04 | Afterglow

234 17 6
                                    

“Aduh!!” dengan sigap Gandhi menangkap tangan sang gadis yang kehilangan keseimbangan dan nyaris, nyaris jatuh ke atas tanah yang keras dan menumpahkan dua cangkir es krim yang baru saja ia ambil setelah mengantre cukup lama. Bahkan Gandhi sempat mendengar suara otot pergelangan kaki Asti yang terkilir ketika Asti nyaris terjatuh. Mungkin pergelangan kaki Asti berusaha menahan beban tubuhnya ketika akan jatuh? Ah, pasti Asti akan merasa nyeri luar biasa setelah ini.
 
“Asti, kamu nggak apa-apa?” tanya Gandhi dengan nada super khawatir, sementara tangan Asti sedikit terkena tumpahan ice cream, dan Gandhi bisa melihat wajah Asti yang terlihat seperti menahan sakit. Mau tidak mau, Gandhi menarik Asti dan memapah gadis itu dengan memegangi pinggangnya untuk berjalan menuju ke sebuah kursi yang terdekat. Untungnya, tidak banyak mata memperhatikan—jelas terlalu sibuk menikmati hidangan yang tersedia, dan Gandhi bersyukur karena Asti tidak lagi menjadi pusat perhatian sejak kedatangannya tadi.
 
“Sakit,” keluh Asti pelan, dan mengangkat kepalanya untuk menatap Gandhi dengan pandangan memelas sambil menjulurkan tangan ke arah Gandhi, “es krimnya tumpah juga huwee, maaf ya, Mas Gandhi.”
 
Demi Tuhan yang hidup, begitu Gandhi bersumpah dalam hati, Asti memang sesuatu yang lain. Kakinya terkilir dan sekarang ia mengkhawatirkan Gandhi karena tidak bisa makan es krim? Konyol. Sangat konyol. Gandhi hanya menghela nafas cukup panjang, lalu ia berkacak pinggang dan menggelengkan kepala.
 
“Kamu terkilir, Asti. Dan kamu khawatir saya nggak bisa makan ice cream padahal saya bisa antre di stand ice cream untuk ambil yang baru?” tanya Gandhi.
 
Asti hanya nyengir kuda, memamerkan deretan giginya yang rapi. Jelas sekali kalau Asti masih menahan nyeri, dan kalau Gandhi perhatikan, lama-lama kaki Asti pasti bengkak.
 
“Ya habis aku teledor banget, udah tahu nggak bisa pake high heels, sok-sok an pake high-heels biar kelihatan tinggi. Mas tau ndak ta, tadi aku jalan dari parkiran ke sini yo rodok lumayan lho, Mas,” ujar Asti panjang lebar.
 
Gandhi kemudian mengambil beberapa helai tissue dan mulai mengusap bekas-bekas tumpahan ice cream pada pergelangan tangan dimana tadi Asti menumpahkan ice cream tersebut. Asti hanya terus berceloteh dan membuat Gandhi kesal sekaligus gemas.
 
“Kamu nggak tahu kalau ada buggy car yang sebenernya bisa bawa kamu ke sini?” tanya Gandhi. Asti mengerjapkan matanya dan menggeleng, “ng-nggak tahu … masa sih ada?”
 
Sudah Gandhi duga, “kemarin kan saya sudah nawarin kamu untuk berangkat sama saya. Nggak percaya sih.”
 
“Nggak mau,” ujar Asti.
 
“Kenapa?” tanya Gandhi penasaran. Asti memiringkan kepalanya dan menghela nafas panjang, “jelas nggak mau lah Mas, aku buluk gini masa berdiri di sebelah Mas Gandhi sih?” tanya Asti.
 
Nampaknya mood Asti memang sedang baik, gadis itu masih bisa ngoceh seperti biasanya. Bahkan mungkin terlihat terlalu baik-baik saja untuk ukuran gadis yang minggu kemarin masih menangisi fakta kalau Arga akan menikah. Gandhi mulai overthinking. Apakah Asti benar-benar bahagia? Atau apakah gadis itu hanya pura-pura? Gandhi hampir tidak bisa membedakan. Kalaupun Asti sedang menyembunykan perasaannya dan menunjukan bakat akting terpendamnya, surely she’s good at acting. She deserves an oscar.
 
“Saya nggak pernah anggap kamu buluk, Asti. Buat saya kamu selalu cantik, kecuali kalau lagi nangis aja. Jelek banget,” dan Gandhi merasakan tangan Asti yang semula rileks mendadak menegang. Gandhi tahu ini bukan saat yang tepat, namun apa boleh buat? Ia sudah tidak sanggup lagi menahan diri untuk menyatakan ketertarikannya kepada Asti.
 
“Mas Gandhi seneng banget bercanda, bikin anak gadis baper. Kalau baper beneran gimana?” tanya Asti sambil menggelengkan kepalanya.
 
Gandhi menghembuskan nafas hati-hati namun kemudian mengangkat bahu. Kemudian Asti mulai mengurut kakinya sendiri.
 
“Kamu mau makan apa? Biar saya ambilin,” ujar Gandhi, enggan memperpanjang apa yang tadi ia bicarakan dengan Asti.
 
“Nggak bisa makannya, Mas. Aku lagi nggak enak perut,” ujar Asti.
 
“Terus nggak mau makan? Nanti perut kamu keroncongan kaya kemarin lagi,” gumam Gandhi. Asti benar-benar terlihat kesal di depannya. Perempuan itu mengerucutkan bibirnya, “nggak usah diingat-ingat kenapa sihhh??!!”
 
“Ya lagian saya tawarin makan nggak mau,” ujar Gandhi yang juga ikut kesal dibuat Asti.
 
“Ya gimanaaa orang nggak bisa makanan minyak dan santan, paling yang bisa aku makan cuman buah aja, sama sup,” ujar Asti. Gandhi menghela nafas panjang, “ya udah saya ambilin kamu sup. Kamu di sini aja nggak usah kemana-mana.”
 
Sebelum Gandhi mendengar protes yang sudah pasti akan keluar dari mulut Asti, Gandhi melangkah menjauh meninggalkan Asti yang duduk di kursi meja bundar, ia mengedarkan pandangan kesekeliling dan mendapati sebuah meja prasmanan dan mengambil mangkok, piring, serta nasi. Gandhi mengambil makanan juga untuk dirinya sendiri, agar Asti tidak makan sendirian juga Gandhi terlalu malas untuk bolak-balik.
 
Sayang sih sayang, tapi kalau Gandhi bisa menemukan cara yang lebih efisien untuk membantu gadis yang di sayanginya, kenapa tidak?
 
“Nih …” Gandhi kembali sambil meletakan mangkok sup di depan sang gadis yang sekarang sibuk sight seeing, gadis itu bergumam terima kasih sambil tersenyum lebar, “hm … jadi enak deh di bawain makanan sama Mas Gandhi.”
 
“Udah di makan, jangan cuman dilihatin aja,” ujar Gandhi. Asti mendengus, “galak banget ih, kena serangan jantung loh Mas.”
 
“Kamu sumpahin saya kena serangan jantung?” tanya Gandhi.
 
“Enggak sih, tapi kalau menurut fakta, sering marah-marah bikin tekanan darah naik, dan itu sering bikin orang tiba-tiba kena serangan jantung. Aku cuman ngomong berdasarkan fakta kok Mas,” ujar Asti sambil tersenyum dan mulai menyantap makanan di hadapannya.
 
Gandhi enggan membantah, ataupun menanggapi, faktanya, mendengar gadis itu berceloteh ketika ia seharusnya menjadi pendiam lebih membuatnya khawatir.
 
“Kamu ke sini naik apa?”
 
“Di antar Wira,” jawab Asti.
 
Gandhi menelan ludah. A-apakah Asti saat ini dekat dengan Wira?
 
“Kalian deket?”
 
“Uhm, kalau di bilang deket ya deket, di bilang nggak deket juga kita cuman sebatas temen nongkrong aja. Wira sama aku tinggal di gedung kost yang sama meski dia lebih banyak tidur di apartment dedek gemesnya daripada di kost. Dan tadi kebetulan aja dia mau keluar ke arah sini, jadi aku minta nebeng,” ujar Asti acuh.
 
Gandhi menganggukkan kepala, kemudian Asti melanjutkan, “Wira nggak akan suka aku, karena Wira itu suka perempuan yang kece badai dan bisa diajak ke kamar, Mas. Jadi kalau Mas Gandhi berasumsi aku dan Wira ada apa-apa, Mas Gandhi salah.”
 
Gandhi lagi-lagi tidak menanggapi, baik secara verbal maupun non-verbal. Ia enggan berkata apapun, karena ia tidak mau bersikap berlebihan dan membuat gadis itu ilfil.
 
“Kamu pulang sama saya.”
 
“Hah?”
 
“Iya, nanti kamu pulang sama saya aja habis makan,” jelas Gandhi. Asti mengerutkan kening, “kenapa?”
 
Gandhi menghela nafas panjang dan dalam. Sejauh ini, Asti benar-benar sangat sulit untuk di ajak berkompromi. Atau gadis itu sangat slow witted dan bisa dibilang nggak terlalu peka dengan Gandhi yang sudah terang-terangan menunjukkan ketertarikannya.
 
“Karena kaki kamu sakit, dan saya gentleman. Sudah, nggak usah kebanyakan protes,” ujar Gandhi sambil mengakhiri kegiatan makannya.
 
Asti merengut, namun menganggukkan kepalanya. Bahkan mereka berdua kemudian berdiri setelah menghabiskan segelas air mineral gelasan. Asti jalan terpincang-pincang menjauhi tempat acara pernikahan sementara Gandhi berusaha kuat untuk tidak menyentuh gadis itu tanpa seizinnya. Gandhi bersyukur karena gadis itu masih bisa berjalan, meski sebisa mungkin Gandhi memastikan Asti tidak kembali jatuh dan berakhir mematahkan kakinya.
 
“Di undakan sana, pegang bahu saya aja,” ujar Gandhi, saat ia melihat sebuah jalan turun. Asti menganggukkan kepala, “iya, habis ternyata sakit banget. Ih nggak lagi-lagi pake high heels begini.”
 
Gandhi menatap Asti dengan was-was, karena beberapa langkah saja Asti sudah kembali limbung. Ia menghela nafas panjang, nyaris menggeram—namun tidak melakukannya. Ia mengulurkan tangannya ke arah Asti, “kamu pegangan saya saja, Asti. Daripada nanti kamu jatuh malah patahin tangan atau—”
 
“Selain Mas Gandhi suka julid dan nggosip, ternyaya Mas Gandhi juga bawel ya,” ujar Asti dengan nada menggoda, dan jujur itu membuat Gandhi tidak habis pikir, ia hampir tidak mengenali siapa Asti yang beberapa waktu lalu menangis tersedu-sedan hanya karena tengah memandangi selembar foto.
 
Ya. Gandhi sangat sulit menganalisis hal ini, tapi pikirannya terbuyar ketika Asti melemparkan pertanyaan yang sulit disebutkan jawabannya, “kenapa Mas Gandhi datang sendiri? Kenapa nggak ajak pacar?”
 
“Saya belum ada pacar, Asti. Dan saya juga nggak datang sendiri. Saya janjian dengan teman-teman seangkatan saya di kampus dulu. Dan saya ketemu kamu,” jelas Gandhi. Asti menganggukkan kepala, “terus malah harus terjebak sama aku, ya kan? Aduuh aku jadi makin nggak enak sama Mas Gandhi.”
 
“Kenapa nggak enak?”
 
“Karena bikin Mas Gandhi ninggalin temen-temen Mas Gandhi dong. Mana jalanku pincang-pincang gini … aduh … sakit!” nampaknya Asti kembali keseleo membuat kakinya yang sakit kembali harus kembali menegang.
 
Mereka masih berada diundakan tangga ketika Gandhi memutuskan untuk berhenti. Asti pasti bingung karena Gandhi tiba-tiba berhenti, “kok berhenti, Mas?”
 
“Kamu di situ aja,” ujar Gandhi sambil melepas jas yang ia pakai, kemudian ia menuruni satu undakan sebelum berbalik untuk mencondongkan tubuhnya mendekat ke arah Asti.
 
“E-eh, Mas Gandhi m-mau ngapain?”
 
“Mau nutupin bagian belakang rok kamu biar nggak ke angkat waktu saya gendong,” ujar Gandhi tenang. Asti bereaksi cukup cepat namun Gandhi buru-buru menahan pinggang gadis itu, “dari pada kamu jatuh lagi. Mending saya gendong kamu di punggung saya sampai ke parkiran.”
 
“Katanya ada buggy, Mas, kenapa harus gendong? Kan tinggal jalan sedikit ajaa,” Asti terlihat sangat keberatan dengan pernyataan Gandhi barusan.
 
“Saya kasihan sama kaki kamu, kamu pasti bakalan kesleo berkali-kali kalau sepatu kamu masih sama. Tapi sayangnya di sini nggak ada yang jualan sandal. Jadi kamu pilih mana, saya gendong, atau siksa kaki kamu biar bengkak dan nggak bisa jalan sekalian?” tanya Gandhi, yang cukup ia akui terlampau sadis namun ia bisa lihat kalau gadis di depannya ini sangat tahan dengan omongan sadisnya. Buktinya Asti tidak terlihat kesal sama sekali.
 
“Ya udah,” ujar Asti.
 
“Ya udah apa, Asti? Bicara yang jelas,” gumam Gandhi. Kali ini Asti mendengus kesal, “ya udah di gendong Mas Gandhi aja. Tapi jangan ngeluh ya kalau badanku berat, jangan marah-marah kalau nanti Mas Gandhi keseleo, dan jangan marah-marah kalau Mas Gandhi nanti sakit-sakit punggung—eh! Awas, Mas!”
 
Tentu Gandhi tidak memberikan kesempatan untuk Asti berbicara lebih banyak, because only God knows what would happen next if Gandhi keeps let her talk. Gandhi sudah mengangkat gadis itu di punggungnya, sementara tangan Asti melingkar di bahunya.
 
“Maaf ya, ngerepotin Mas Gandhi terus, maaf kalau berat, maaf kalau …”
 
“Saya ngelakuin ini nggak gratis, Asti. Saya kan money oriented,” ujar Gandhi sambil berjalan dengan hati-hati, menikmati pemandangan juga keadaan yang tidak mungkin akan terulang lagi.
 
“Ish,” Gandhi bisa mendengar Asti mendengus, ia bisa membayangkan wajah kesal Asti, namun Gandhi hanya tersenyum.
 
“Kenapa baik gini nggak punya pacar? Sulit dipercaya banget tahu, Mas,” ujar Asti.
 
Gandhi ingin balas menjawab: kenapa pacar yang banyak berkorban seperti kamu, di putusin sama pria yang lebih memilih menikah sama orang lain, Asti? Tapi Gandhi tidak akan berani bertanya seperti itu. Yang ada, ia hanya terkekeh, “kenapa harus punya pacar? Atau kamu mau jadi pacar saya?”
 
“Bercandaaaa mulu Mas Gandhi nih, aku kan nanya serius!”
 
“Saya juga serius, kata kamu, saya orang baik. Kenapa nggak kamu aja yang jadi pacar saya, Asti?” tanya Gandhi retoris. Ia tidak mengharapkan jawaban, ia juga tidak mau menyatakan perasaan dengan seperti ini caranya.
 
Hanya saja Gandhi mendengar tawa miris itu, “if my heart is in the most perfect condition, I’d probably said yes, I would. Tapi sayangnya hatiku masih berdarah-darah.”
 
Gandhi lega, jawaban tersebut tidak semenyakitkan yang ia kira. Kemudian tangan Asti melingkar semakin erat di leher Gandhi, “jadi Mas Gandhi suka ya sama aku?”
 
Pertanyaan gamblang itu terkesan ambigu, entah Asti sedang berusaha menggodanya, atau Asti tiba-tiba menuduh Gandhi yang mendadak terintimidasi. Tapi, Gandhi meloloskan sebuah tawa, tawa yang cukup membuat Asti ikut bergabung bersamanya. Tidak ada jawaban yang keluar, maupun Gandhi akan menjawabnya.
 
“Kalau Mas Gandhi suka sama aku, nanti Mas Gandhi repot. Hatiku kan masih belum baik-baik aja nih, masih terluka, masa aku mau kasih hati yang belum sembuh ke Mas Gandhi? Itu namanya pelecehan dong?” jadi nampaknya Asti mulai peka dengan apa yang sedang Gandhi lakukan. Dan cara Asti menyatakan hal tersebut juga cukup unik.
 
Gandhi tidak menjawab, meski ia bersyukur karena jatuh cinta kepada seorang gadis baik yang mementingkan kepentingan banyak orang di atas kepentingannya sendiri. Meski Gandhi sedih, namun ia juga harus memahami proses yang tengah Asti alami sendiri.
 
“Saya nggak tahu orang seperti kamu bisa geer juga. Saya kira kamu nggak peka,” ujar Gandhi sambil terkekeh.
 
“Kalau diperlakukan lembut gini sama Mas Gandhi siapa sih yang nggak geer?” rajuk Asti, kali ini ia mencubit lengan Gandhi, membuat pria itu tertawa sekaligus mengaduh.
 
Gandhi ingat bagaimana awal ia merasa tertarik pada gadis yang saat ini sedang ada di dalam gendongannya. Waktu itu Asti berlari memutari lapangan karena dihukum, dia tidak melakukan kesalahan dan dia dihukum karena teman satu team-nya melakukan kesalahan. Sama sekali tidak ada keluh kesah yang keluar dari mulut gadis itu, tidak ada perasaan bad mood atau semacamnya, yang ada justru tawa setelah berhasil menyelesaikan hukuman bersama dengan teman-temannya. Bagi Gandhi, wajah cantik Asti adalah bonus, karena yang terlihat untuk Gandhi adalah hati yang baik itu.
 
Sayangnya, ketika Gandhi baru akan mencaritahu tentang Asti lebih banyak, di saat bersamaan teman-teman satu organisasinya sudah bersorak ketika Arga mendapatkan surat cinta dari Asti, dan rupa-rupanya, gayung bersambut. Bukan hanya Asti yang tertarik pada Arga,dan tentu saja itu sudah menunjukan kalau Gandhi kalah telak, sehingga, seperti yang sudah bisa diprediksi, Arga yang mendapatkan hati gadis itu. And so, he moves on.
 
Tapi takdir suka bermain-main, lima tahun kemudian ia kembali dipertemukan dengan Asti pada tempat kerjanya dan gadis itu masih bersama dengan Arga. Tidak, Gandhi tidak ada niatan merebut gadis yang sudah memiliki hati untuk orang lain meski kesempatan sangat banyak—kalau Gandhi mau hitung satu persatu. Namun Gandhi tetap memilih jalur profesional; setidaknya sampai hari itu. Hari dimana Asti menghentikan Gandhi berbicara tentang masalah seorang nasabah. Mungkin sepuluh atau sebelas bulan yang lalu.
 
Mereka sedang berbicara serius tentang seorang nasabah yang bermasalah soal penarikan deposito, lobby sudah kosong dan hanya tinggal mereka berdua. Asti ingin pembicaraan mereka dihentikan terlebih dahulu, karena mendadak Asti berlari ke restroom. Tanpa Gandhi tanya pun, ia sudah tahu apa yang terjadi. Ia sudah mendengar kabar putus Arga dengan Asti, dan bahkan dalam dua bulan pasca kandasnya hubungan mereka, Asti masih menangisi hal tersebut. Dan ketika Asti kembali dari restroom, meski kedua matanya dan hidungnya bengkak karena menangis, Asti memilih tetap tersenyum dan profesional.
 
Dari situ Gandhi tahu apa yang ia mau, dan ia harus mendapatkannya. Meskipun ia tahu, ini bukan saat yang terbaik untuk melancarkan misinya.
 
“Mas Gandhi,”
 
“Hmm?”
 
“Kok diem aja?”
 
“Kamu mau suruh saya ngomong apa, Asti?”
 
“Mas nggak mau duduk-duduk dulu apa? Aku kan nggak ikut acara outing ke Prambanan; jadi mumpung ke sini, kenapa nggak dinikmatin sih waktunya?” protes Asti.
 
“Kaki kamu kesleo, Asti …”
 
“Ya udah duduk-duduk aja, sambil minum teh dingin, kan kayanya segar tuh,” ujar Asti. Gandhi menghela nafas panjang. Jujur ia sedikit kaget karena ternyata Asti secerewet ini, namun tidak masalah. Gandhi suka karena gadis itu berani mengambil inisiasi, sama seperti waktu gadis itu terang-terangan menunjukkan perasaannya kepada Arga sepanjang mereka bisa bersama saat mereka berada di kampus.
 
Kelakuan Asti yang selalu membuat Gandhi berseru, “lucky bastard,” di dalam hati. Tapi toh Gandhi menuruti permintaan sang gadis dan mendudukkannya di atas kursi yang cukup tersembunyi, dan kebetulan sekali pemandangan Prambanan sangat terlihat dari tempat dimana keduanya duduk.
 
“Nah, kan, Mas Gandhi bisa istirahat setelah gendong aku yang berat ini.”
 
“Padahal kamu cuman makan dessert sama ice cream separo cangkir karena sisanya tumpah,” sindir Gandhi. Asti hanya melirik kesal namun kemudian ia kembali memandangi Candi Prambanan. Angin berhembus cukup kencang.

BREAKEVEN - [ DAY6 Lokal! Alternate Universe • psj ]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang