Halaman Parkir Candi Prambanan
Klaten
[12:15]“Lu yakin gua nggak perlu ikut turun?” pertanyaan tersebut datang dari Wira. Lamunan Asti pun buyar, ia menolehkan kepala ke arah pria yang duduk di belakang kemudi dan menggeleng.
“Nggak usah Wir. Kamu di tungguin sama dedek gemesmu, ta?” tanya Asti sambil menyunggingkan senyumnya.
“Sial!”
“Udah, Wir. Santai aja,” ujar Asti sambil melepas seatbelt dan sekali lagi mengecek dandanannya, memastikan tidak ada yang rusak atau luntur.
“Bener ya? Pokoknya, kalau lu butuh apa-apa, langsung aja telepon gua. Kalau lu mau dijemput juga nggak apa-apa, telepon gua and I’ll be here right the moment you ask,” ujar Wira.
Asti tersenyum dan mengangguk, “sip. Udah, sekarang fokus sama dedek gemes aja ya Wir. Thanks banget udah mau kurepotin ya.”
“Hih, kaya sama siapa aja … inget pokoknya, jangan kacauin pernikahannya, atau nangis diem-diem di toilet umum. The sweetest revenge ever is when you show him that you’re happier without him. With new guy, or with better career! Inget pesen gua, oke?” tanya Wira.
“Oke komandan! Sayang banget ya, udah ganteng dan baik gini masih belum ada tambatan hati,” goda Asti.
“Bacot lu! Udah sana turun!” Asti mengangguk dan tidak membuang lebih banyak waktu lagi untuk turun dari mobil dan berjalan dengan sepatu heels yang sebenarnya malas Asti pakai. Meskipun begitu, Asti memilih untuk tetap terus berjalan.
Hari ketika Arga putus dengan Asti, merupakan hari yang paling buruk sepanjang sejarah kehidupan Asti. Ia sama sekali tidak bisa memejamkan mata sepanjang malam. Kalau boleh jujur, gadis itu tidak bisa menduga dan bahkan ia tidak bisa memproses dengan baik bagaimana dan kenapa mereka bisa sampai ke moment dimana akhirnya Arga memutuskan untuk mengakhiri hubungan mereka yang sudah berjalan delapan tahun. Dalam dua hari bahkan Asti tidak bisa memejamkan mata dengan proper.
Lalu setelah masuk hari ke empat, Asti mulai merasakannya. Kehilangan. Sosok Arga yang selama ini selalu berada disekelilingnya. Asti merindukan Arga bahkan di hari-hari berikutnya. Tubuh Asti mulai menunjukkan tanda-tanda penolakan, ia tidak doyan makan, bahkan untuk sekedar makan makanan favoritnya. Asti juga tidak bisa tidur, meski ia terus memaksa dirinya mengalihkan rasa patah hatinya dengan bekerja keras. Asti merasa baik-baik saja ketika ia berada ditengah lautan manusia, namun ia meraung ketika ia sendirian.
Hingga akhirnya suatu hari Asti memutuskan untuk menghubungi Arga, karena ia kalah dengan kondisi kepalanya dan hatinya, yang masih mengharapkan Arga untuk kembali, bahkan berubah pikiran atau paling tidak mencoba untuk memulai kembali segalanya dari nol—Asti datang dengan begitu putus asa kepada Arga, dan seperti yang sudah semua orang tahu, Arga menolak mentah-mentah, ia bahkan terang-terangan bilang kalau Asti harus bisa menerima kalau mereka tidak bisa bersama.
“Aku nggak bisa, Asti. Aku udah nggak bisa memulai semuanya dari awal, karena faktanya kita memang udah nggak bisa bersatu. Lagipula aku juga punya hati yang harus di jaga. Maaf, aku udah nggak ada tempat lagi buat hubungan kita. Jadi lepasin aku, dan biarkan aku menemukan kebahagiaanku sendiri. I cannot help you to find your happiness, because I already find mine.”
Ya. Saat itu Arga sudah membuka hati untuk lembaran cerita yang baru lalu bertemu dengan tambatan hati yang Asti yakin, adalah perempuan yang jauh lebih baik darinya. Bahkan akhirnya Arga kembali menemuinya, dan menyerahkan undangan pernikahan mereka.
Di sinilah Asti berada, di pelataran Candi Prambanan dimana resepsi outdoor pernikahan Arga dan Sherly diadakan setelah perjalanan panjang dari depan gerbang pintu masuk area perambanan hingga ke tempat resepsi. Pesta yang sangat mewah, bahkan menurut ukuran Asti sendiri. Dalam diam, ia memperhatikan sekelilingnya, berusaha untuk mengatur debar jantung yang begitu cepat seperti genderang perang kerena sudah berjalan cukup jauh, juga karena rasa gugup. Setelah yakin, Asti memberanikan diri untuk melangkah mendekat ke sumber kerumunan. Jantungnya berdebar-debar dengan kencang, dan Asti meremas-remas tangannya sendiri sebelum menghela nafas panjang.
