Chapter 2

7 4 0
                                    

"Van!" Panggil cowok itu dengan suara berat nan dingin khas miliknya.

"Eh, Zam! tumben lo kesini, biasanya kan lo tinggal nyuruh babu-babu elo," Canda Devan dengan gaya riangnya yang memang sangat berbanding terbalik dengan cowok dihadapannya.

Dia Nizam Al-azam, cowok terpintar sekaligus tercool di SMA Aksara Bangsa. Tak hanya itu, dia juga terkenal sebagai King Masternya gang The Soul yang anggotanya hampir mencapai sepertiga cowok-cowok di SMA Aksara Bangsa. Kalau boleh jujur, penampilannya lebih bisa dikata si preman jalanan dari pada si anak terpintar disekolahan. Kalau soal kejomplangan nama sih, aku tak mempermasalahkannya, toh aku sendiri sadar bahwa penampilanku tak mencerminkan namaku. -yang bisa dibilang agak islamics gituu.

"Gue cuman mau ngasih ini," katanya datar sembari menyodorkan sebuah kotak makanan "Dari nyokap," katanya lagi. Ia terlihat acuh tak acuh dengan tatapan seluruh penghuni kantin yang seolah tak menyangka cowok sedingin Nizam bisa melakukan hal sejanggal itu. Bayangkan saja, kok ada ya cowok berandal yang memberikan bekal makanan pada cowok lain di depan khalayak ramai seperti ini? Kan aneh yak.

"Tumben," ucap Devan terdengar sedikit menahan tawa sembari menerima kotak pemberian Nizam itu. Ia sendiri terlihat tak menyangka sahabat karibnya itu bisa bertingkah sememalukan ini.

Penasaran, langsung saja Devan membuka kotak bekal itu. Dari belakang Devan aku bisa melihat dengan jelas sebuah ukiran dari saus yang bertuliskan "The sweet seventeen of Devan" diatas masakan nasi goreng yang jujur terlihat amat menggoda.

"Met ultah Bro," Ucap Nizam dengan senyum menawan khasnya. Kemudian tanpa kata dan aba-aba ia segera berbalik dan berlalu diikuti rombongannya yang jujur membuatnya terlihat bak sang raja singa.

Sontak saja seisi kantin heboh dengan adegan tadi. Mereka beramai-ramai mengucapkan selamat ulang tahun pada Devan. Devan sendiri tersenyum senang, dan sedikit menggeleng-gelengkan kepala masih tak menyangka dengan ulah sahabatnya itu.

Dasar! bodoh sekali aku, pacarku ulang tahun dan aku sama sekali tak tahu tentang itu. Dan sekarang dengan tanpa dosanya aku malah terngiang-ngiang senyuman Nizam barusan. Cih! andai saja Nizam adalah salah satu cowok yang mengejar-ngejarku pasti pilihan hatiku jelas akan jatuh padanya. Tapi harapan tidak selalu menjadi kenyataan kan?

Pernah sekali aku memergoki dirinya sedang duduk menyendiri dibawah pohon cemara belakang masjid sekolah. Kukira dia sedang bolos untuk merokok, tapi saat kudekati ternyata aku salah besar. Bukan kepulan asap yang mendominasi udara disekitar cowok itu, melainkan alunan bacaan al-Quran yang ia baca perlahan dari layar ponselnya.

Aku tertegun, aku tak menyangka ada orang seperti ini di SMA Aksara Bangsa, kukira semua orang hanya mencari sensasi, obsesi dan puji. Tapi aku salah, pria yang sedang duduk memunggungiku saat ini jelas-jelas melakukan kebaikan tanpa mengharapkan pujian apalagi imbalan.

Tak sadar aku berdiri tertegun sampai ia mengakhiri bacaannya. Buru-buru ku balikan badanku membelakanginya berusaha sesegera mungkin menjauh darinya.

"Almeera?" Suara itu tiba-tiba mencekat langkahku dan tanpa bisa kutangkis akupun membalikan badan sembari berusaha terlihat senatural mungkin seolah tak pernah mencuri dengar seperti barusan.

"Habis nguping ya?" Tebaknya dengan santai namun tak menampilkan sekilas senyum pun.

"Eh, enggak. Apaan sih pd banget!" Elakku demi menjaga imageku didepan cowok secuek dia.

"Mau denger yang lebih bagus? sini deh!" Tawarnya sembari menampilkan senyuman mautnya yang jujur jarang sekali ia perlihatkan dengan cuma-cuma.

Dan rasanya aku seperti terhipnotis saja oleh senyumannya, kakiku dengan luwesnya terus berjalan mendekat kearahnya.

"Duduk!" Titahnya saat aku sudah berdiri disebelahnya yang masih terduduk santai dibawah pohon cemara itu.

Dan seperti dugaan kalian, aku sangat menurut dengan setiap ucapannya. Mungkin ini karena aura si ketua gang yang dimilikinya. Entahlah, aku juga tak tahu.

Hening tiba-tiba saja menguasai suasana diantara kami. Aku bisa merasakan detak jantungku yang entah mengapa berdetak lebih cepat berkali-kali lipat dari pada biasanya. Bukan, bukan karena aku takut Devan memergoki kami. Aku sudah bilang padanya aku tidak mau dibatasi dan dia setuju saja tanpa memprotes sama sekali. Bahkan aku sendiri tak tahu pasti alasan dibalik kecanggungan ini, ataukah karena dia memang orang yang dingin? atau karena aku yang tak terbiasa didiami seperti ini?

"Pake!" Ucapnya tiba-tiba sudah menyodorkan sebuah mp3 kecil lengkap dengan hedseatnya.

Tapi entah apa yang terjadi padaku. Aku justru terdiam memandang wajahnya cukup lama hingga ia memautkan alisnya heran. Dan anehnya aku tetap tak bisa mengalihkan pandanganku dari wajahnya. Karena diam-diam aku mengagumi wajah Nizam karena paras tampannya yang seolah tanpa cela.

Merasa tidak mendapat respon dariku dia hanya menghela nafas dan menampilkan senyumnya lagi- sungguh aku semakin tak berdaya dibuatnya.

Dan kemudian jantungku seakan-akan dibuat berhenti berdetak olehnya, nafasku seolah sudah benar-benar berhenti detik ini juga. Dia memasangkan hadset itu dikedua telingaku dengan santainya. Kemudian kontak mata itu terjadi lagi hingga aku benar-benar merasa menjadi mahluk pemuja cinta paling bahagia sedunia.

Sayangnya kontak mata itu tidak terjadi lama. Ia segera mengalihkan wajahnya dariku. Aku merasakan pipiku memanas dan sudah kupastikan semburat merah delima pasti sudah menjalari pipiku.

Ia kemudian bergeming seolah membiarkanku menikmati alunan murotal ayat suci al-Quran yang jujur, membuat hatiku merasa tenang.

"Enak?" Tanyanya tiba-tiba. Membuatku sedikit terkejut dan lagi-lagi pipiku terasa panas.

"Eh, iya." Jawabku singkat kemudian memalingkan wajah berusaha menutupi semburat merah dipipiku ini.

"Hhh,,, dasar Khumairo." Celetuknya membuatku malu setengah mati. Sudah pasti dia memergoki pipiku yang sudah seperti tomat ini.

"Namaku Ara, jadi jangan panggil aku Almeera apalagi Khumaira." Ungkapku berusaha menutupi rasa malu sekaligus canggung.

"Hhh,,, nama itu doa, aslinya Almeera terus jadi Ara pasti lain artinya. Lagi pula kalo aku panggil kamu pake nama asli kamu kan berarti aku turut berperan buat doain kamu." Jelasnya santai.

Aku sedikit menundukkan wajahku, " Aku?" Tanyaku berbisik pada diri sendiri. Bukankah Nizam harusnya menggunakan kata ganti lo-gue saat berbicara denganku?

"Gak nyangka ya, ada aja cowok berandal yang nyempetin bolos cuma demi dengerin kayak ginian," Ungkapku jujur sembari masih menikmati alunan syahdu dari mp3 milik Nizam.

"Hhh,,, gue sih gak alim Ra, tapi dengerin kayak gituan tuh enak, rasanya adem aja di hati." Katanya sedikit meringis kemudian bangkit dari duduknya.

"Bay Ra! gue gak bolos kok, cuman izin nenangin fikiran doang." katanya lagi kemudian beranjak meninggalkanku.

"Gue?" Tanyaku lagi berbisik pada diriku sendiri, "Tadi 'Aku,' kan?" Tanyaku meragu.

"Eh! terus ini gimana?" Tanyaku setengah berteriak baru menyadari bahwa aku masih mengenakan sepaket mp3 milik Nizam.

"Anggap aja kenang-kenangan!" Teriaknya sembari melambaikan tangan dan terus berjalan menjauh tanpa berbalik menghadap kearahku.

"Hhh,,, kenang-kenangan." kataku tersenyum-senyum sendiri mengingat kejadian barusan sepaket dengan debar jantung yang kurasakan. Indah sekali.

Dan setelah beberapa hari memberi waktu bagi hati untuk merenung. Aku pun membulatkan tekad untuk segera memutuskan Devan. Toh sejak awal aku memang tak ada rasa dengannya. Ditambah lagi sekarang aku sudah menemukan orang yang mampu membuat otak dan hatiku tak pernah berhenti menyebutkan namanya.

Gimana gaeeeess? seru gak sih? seru gak? seru gak? Serulah masak enggak😂😂

Kira-kira jadi gak ya, Ara mutusin si Devan? Aduuh,, sebenernya kasihan si Devannya sih, kan kagak salah apa-apa dianya.
Tapi ya gitulah namanya anak muda😂😂😝

Yok dipencet bintangnya yok! makasih juga udah sempetin baca work ini, krisannya tetep gue tunggu kok😊😊

Cinta Dalam Khayal (END) Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang