Sebuah Mimpi yang Terwujud

1 0 0
                                    

Yogyakarta, 27 Agustus 2000

"Apapun hasilnya, aku harus terima," bisikku dalam hati sambil mengayuh sepeda jengki peninggalan ayahku. Hari ini merupakan hari dimana pengumuman ujian masuk perguruan tinggiku akan keluar, sehingga pagi ini aku sudah pergi ke sekolah untuk melihat hasilnya. Aku sebenarnya tidak terlalu yakin bahwa aku akan lulus, aku mendaftar di Universitas Indonesia dan Universitas Sriwijaya.

Universitas Indonesia merupakan salah satu Universitas terbaik dan paling banyak diimpikan oleh pelajar Indonesia, termasuk diriku sendiri. Universitas Sriwijaya memang tak sepopuler Universitas populer lainnya, namun bagiku kepopuleran bukanlah segalanya, aku ingin mencari pengalaman di pulau Sumatera, bukan tanpa alasan. Bukde ku besar di Palembang jadi aku sering mendengar banyak cerita tentang Palembang darinya, hingga membuatku tertarik untuk tinggal disana.

Setibanya di sekolah, aku melihat teman-temanku sudah berdesakkan untuk melihat papan pengumuman. Aku meletakkan sepedaku dan langsung melangkahkan kakiku untuk ikut berdesak-desakan dengan mereka.

"Minggir sedikit! Badanmu menutupi pengumuman."

"Heiii! Lihat aku lulus!"

"Tahun ini belum rezekiku."

Kudengar suara-suara mereka di keramaian itu. Jantungku semakin berdebar-debar, sejujurnya aku tidak siap jika aku tidak lulus. "Aneska Putri Cahyani", aku melihat namaku dinyatakan lulus di Universitas Sriwijaya pada jurusan Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia. Aku masih tak percaya dengan apa yang kulihat, jadi aku melihatnya lagi. "Benar, aku tidak salah lihat." Ucapku sambil menyeringai lebar.

"Benar, aku tidak salah lihat," ucapku.

Ternyata, aku masuk di jurusan yang juga kuimpikan. Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia, alasanku memilih jurusan itu karena aku rasa itu adalah jurusan yang paling tepat untukku karena aku ingin menjadi seorang Novelis. Saat aku membaca novel aku merasa sangat tenang dan sejenak lupa akan kesedihan dan masalah yang kualami, karena itulah pikirku aku harus menjadi seorang novelis agar membuat orang merasakan hal yang sama sepertiku saat membaca tulisan-tulisan yang kubuat.

"Bu, Aneska lulus," ucapku sambil memberikan kertas putih yang berisi hasil pengumuman.

"Alhamdullilah, ibu sangat senang mendengarnya. Selamat ndhuk! Ibu sangat bangga padamu.

Ibu memelukku.

"Jika saja ayah masih disini, dia pasti akan senang mendengar kabar ini karena ini adalah salah satu impiannya," jawabku.

Aku hanya punya adik laki-laki, Sakti namanya. Karena itulah aku belajar dengan tekun agar nanti aku bisa membiayai sekolah adikku. Sebelum ayah menghembuskan nafas terakhirnya dua tahun yang lalu, ia berpesan bahwa ia sangat ingin melihatku menjadi seorang mahasiswi dan sejak itu kutekadkan niatku untuk menjadi seorang sarjana. Alasanku tidak memilih kuliah di Yogya karena aku hanya ingin mendapatkan pengalaman yang lebih diluar sana serta aku ingin menjadi anak yang mandiri kelak dan ibu juga setuju dengan keputusanku.

Sebenarnya saat melihat hasil pengumuman, aku juga merasa bimbang karena aku harus meninggalkan kota ini dan jauh dari ibu dan adikku. Namun seperti yang kukatakan, bahwa ini juga adalah salah satu mimpi terbesarku.

"Tidak apa-apa, itu sudah rezekimu," kata ibu sambil mengelus rambutku.

"Ta..pi.. bu," gumamku dengan berat hati.

"Kamu tidak usah ragu, untuk masalah biaya ibu pastikan semuanya akan baik-baik saja."

Aku berjanji pada diriku sendiri, bahwa aku harus benar-benar giat kuliah disana agar kelak aku bisa membanggakan ibuku dan tentu mendiam. Memang benar bahwa seorang anak tidak akan bisa membalas jasa kedua orang tuanya dengan apapun itu, sehingga cukup dengan menjadi anak yang bisa patuh dan membanggakan kedua orang tua akan membuat mereka merasa bahagia.

"Bu, sebelum Aneska pergi ke Palembang, Nanti sore kita pergi ke Alun-Alun. Aneska dengar dari orang-orang, disana ada pasar malam."

"Baik! Sakti pasti senang mendengarnya," jawab ibuku.

"Kita mau pergi ke Alun-Alun? Asikk!" teriak sakti dengan bahagia.

