuh waktu itu, lima menit. Tetapi tetangga di sebelahnya sudah rusuh di pagi hari.
Lelaki itu mendengus kesal seraya membuka matanya. Kini ia sepenuhnya terbangun. Ia menguap seraya berusaha berjalan menuju jendela yang terbuka. Memang udara pagi menyegarkan, apalagi diiringi dengan kicauan burung. Tetapi percayalah, suara mesin pemotong rumput serta teriakan anak-anak tetangganya sangat memekakkan telinga.
Netra lelaki itu kini menatap sinis keluarga yang sedang berada di halaman rumah mereka. Sang ayah yang seperti biasa sibuk mereparasi sesuatu atau memotong rumput halamannya. Sang ibu yang sesekali muncul dari dalam rumah untuk membawakan makan pagi. Serta ketiga anaknya yang sibuk berlari ke sana kemari, entah bermain apa.
Lelaki itu tidak membenci mereka. Ia tidak pernah memiliki masalah dengan tetangganya itu. Hanya saja, ia tidak begitu suka dibangunkan terlalu pagi di waktu liburnya. Meski kesal, pada akhirnya ia ikut tersenyum ketika melihat ketiga anak itu tertawa ketika tengah asyik bermain. Singto sebenarnya menyadari, jauh di lubuk hatinya, ia menginginkan kebahagiaan yang sama seperti mereka.
Ia segera meraih gagang jendela dan menutupnya rapat. Setidaknya kini jendela itu dapat memblokir suara dari luar yang menganggu hari Minggunya.
"Pagi, Singto," sebuah suara kecil membuat lelaki itu menoleh ke belakang.
Singto mengulum senyum seraya menghampiri sosok yang baru menyapanya dari ambang pintu. Ia memeluk perempuan itu dan berbisik, "Pagi."
Perempuan itu balas memeluknya, "Tidurmu nyenyak?"
"Mmm," Singto mengangguk seraya melepaskan pelukannya, "Kamu belum pergi?"
Perempuan itu kemudian memaksakan sebuah senyum seraya menunjukkan jaket jeans di lengannya, "Baru akan."
"Hati-hati di jalan, ya. Jangan sampai nyasar," Singto mengacak rambutnya.
Perempuan itu tertawa sebelum teringat sesuatu,"Oh ya, tadi aku sempat membuatkanmu sarapan."
"Khop khun khrap," Singto tersenyum.
Sejenak perempuan itu memandang Singto. Senyum Singto sangat dingin. Bahkan sejak semalam, ia tahu senyum lelaki itu bukan senyuman yang tulus meskipun terlihat sangat manis dan nyata. Sekilas memang terasa menyejukkan, ditambah dengan parasnya yang tampan. Tetapi tidak ada emosi yang disampaikan melalui senyumnya.
Di sisi lain, Singto sadar perempuan itu sedang berusaha menyapu rasa kecewanya dengan senyuman yang dipaksakan. Lelaki itu mengerti betul bagaimana seorang perempuan menggunakan senyumannya sebagai bentuk pertahanan untuk menyembunyikan perasaan mereka. Tentu saja bergaul dengan banyak perempuan membuat Singto lebih memahami mereka.
Singto menghela napas dan menatap perempuan di hadapannya dengan lembut. Tangannya meraih jaket jeans dari lengan sang perempuan dan membantu mengenakannya. Perempuan itu kini tersenyum lebih cerah sambil menatap Singto. Tetapi lelaki itu hanya mendapati tatapan yang sama. Mata yang berisi hasrat. Mata yang sama dengan mata perempuan-perempuan sebelumnya. Selalu saja mata dengan hasrat yang sama. Tidak ada yang lain.
Sebelum perempuan itu dapat berkata-kata, Singto memberikan kecupan singkat pada dahinya sambil berbisik, "Sebelum kamu pergi, tolong jangan lupa. Apa pun yang kita lakukan itu cuma delusi. Saranku sih jangan pernah kamu percayai. Karena kamu tahu? Delusi itu sesat. Ia tidak akan membawamu ke mana-mana."
Singto mengambil langkah mundur. Kini sang perempuan tidak lagi dapat menutupi sendu di kedua matanya dan Singto sudah muak dengan ekspresi semacam itu. Sejak awal, mereka tahu apa yang mereka lakukan tidak pernah nyata. Tetapi tetap saja mereka mempercayai itu semua nyata.
Hal bodoh untuk mempercayai sesuatu yang tidak nyata sejak awal.
"Hey, mungkin aku tidak akan melihatmu lagi, tapi..." Singto kembali dengan senyum hangatnya, "Semalam sangat menyenangkan."
Perempuan itu mengecup bibir Singto singkat lantas berucap, "Khop khun kha, Singto."
Singto memperhatikan sosoknya yang menjauh dari dirinya dan menghilang di ujung koridor. Kemudian yang terdengar hanyalah langkah kaki dan pintu yang dibanting pelan, lalu sunyi.
Singto kembali menguap, tetapi ia sudah benar-benar tidak mengantuk. Ia meregangkan otot-otot tubuhnya sembari berjalan ke tepi jendela kamarnya. Dari posisi ini, ia bisa melihat perempuan itu sedang berjalan keluar dari halaman depan rumahnya.
Singto menghela napas. Ternyata menjadi lelaki manis itu melelahkan sekaligus menyenangkan. Ia sudah cukup terlatih untuk menjadi "lelaki impian" para wanita meskipun sebagian besar bukan dirinya yang sesungguhnya.
Bagian yang menyedihkannya adalah ia tidak pernah peduli dengan semua wanita yang pernah bersamanya. Singto bahkan tidak ingat nama perempuan yang baru saja bersamanya. Entah wanita mana yang menghubunginya dua hari lalu maupun kemarin. Pada akhirnya ia hanya akan memblokir semua kontaknya dan tidak bertemu mereka lagi.
Singto berpaling menuju ruang makan. Terlihat nasi goreng seafood telah tersedia di atas meja makannya, lengkap dengan jus jeruk di sebelahnya. Nasi goreng itu dibentuk hati dengan plating yang sangat menarik. Perempuan itu benar-benar menyiapkan makan pagi untuknya.
Namun, lelaki bersurai hitam itu menganggap makanan buatan si perempuan tidak ada artinya. Tiba-tiba saja ia membenci seafood dan merasa kenyang. Dahulu ia bisa makan apa saja, termasuk seafood. Semua hal yang dimasak oleh dia. Apa pun yang dia suapkan ke mulutnya, Singto akan memakannya.
Lelaki itu kembali menghela napas. Ia tidak yakin, tetapi ia merasa sesuatu dalam dirinya telah hilang dan membuat dadanya sesak. Sesuatu yang sudah lama sekali hilang dan barangkali tidak akan dapat ia temukan lagi.
Singto hanya bisa tersenyum pahit sembari mengangkat piringnya hanya untuk ia lemparkan isinya ke dalam tempat sampah. Nasib yang sama untuk jus jeruk yang ia buang ke sink dapur. Ia memilih untuk memesan delivery dibandingkan memakan apa yang baru saja dimasak oleh wanita-yang entah Singto lupa namanya.
Singto memejamkan matanya sembari menunggu pesanannya datang. Ia membenci perasaan ini. Perasaan gelisah yang tidak kunjung hilang selama tiga tahun terakhir. Seolah-olah ia tengah tenggelam tanpa mengetahui mengapa dan siapa yang menariknya lebih dalam. Ia ingin melihat ke langit biru, tetapi apa yang dilihatnya selalu hitam. Ia ingin menghirup udara, tetapi air selalu memenuhi tenggorokannya. Ia hanya butuh seseorang untuk menariknya keluar, tetapi tidak ada yang mengetahui ia sedang tenggelam. Bahkan dia, sama sekali tidak tahu apa-apa tentang Singto.
Setiap kali perasaan ini muncul dari dalam dirinya, Singto rasanya ingin berteriak sekuat tenaga. Tetapi seperti kebiasaannya, ia hanya memendamnya dan berteriak di dalam kepalanya sampai semuanya menghilang. Meski begitu, kekosongan itu tak kunjung hilang. Berapa banyak pun perempuan yang ia tiduri, tidak ada yang bisa mengisi kekosongan dirinya.
Karena mereka bukan 'dia'.
Singto tertawa, merasa dirinya sangat bodoh untuk terus menggali dan berkubang dalam rasa sakitnya. Ia tahu membohongi dirinya sendiri adalah hal konyol. Tapi apa yang bisa ia lakukan? Rasa sakit itu tidak pernah berakhir. Ia seperti berjalan berputar-putar, terjebak dalam delusinya, dan tidak kunjung menemukan titik perhentian.
Tetapi bukankah memang sejak awal seperti itu?
Ia hanya terjebak delusinya?
Karena semua dimulai dengan kebodohannya untuk mempercayai sesuatu yang tidak pernah nyata?
***
KAMU SEDANG MEMBACA
White || Singto x Krist [Slow Update]
Fanfiction[ On Going; AU; Bahasa Indonesia; Krist-Singto Fanfiction ] Update : Weekend Kini semuanya terulang kembali, semua warna yang terlihat kabur: Hati yang abu-abu Cinta yang menyala merah padam Netra yang kebiruan Kenangan yang menguning Bayanganmu yan...