Asti mengambil langkah pertama yang terasa begitu berat itu, namun langkah selanjutnya terasa lebih baik. Asti menyunggingkan senyum terbaiknya dan mulai menyapa orang-orang yang nampaknya menunggu acara di mulai, namun Asti menulis pada buku tamu sebelum ia memasukan amplop sumbangan ke dalam kotak sebelum ia mulai memindai sekelilingnya. Berusaha menghindari kerumunan yang luar biasa banyaknya itu. Candi Prambanan merupakan background dari acara pernikahan ini, dan Matahari yang sudah menunjukkan tanda-tanda untuk menenggelamkan diri ke bagian dunia lain menjadi pemandangan sampingan yang luar biasa mewah.
Diakui maupun tidak, Asti masih cukup merasakan nyeri didadanya saat berada di sini. Ya. Ini adalah sebuah kenyataan yang harus ia hadapi. Bahwa Arga akhirnya menikah, dan Asti tetap berjuang sekuat tenaga melawan keinginan untuk mengasihani diri sendiri yang memang sangat enak untuk dilakukan itu. Sambil menggenggam tas jinjing yang ia bawa, Asti melangkah dan mulai berbaur dengan kerumunan, berharap tidak ada yang menyadari kehadirannya sama sekali.
Jumlah tamu yang hadir cukup banyak, dan Asti tidak menyangka kalau Arga dan Sherly akan mengundang begitu banyak orang, bahkan kebanyakan mereka teman-teman kantor dan mungkin teman-teman kuliah Arga yang kebanyakan Asti kenali. Dan semoga saja mereka tidak mengenali Asti, semoga saja mereka lupa akan eksistensi Asti atau tidak berusaha mencari Asti di sini.
Satu-satunya tempat yang Asti tuju saat ini adalah podium dimana seorang pria dan wanita terlihat begitu bahagia, menjabat tangan para tamu yang antre untuk menampakan diri kalau mereka hadir dan ada.
Dengan langkah kaki yang mantap, Asti melangkah mendekat ke podium dan ikut mengantre, meski ia bisa melihat seorang wanita paruh baya yang merupakan Ibu dari Arga menemukannya. Asti tersenyum, ketika sudah dekat gilirannya berhadapan dengan sang ibu dari mantan kekasihnya ini. Tante Safira.
“Ya Tuhan, Mbak Asti, gimana kabarnya??” tanya Tante Safira heboh ketika Asti sudah sampai dihadapan wanita tersebut. Wanita tersebut menyenggol lengan suaminya, Om Rudi, juga tidak kalah hebohnya.
“Sehat Tante, Tante sehat, kan? Om juga sehat kan?” tanya Asti.
Mereka berdua mengangguk, “ya ampun tambah cantik aja Mbak Asti ini. Eh tapi kayanya kurusan deh, aduuuhhh nduk, makan yang banyak ya, biar sehat. Ini udaranya lagi nggak enak.”
Rasanya Asti masih sangat merasa sedih, karena kandasnya hubungan Asti dan Arga mungkin akan membuat Asti kehilangan orang-orang yang begitu luar biasa dan memiliki peranan penting di hidupnya. Tidak terkecuali kedua orang tua Arga ini. Meski mereka hanya berbincang-bincang sebentar, Asti rasa itu cukup untuk mengobati rasa rindu Asti terhadap mereka.
Hanya saja percakapan mereka kemudian di tutup dengan sebuah pelukan erat Tante Safira kepada Asti, dan mungkin itu satu-satunya hal yang nyaris menggagalkan pertahanan diri Asti.
“Mbak Asti harus bahagia ya, maafkan Arga kalau Arga pernah ada salah ke Mbak Asti. Maaf juga karena saya nggak bisa merubah keputusan Arga,” ujar Tante Safira.
Dengan sekuat tenaga, Asti menarik diri dan tersenyum, meski ia sendiri pun masih mati-matian menahan air mata yang mengancam untuk meluncur turun membasahi pipi Asti.
“Nggak apa-apa, Tante. Sekarang yang paling penting Mas Arga bahagia, dia sudah menemukan pelabuhan terakhirnya. Asti ikhlas kok, Tante. Tante juga bahagia ya, kalau misal mau buka rekening, Asti bantuin,” ujar Asti setengah bercanda.
Tante Safira menghapus air matanya dengan selembar tissue dan mengangguk, dan itulah ucapan perpisahan Asti dengan Tante Safira, dan setelah itu kebagian yang paling sulit. Dimana Asti harus berhadapan dengan langsung dengan Arga, dan istri Arga yang sah, Sherly.
“Selamat ya Mas Arga, Mbak Sherly,” ujar Asti ketika ia sudah sampai di hadapan sepasang mempelai pria dan wanita—tokoh utama pada rangkaian acara hari ini. Dengan mantap, Asti mengulurkan tangan untuk menjabat tangan Arga, dan dibalas dengan mantap juga. Lalu Asti mengulurkan tangan kepada gadis yang terlihat luar biasa cantik di sebelah Arga.
“Makasih udah mau dateng ya, Asti. Sendirian aja?” tanya Arga.
“Iya, sendiri aja. Ibu ada kunjungan Kapolda, tadinya mau datang sama Ibu, tapi karena nggak bisa, akhirnya aku datang sendiri,” ujar Asti.
“Wah, makasih banyak ya Mbak Asti sudah mau datang. Pokoknya nikmati semua makanan yang ada di sini, ya,” ujar Sherly dengan ramah. Asti menganggukkan kepalanya dan kemudian melambaikan tangan kepada mereka sebelum berjalan menuruni tangga podium dan menghembuskan nafas dalam-dalam.
Kosong, satu kata tersebut itulah yang paling tepat untuk menjelaskan keadaan Asti saat ini. Sedih, ia sudah berusaha mengikhlaskan, sehingga seharusnya tidak ada lagi hal yang bisa mengganggunya. Meski tidak untuk hari ini. Sudah jelas Asti akan mendengar banyak kata-kata yang membuat semangatnya makin down, namun ragu, Asti ingin serius menjaga hatinya.
“…eh, kamu tahu ndak ta, Arga dulu tuh pernah pacaran sama cewek selama delapan tahun loh, tapi nikahnya sama Sherly yang ternyata sering duduk bareng sama Arga di kelas. Gila ya? Definisi jagain jodoh orang banget.”
See? Rasanya baru saja Asti berusaha untuk kuat, semesta melancarkan serangan balik kepadanya hanya untuk memupuskan semua pertahanan Asti yang tersisa.
“Katanya mantannya juga di undang loh. Dateng nggak ya? sama siapa ya datangnya? Gila … bakalan jadi ajang pamer nggak sih kalau dia dateng bawa gandengan barunya?” lagi-lagi suara tersebut membuat Asti rasanya kesal.
Ya. Kesal karena masih banyak orang berfikir jika Asti datang ke acara resepsi dengan gandengan baru otomatis akan menyelesaikan masalah. Dan buat Asti pemikiran tersebut justru malah membuatnya amat sangat lemah? Benar kata Bu Anna, tentang jangan menggantungkan harapan pada siapapun, bahkan jangan mengharapkan seseorang akan datang menyelamatkan Asti dari patah hati ini, karena faktanya yang bisa membantu Asti saat ini bukanlah seorang pria baru, melainkan Tuhan dan dirinya sendiri.
Asti menggerak-gerakkan tubuhnya dengan tidak nyaman, ia hanya memandangi potongan buah yang ia ambil sebelum ia masuk ke hidangan utama, tapi mungkin Asti harus berubah pikiran karena ia muak.
She really wanted to quit this toxic situation.
“Nanti buahnya kegeeran kalau kamu cuman ngelihatin tapi nggak kamu makan,” suara tersebut membuyarkan lamunan Asti yang baginya cukup toxic tersebut. Ia menoleh dan mendapati seseorang yang sangat familiar bahkan membuat Asti sangat terkejut. Ya. Keberadaan pria itu selalu membuatnya terkejut.
“Mas Gandhi? Kok … kok Mas Gandhi di sini? Nggak lagi nguntit aku, kan Mas?” tanya Asti dengan kaget. Ia terkisap cukup keras, membuat beberapa orang di sekeliling Asti menoleh, tapi Asti tidak peduli.
Gandhi tergelak pelan, “ngapain nguntit? Saya jauh lebih tinggi levelnya daripada menguntit ya, Adhisty.”
“Terus? Mas Gandhi ngapain di sini? Kok bisa di sini?”
“Saya kenal Arga karena saya seangkatan sama dia dari zaman kuliah S1, Asti,” ujar Gandhi sambil menunjuk sepiring buah yang tadi Asti ambil namun tidak ia makan, “di makan dulu Asti.”
“Tunggu, Mas Gandhi kuliah S1 di mana?” tanya Asti.