Suara hentakan kuda yang sangat kurindukan, sudah lama sejak ayah meninggal kami sudah tidak pernah lagi naik delman. Dulu, setiap minggu ayah selalu menajak kami naik delman dan pergi ke Alun-Alun namun setelah ayah tiada kami tidak pernah lagi naik delman. Kami sudah tiba di Alun-Alun kota, kulihat suasananya masih seperti ketika terakhir aku kesini mungkin dua tahun yang lalu, ramai namun tetap asri.

Semakin malam, semakin ramai juga orang-orang yang datang. Aku memutuskan mengajak ibu dan adikku makan Gudeg favorit kami disana, Gudeg Mercon Bu Tinah. Tempat makan yang penuh kenangan, dulu setiap ke Alun-Alun kami pasti mampir kesini, bahkan jika uang ayah tidak cukup kami akan tetap memesan satu porsi untuk dimakan bersama.

"Nanti, kamu akan jarang sekali bias makan gudeg. Jadi, malam ini kamu harus menikmatinya,' ucap ibuku.

"Ibu benar! Selain ibu dan Sakti, gudeg adalah sesuatu yang akan Aneska rindukan nanti," jawabku.

"Nanti disana, kalau makan jangan pilih-pilih. Terima dan makan apapun yang diberikan untukmu."

"Iya bu!"

"Selamat siang!" sapaku.

Pakde tersenyum lebar, "Ada apa siang-siang begini kita kedatangan perempuan yang manis seperti gula ini."

"Besok pagi Aneska akan berangkat ke Palembang, mungkin nanti akan jarang pulang kesini karena jauh dan juga biaya ongkosnya yang cukup mahal. Aneska mau menitipkan ibu dan Sakti, nanti ketika disana Aneska hanya bisa menghubungi kalian untuk mengetahui kabar semuanya yang disini," sahutku.

"Selamat! Kamu tidak perlu khawatir. Pakde pastikan akan menjaga mereka disini," jawabnya

"Bude belum mengucapkan selamat untuk kamu. Selamat, Aneska! Tidak terasa sekarang kamu sudah besar," jawab Bude.

Kami tidak punya telepon rumah, sehingga aku hanya bisa menghubungi Pakde dan Bude. Hanya mereka keluarga terdekatku disini, karena yang lain berada di desa. Merekalah yang sering membantuku terutama sejak ayahku sudah tiada.

Aku sudah menyiapkan semua baju-baju yang akan kubawa dan juga barang- barang yang perlu kubawa. Di Palembang nanti aku akan tinggal di rumah kos yang pemiliknya adalah teman akrab budeku.

"Apa semuanya sudah beres? Atau, ada yang bisa Ibu bantu? Jangan sampai ada barang yang tertinggal."

"Tidak ada, Bu. Aneska sudah mengemas semuanya," jawabku sambil menutup koper tua ini.

Ibuku menghampiriku dan memberikan aku sebuah amplop coklat.

"Ini ibu ada sedikit uang untukmu. Nanti jika Ibu ada rezeki lebih, Ibu akan kirimkan untukmu di sana. Kamu harus pandai mengatur uang ini agar cukup sampai Ibu mengirim lagi bulan berikutnya."

"Bu, jika nanti Ibu belum punya uang, Ibu tidak perlu kirim ke sana. Aneska punya uang tabungan Aneska yang mungkin cukup sampai akhir tahun ini."

Aku sudah memecahkan celengan ayam yang sudah kumilikki dari aku kecil. Tabungan itu memang kupersiapkan untuk aku kuliah dan aku bersyukur karena ternyata jumlah uangnya lumayan. Mungkin cukup untukku selama bebarapa bulan di sana.

"Ingat selalu pesan Ibu. Kita tidak tahu bagaimana kehidupan di sana. Jadi, kamu harus pandai mengatur dirimu di sana. Lakukan hal yang menurutmu baik dan tinggalkan hal yang menurutmu tidak baik."

Kulihat ibu sudah meneteskan air matanya.

Aku menghapuskan air matanya, "Tentu bu."

"Bu, Aneska pamit pergi. Ibu jangan lupa jaga kesehatan. Sakti, kamu jangan sering main keluar. Kamu harus menjaga Ibu," gumamku.

"Nanti kalau kamu sampai, hati-hati, langsung kabarkan kami," jawab ibuku dengan mata yang berkaca-kaca.

Adikku yang tak biasanya memelukku, hari ini dia memelukku dan menangis. Keputusan untuk kuliah di kota lain memang sangat berat bagiku. Namun, demi mimpiku apapun harus aku lewati. Pagi ini aku akan berangkat dan aku diantar oleh Pakde ke Stasiun Tugu. Mulai hari ini aku harus belajar menjadi perempuan yang mandiri yang nanti bisa menjadi kebanggan ibuku. Selamat tinggal, Yogyakarta. Sampai bertemu kembali.  

2000Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang