Waktu di ponsel Singto hampir menunjukkan pukul tujuh, namun lelaki itu masih menimbang apakah ia harus membatalkan janjinya dengan Off dan Gun atau tidak.
Netra Singto masih membayang antara layar ponsel dan pesan terakhir Off yang sebatas dibacanya. Sedangkan jemarinya dimainkan di atas meja, bergantian mengetuk-ngetuk perlahan di permukaan kayu. Kemudian ia menghela napas.
Off sendiri sudah ribut sejak dua jam yang lalu saat Gun baru tiba di Chiang Mai. Meski tak dibalas oleh Singto, lelaki bertubuh jangkung itu terus mengirimi pesan dan kabar mengenai Gun. Menurut pengamatan Off, sejauh ini masih aman dan Gun sama sekali tidak menaruh curiga pada dirinya.
Singto masih mendiamkan sahabatnya sejak pesan terakhir Off yang mengingatkan agar Singto tidak terlambat datang ke vila mereka.
Namun hingga saat ini, sudah tak terhitung berapa kali Singto menghapus dan mengetik ulang pesan di kolom balasan percakapan dengan Off. Sebentar ia mengetik akan segera bersiap-siap. Kemudian dihapus dan diganti dengan kata-kata on the way. Di detik yang lain diubahnya dengan alasan-alasan klasik—kelelahan, masih di tempat kerja, hingga tak diizinkan Phi Jane—hanya untuk membatalkan janji mereka.
Singto memberai rambutnya frustrasi.
Biasanya tak sesulit ini untuk menolak ajakan Off. Singto akan mencari alasan sederhana. Entah masuk akal atau tidak, Off pasti akan mengerti.
Tetapi pertimbangan kali ini lebih rumit.
Kemungkinan hadirnya Krist membuat pengambilan keputusan kali ini bak memilih hidup atau mati. Dipikirkan begitu matang oleh Singto.
Lagi-lagi kepala dan hati Singto bertengkar. Akalnya mulai menciptakan skenario kecanggungan terburuk yang mungkin terjadi antara dirinya dan Krist. Tetapi hatinya berteriak untuk segera pergi dari hotel menuju vila Off.
Singto rasanya ingin membelah diri.
Tidak bisakah rohnya saja yang mampir ke vila Off untuk melihat Krist lalu kembali ke tubuhnya? Hanya untuk melihat senyum Krist sekali lagi?
Pertemuan tak sengajanya dengan Krist tadi pagi nyatanya membuat semua hal menjadi lebih runyam. Kalau saja Krist tidak kembali ke hadapannya untuk mengatakan hal itu, Singto mungkin dapat lebih mudah untuk mengabaikan pertemuan mereka.
Tetapi sekarang, siapa yang harus bertanggung jawab kalau Singto candu dengan suara Krist yang mengatakan ia rindu? Juga panggilan khusus yang tersemat lembut dari bibir Krist?
Singto memejamkan matanya dan menarik napas panjang. Kalau terus-terusan seperti ini, ia keburu kehabisan waktu sebelum dapat menentukan pilihannya.
"Nong, kau jadi ke vila Off?" tanya Phi Jane yang baru menginjakkan kaki di kamar mereka.
Baik Singto maupun sang manajer sudah tiba di hotel sejak setengah jam yang lalu. Namun Phi Jane masih harus mengurus beberapa hal dengan staf acara esok hari di lobi.
Singto mengunci ponselnya dan melemparnya ke atas ranjang.
Phi Jane yang melihatnya tampak sedikit terkejut, "Aw, Nong. Kenapa? Sedang bad mood?"
"Nggak tahu," Singto langsung berlalu ke kamar mandi.
Setelah merasa kepalanya cukup dingin dan lebih segar, ia memilih membalut tubuhnya dengan hoodie berwarna biru dongker dan celana hijau army selutut. Sebenarnya alasannya sederhana. Ia mantap untuk menolak ajakan Off dan Gun srhingga ia memilih pakaian yang nyaman untuk merebahkan dirinya di ranjang.
Singto melompat ke ranjangnya dengan tangan yang meraih ponsel. Baru saja ia mengetikkan alasan di kolom balasan, Phi Jane tiba-tiba menyahut, "Oh, Nong. Barusan Off meneleponmu tapi nggak kuangkat. Coba kau telepon balik, siapa tahu ada urusan penting."
KAMU SEDANG MEMBACA
White || Singto x Krist [Slow Update]
Fanfic[ On Going; AU; Bahasa Indonesia; Krist-Singto Fanfiction ] Update : Weekend Kini semuanya terulang kembali, semua warna yang terlihat kabur: Hati yang abu-abu Cinta yang menyala merah padam Netra yang kebiruan Kenangan yang menguning Bayanganmu yan...