“Kampus yang sama dong dengan Arga, kan satu angkatan. Saya juga sebenernya kakak tingkat kamu,” ujar Gandhi sambil tersenyum. Asti kemudian mulai menusuk buah dengan garpu plastik dan mulai memasukkan semangka tersebut ke dalam mulutnya dan mengunyah. Berusaha mencerna informasi baru yang tak kalah mengejutkan daripada keberadaan pria tersebut di sini.
“Kok aku nggak pernah lihat kamu sih di kampus dulu, Mas?” tanya Asti begitu ia selesai menelan buah semangkanya. Gandhi mengangkat bahu, “mungkin pernah, tapi kamu lupa. Atau kita sering ketemu, tapi cuman saya yang lihat kamu, kamunya nggak lihat saya. Dan lagi pula, saya nggak pernah cari popularitas juga sih.”
“Mas Gandhi dulu ikut HIMA?” tanya Asti. Gandhi mengangguk, “saya kan ketua HIMA, saya juga ngospek kamu, tapi ya … mungkin memang saya nggak terlalu terkenal aja.”
Mustahil kalau Gandhi tidak terlalu terkenal, apalagi wajahnya saja sudah cukup menjadi modal untuk mencalonkan diri sebagai ketua HIMA yang menang karena popularitas; atau mungkin karena Asti saja yang tidak pernah peduli dan tidak mau tahu soal perkara keorganisasian.
“Ih nggak tahu! Pusing!” keluh Asti sambil menggelengkan kepala. Gandhi terkekeh, “ya udah, nggak usah terlalu dipikir, nanti otak kecil kamu semakin mengecil.”
“Jadi Mas Gandhi anggap aku bodoh?” tanya Asti kesal. Gandhi menggeleng, “nggak, kok. Kamu yang bilang bukan saya.”
Asti hanya bisa pasrah, faktanya ia memang akan selalu menjadi bahan godaan, tidak Yulia, Jonathan, Wira; bahkan Semesta suka sekali bermain-main dengan Asti, apakah itu yang membuat Gandhi, sang manusia berparas dewa ikut-ikutan menjadikan Asti sebagai sasaran empuk untuk di goda?
“Mas Gandhi kok nggak makan?” tanya Asti kemudian, setelah ia menyelesaikan sepiring dessert. Pria itu mengangkat bahu, “masih belum pengen makan apa-apa, kamu sendiri gimana? Kenapa kamu nggak makan?”
“Aku mau ambil ice cream sih, Mas Gandhi mau nggak? Nanti aku ambilin,” tawar Asti kepada Gandhi.
Gandhi tersenyum, “boleh, Ice Cream satu … saya tunggu di sini ya?”
Asti menganggukkan kepala dan tersenyum lebar, ia melangkah menuju ke stand ice cream yang sudah dipenuhi dengan kerumunan orang-orang. Asti mengantre dan sambil membaca satu persatu stand makanan yang ada di sana. Dari kebanyakan stand yang disediakan, tidak ada satupun yang dapat Asti makan karena kebanyakan berkuah santan atau terlalu banyak minyak. Memang yang paling aman, Asti makan buah saja atau mungkin ice cream. Selebihnya, Asti hanya bisa ngiler dalam hati.
“Asti … beneran Asti kan?”
Dengan hati-hati Asti menoleh ke belakang dan melihat ke arah sumber suara. Seorang perempuan berdiri dengan perut buncit karena tengah mengandung, mungkin usia kandungan enam bulan?
“Devina?”
“Ya ampun Asti!! Udah lama nggak ketemu! Gimana kabarnya?” Devina menghambur dan memeluk Asti dengan begitu erat, lalu mereka cipika-cipiki.
“Baik Dev, kamu sendiri gimana? Waah, udah jadi bumil!! Anak keberapa ini??”
“Anak pertama, dan iyaaa aku sehat banget. Kamu masih kerja di Bank, Ti?” tanya Devina.
“Masih, Dev. Kamu juga masih kerja di Pajak, kan?” tanya Asti. Devina mengangguk dengan sangat bersemangat, “ya ampun Astiii aku inget banget kamu dulu rajin banget ngerjain tugas, anak yang paling mau di contekin tugasnya. Sekarang kita ketemu di sini,” ujar Devina. Asti hanya tersenyum.
Devina kemudian melanjutkan, “jujur waktu aku dapet undangan dari Arga, aku kira kamu yang bakalan nikah sama dia. Secara kalian itu couple goals banget, jarang ada konflik drama. Bener-bener jarang banget kalian marahan.”
Bukankah itu justru sumber segala masalah berada? Kurangnya komunikasi di antara keduanya yang jelas membuat Asti dan Arga perlahan kehilangan passion terhadap satu-sama lain. Asti tidak menanggapi apa-apa, dan bukannya ia sakit hati atau apa, tapi memang tidak ada yang perlu di tanggapi dari kata-kata tersebut; kata-kata yang memiliki potensi untuk Asti mengasihani diri sendiri, sekaligus kata-kata yang memiliki potensi membuat Asti semakin tenggelam dalam kesedihan.
Asti sudah menduga kalau ia akan mendapat banyak kejutan dengan bertemu dengan orang-orang yang mengenalinya. Seolah-olah Asti benar-benar terkenal padahal Asti bukan tipe orang yang suka menjadi pusat perhatian. Hanya saja di acara Arga, mau tidak mau Asti akan menjadi sebuah pusat perhatian. Kenapa? Arga’s eight years girlfriend that failed to marry the prince but come to the wedding.
“Emang belum jodoh aja,” itu adalah penjelasan yang paling masuk akal yang pernah ada yang ditaruh ke dalam hatinya.
“Bener, kalau emang belum jodoh ya mau diusahakan seperti apa, tetep nggak akan berhasil. Kamu pasti bakal dapat yang jauh lebih baik dan pasti yang terbaik, buat kamu,” ujar Devina sambil tersenyum lebar.
Ya. Asti memang tidak berjodoh dengan Arga, dan Tuhan jelas punya kehendak lain. Asti mungkin masih harus banyak belajar soal hubungan antar sesama yang melibatkan hati dan perasaan orang lain.
Saat ini ia berdiri ditengah lautan manusia dengan senyum yang terpampang di wajah para setiap wajah masing-masing tamu undangan menyadarkan Asti akan sesuatu. Rasanya tidak adil kalau Asti merasa sedih. Bahagia adalah hak setiap pribadi, dan jujur Asti lelah merasa terintimidasi dan terus-terusan tergerus oleh rasa sedih yang tidak semua manusia bisa mengerti.
Karena Asti juga berhak untuk bahagia—dan cara setiap manusia untuk mendapatkan kebahagiaan jelas memiliki proses masing-masing, dan mungkin ini adalah kuk yang harus Asti tanggung. Melihat pria yang sudah selalu mengisi hidupnya selama delapan tahun menikah dan terlihat lebih bahagia dengan perempuan lain. Of course he can’t help her, karena Arga sendiri sudah menemukan kebahagiaannya. Dan Asti juga harus menyadari bahwa jika kebahagiaannya digantungkan kepada orang-orang disekitar, Asti jelas tidak akan pernah mendapatkannya dan justru malah mendapatkan kekecewaan saja. Menjadi bahagia adalah sebuah pilihan yang seseorang ambil dalam hidupnya. Dari situ seorang individu akan mengambil sikap hati yang dewasa.
Merelakan. Lalu kembali menjalani hidup.
“Aku duluan ya Ti, pokoknya kamu bahagia terus dengan pilihan hidupmu—aku yakin banget, koe bakalan dapat jodoh yang terbaik nantinya. Sekarang, prosesnya emang harus begini. Semangat ya, Ti,” ujar Devina sambil tersenyum lebar.Asti berterima kasih kepada Tuhan karena masih ada satu pribadi di hadapannya ini yang tidak menghakimi, banyak tidak banyak berkomentar tentang apapun yang terjadi antara Arga dan Asti. Sejak dulu memang Devina bukan tipe yang suka julid, dan Asti bersyukur karena itu.
“Iya, semangat juga buat bumil. Eh aku kasih kontakmu dong, kalau udah lahiran kabar-kabarin ya … aku juga mau jengukin keponakanku,” ujar Asti sambil mengulurkan gawainya. Devina terkekeh, “boleh.”
“Sehat-sehat terus ya, Bumil. Lancar sampai due date,” ujar Asti sambil tersenyum ketika ia sudah mendapatkan kembali gawainya. Setelah Devina pamit menghampiri suaminya, Asti kembali mengantre dan entah kenapa, atau bagaimana, hati Asti terasa begitu ringan.
Yes, she already decide that she needs to quit. Because she finally realize that she has reach Breakeven Point.
KAMU SEDANG MEMBACA
BREAKEVEN - [ DAY6 Lokal! Alternate Universe • psj ]
ChickLitSetahun berlalu dan Asti belum bisa melupakan Arga dan undangan pernikahan tersebut datang menghampirinya ... Apa yang harus Asti lakukan? Ini adalah sedikit cerita Asti yang memaksa dirinya untuk menerima, mengikhlaskan, dan berdamai dengan masa l...