Chapter 4

3 4 0
                                    

Aku benar-benar menurut dengan apa yang dikatakan Nizam. Kemarin aku tidak sekolah, melainkan menghabiskan hariku dengan merenung di kamar, juga sesekali memutar mp3 milik Nizam. Yaa,,, walau begitu tentu tak lantas merubah keadaan. Lihatlah, sekarang semua mata mengamatiku sinis sekali.

"Ra!" Panggil seorang laki-laki dari belakangku.
Nafasku seolah dibuat berhenti karena ini jelas suara pria yang baru saja kusakiti dan hianati kemarin.

"No problem Ra, gue terima keputusan lo. Dan soal gue sama Nizam,,, lo gak perlu khawatir karena persahabatan kita cukup kuat dan gak bakal hancur cuma gara-gara cewek kayak elo." Ujar Devan dengan sinis, setelah aku benar-benar membalik badan ke arahnya.

Aku terdiam sejenak. Ada yang berbeda dengan Devan, aku bisa melihat dengan jelas beberapa bekas memar di wajah dan juga bibir kirinya.

"Kalian abis berantem?" Tanyaku membulatkan mata. Lalu bagaimana dengan keadaan Nizam saat ini?

"Masih pe,,"

"Nizam, mana?" Tanyaku langsung memotong ucapannya.

"Hhh,,, cari aja sendiri," Katanya, terlihat sebal dengan semua ulahku, yang kusadari memang seolah tak merasa bersalah padanya yang bernasib sebagai pihak tersakiti. Tapi lagi pula, bukan saatnya bagiku untuk peduli padanya karena sekarang aku harus mencari Nizam yang juga turut menjadi korban, hanya karena keegoisan perasaanku.

Buru-buru aku beelari untuk mencari Nizam. Pilihanku langsung tertuju pada tempat dimana aku benar-benar menjatuhkan perasaanku padanya.

Dan benar saja, kulihat dia sedang duduk bersandar di bawah pohon cemara yang sama seperti saat itu. Kuberanikan diri untuk berjalan mendekat, kemudian duduk di sebelahnya. Tapi cowok dingin itu benar-benar tak merespon kehadiranku, membiarkan keheningan terus merasuk diantara kami.

"Maaf," Ungkapku tertunduk, setelah benar-benar sesak dengan sesak oleh keheningan barusan, sempat kulihat beberapa lebam juga menghiasi wajah apiknya, membuatku semakin merasa bersalah saja.

"Kak Nizam, gak papa?" Tanyaku lagi, walau lagi-lagi ia tak merespon permintaan maafku.

Tapi bukannya menjawab, ia justru beranjak dari posisi duduknya. Seolah benar-benar tak sudi berbicara denganku. Aku tak lantas menyerah, dengan sigap segera menyusul ia berdiri.

"Devan bener," Kataku cepat, sebelum ia benar-benar pergi menjauh dariku.
Mendengar ucapan itu, ternyata sukses membuat Nizam bersedia menatap mataku.

"Aku jatuh cinta sama Kak Nizam, dan Kak Nizam yang pertama bagi aku." Ungkapku sembari menyentuh pergelangan tangannya, berusaha meyakinkan bahwa aku benar-benar tak pernah mencintai Devan.
Hening seketika, Nizam seperti sedang mencerna kata-kataku barusan.

"Ra, maaf. Aku gak bisa nerima perasaan kamu." Ujarnya jelas, perlahan melepaskan tanganku dari tangannya.

Deg! Hatiku serasa dihantam dan dihancur leburkan seketika. Diantara banyaknya cowok yang mengejar-ngejarku, kenapa Nizam justru menolakku mentah-mentah begini?

"Karena Devan?" Tanyaku, tanpa bisa menutupi rasa kecawa.

"Bukan. Devan gak ada hubungannya sama keputusan gue." Terangnya, dengan ekspresi datar.

"Karena Kak Nizam gak punya perasaan sama aku?" Tanyaku dengan suara serak, aku bahkan sama sekali tak bisa menahan buliran air mata yang menetes membasahi pipiku.

"Karena pacaran itu haram Ra, dan seberandal-berandalnya gue, gue gak bakal ngelawan Tuhan gue." Jelas Nizam dengan suara merendah, berusaha membuatku mengerti.

"Jawab dulu pertanyaanku Kak?! Kak Nizam gak punya perasaan sama aku?" Tanyaku bersikeras, setidaknya yang kubutuhkan sekarang adalah jawaban "ya," atau "tidak.". Aku masih menyimpan harapan yang terasa begitu nihil.

"Udahlah Ra, gak usah pake ngotot segala! Nizam juga tau kali, mana cewek yang pantes buat dia, dan mana yang murahan kayak elo." Suara itu tentu langsung mengejutkanku. Spontan saja aku menoleh ke asal suara.

Ternyata itu suara Rania, si cewek ratu gosip yang memang sejak dulu dengan terang-terangan memuja-muja Nizam. Dan buruknya, dia tak cuma sendiri. Disebelahnya ada Devan dan hampir 1/4 murid SMA Aksara Bangsa kini memandangku sinis seraya berbisik-bisik ria.

Benar-benar memalukan, Dan yang menjadi pilihanku saat itu adalah berlari pergi. Aku sudah tak kuat lagi menanggung penghinaan ini. Rasanya harga diriku seperti diinjak-injak dengan sadisnya oleh mereka.

Bruak! Saking buru-burunya aku bahkan tak sadar bahwa ada yang hendak menjegal kakinya. Sontak suara tawa langsung menggema memenuhi gendang telingaku.

"Ra!"

Aku mengenali suara itu, itu suara cowok yang baru saja menolak cintaku mentah-mentah. Tapi apa peduliku? Buru-buru aku bangkit dan berlari lagi. Pergi dari semua penghinaan ini.

Gimana gaes, seru gak sih? Karmanya berlaku ternyata.

Makasih banget ya, udah mau mampir ke work aku.
Semoga betah dan suka☺.

Cinta Dalam Khayal (END) Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang