22. holy night

338 98 21
                                    

Sebenarnya, Rangga belum sepulih itu dari sakitnya. Kepalanya masih terasa berdentum ketika membuka mata, pun udara dingin malam ini jadi begitu menusuk dari biasanya. Meski begitu, Rangga tetap memaksakan dirinya untuk mengendarai mobil menuju tempat yang telah dia dan Tara setujui. Jalanan umum yang mulai sepi di pukul 10 malam.

Sehan menemaninya, seperti biasa. Mereka datang tepat waktu namun kelompok Tara belum juga tiba di tempat. Maka, untuk mengisi waktu keduanya memilih untuk menikmati malam sembari menghisap rokok pada masing-masing jemari.

"Gimana kalo gue kalah?" Tanya Rangga setelah membuang semua asap dari dalam mulutnya. Pertanyaan itu lebih ditujukan untuk dirinya sendiri. Rangga khawatir Tara akan tetap membongkar rahasia itu pada Sehan jika dia kalah.

"Ya udah. Emangnya harus gimana lagi?"

Membuang puntung rokoknya ke tanah, Rangga lantas menghela napas. Segalanya jadi semakin sulit sebab dia terpaksa harus tutup mulut tanpa menceritakan apapun pada Sehan, padahal dia butuh seseorang untuk melegakan perasaannya yang sesak. "Lo tunggu sini, gue mau nelpon Arin dulu sambil nunggu Tara dateng."

Sehan merespon dengan anggukan dan kembali sibuk dengan rokoknya.

Rangga berdehem singkat sebelum menekan tombol panggil, menunggu beberapa saat hingga panggilan diangkat.

"Halo?" Sambut Arin di seberang.

Mendengar suara itu, Rangga spontan tersenyum. "Lagi apa?"

"Lagi masak mie. Kenapa nelpon malem-malem gini?"

"Nggak apa-apa." Rangga menyandarkan punggungnya pada badan pohon yang ada di belakangnya. "Cuma akhir-akhir ini aku jadi gampang banget kangen sama kamu. Aku nggak ganggu, kan?"

"Nggak, kok. Omong-omong, kamu malem ini balap, kan?"

Merasakan gejolak tak nyaman mendadak menggerayangi hatinya, Rangga menyisir rambutnya frustasi. "Iya. Doain semoga aku menang. Nanti kalo aku menang, aku bakal ajak kamu ke tempat yang bagus, makan makanan enak, terus belanja apapun yang kamu mau, oke? Sekalian rayain ulang mensiv kita kemarin."

Terdengar tawa kecil Arin. "Aku doain kamu selamat aja, gimana? Semoga balapnya lancar, kamu nggak luka sedikitpun. Nggak apa-apa kalo kamu nggak menang, kita masih bisa rayain mensiv-nya."

Padahal tujuannya menghubungi Arin adalah agar dia bisa mendapat sedikit ketenangan di tengah perasaannya yang gundah bukan main, tapi sekarang kekhawatiran itu justru semakin kuat menggerogoti. Dia merasa takut atas sesuatu yang tak seharusnya dia takutkan, padahal yang perlu dia lakukan adalah melewati pertandingan ini, kalah menang bukan suatu masalah.

"Kak? Kamu masih di sana?"

"Ya, masih." Suara-suara mobil mulai mendekat menghampiri. Dari jarak yang tak seberapa jauh, Rangga mendapati beberapa mobil melaju ke arah mereka. "Tara udah dateng. Aku tutup, ya? Kamu jangan tidur kemaleman."

"Iya, kamu juga hati-hati."

Setelah panggilan ditutup, Rangga yang sebelumnya telah membawa Sehan segera melangkah menuju sentral lapangan. Di sana, semua orang telah berkumpul. Tara membawa kelompoknya yang berjumlah lebih dari tiga, sedangkan Rangga hanya berdiri berdampingan dengan Sehan. Toh, Rangga merasa ini bukan waktu yang tepat untuk memamerkan seberapa banyak kelompok yang dia punya. Rangga hanya ingin menyelesaikan ini dengan cepat.

"Cuma bawa Sehan?" Pertanyaan yang keluar dari mulut Tara sejalan dengan dugaan Rangga.

"Yang mau balap cuma gue sama lo, kan?"

MonokromTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang