31. disappointed

307 95 20
                                    

Rangga memang selalu begitu. Sejak dulu, dia tidak pernah suka ada seseorang yang mengambil miliknya, merebut posisinya, dan menjadi lebih utama darinya. Mulai dari pertikaiannya dengan Tara hari itu, hingga hubungannya dan Arin yang berakhir saat ini. Rangga seolah menutup mata atas kenyataan bahwa semua yang menimpanya justru disebabkan oleh dirinya sendiri.

Sama seperti dahulu, Rangga tak pernah main-main dengan tekadnya. Jika menginginkan sesuatu, maka dia harus mendapatkannya. Jika membenci sesuatu, maka dia harus menghancurkannya.

Malam tiba, langit berubah gelap sejak sepuluh menit yang lalu. Rangga melangkah membelah suasana yang terasa tak asing. Dia pernah mengunjungi tempat ini sebelumnya, beberapa waktu lalu ketika dia merasa bahwa Juan mulai mengusik ketenangan hubungannya dan Arin. Hari itu, Rangga hanya sekedar mengamati. Namun sekarang, dia kemari dengan tujuan lain dalam kepalan tangannya.

Tiba di depan pintu perpustakaan, Rangga menyandarkan punggungnya kemudian mengetuk sebanyak tiga kali. Sambil membayangkan wajah Juan untuk menyulut emosinya agar semakin berkobar, dia menunggu setengah sabar.

"Cepet banget pulangnyaㅡ"

Mendapati Rangga yang berdiri di depan pintu, senyum Juan meluruh.

"Nungguin siapa?" Rangga tersenyum miring. "Lo nggak lagi sendirian?"

Juan terkejut, bahunya yang menegang menandakan bahwa pria itu takut. Namun, sebisa mungkin dia mengontrol agar rautnya tetap terlihat tak gentar, seperti yang biasa dia tunjukkan ketika berhadapan dengan Rangga.

"Mau apa orang kayak lo dateng ke tempat kumuh kayak gini?"

"Bener. Kira-kira gue mau apa, ya?"

Juan menelan ludahnya. Rasanya semesta tak pernah rela membiarkannya merasa bahagia bahkan untuk sebentar saja. Baru sedikit waktu yang dia nikmati dengan bebas bersama Arin, namun Rangga justru datang kemari seolah hendak mengantar bencana.

"Langsung bilang aja. Lo mau apa."

Bugh!

Satu pukulan telak mendarat di pipi Juan, membuat wajah itu seketika berpaling. Meski begitu, Juan tidak sepenuhnya terkejut. Dia tahu Rangga datang kemari untuk hal ini.

"Lo ngerasa hebat, huh? Cuma karna Arin mau deket sama lo, lo ngerasa lo ini segalanya?"

Tak mendapat jawaban, Rangga yang semakin tersulut emosi lekas menarik kerah seragam Juan dan membawa pria itu sedikit menjauh dari pintu perpustakaan. Disuguhi raut tanpa rasa takut, rasanya Rangga ingin sekali menghancurkan wajah Juan hingga tak berbentuk.

"Jawab, bangsat! Lo ngerasa sehebat apa sampe nggak jawab omongan gue?!"

Dihiasi darah pada ujung bibirnya, Juan tersenyum sinis. "Kalo gue jawab nanti lo tambah marah."

Tepat, jawaban itu sukses membuat emosi Rangga semakin tak karuan. Seolah kehilangan kesadaran, dia menghajar wajah Juan berkali-kali, menendang perut pria itu tanpa satupun mendapat perlawanan. Rangga benci sebab Juan seolah sengaja membiarkannya menggila sendirian.

"Miskin brengsek! Lo nggak hebat, asal lo tau. Bisa-bisanya orang kayak lo deketin Arin!"

Hinaan tentang dirinya yang miskin sama sekali tak mengusik Juan. Toh, itu adalah kenyataan yang tak perlu disalahkan. Juan sama sekali tak pernah merasa sial dilahirkan miskin. Namun, perasaannya pada Arin bukanlah sesuatu yang salah. Semua orang berhak menyukai orang lain dan Rangga tak pantas menyalahkannya untuk hal itu.

Ketika Rangga hendak melayangkan satu pukulan lain ke wajahnya, Juan buru-buru menahan. "Lo mau bilang apa kalo Arin juga sama gue, hah?"

Rangga membeku. Untuk hal ini, dia tak bisa marah. Sebab kemungkinan itu bisa saja terjadi.

MonokromTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang