29. break up

338 96 19
                                    

Semalam, berdasar pada dendamnya kepada Tara, Sehan dengan nekat memberi undangan terbuka kepada pria itu untuk bertemu di tempat yang sama di mana Tara mencelakai Rangga. Sehan benci respon Tara yang seolah tak kenal takut. Tanpa banyak berkilah, pria itu menerima undangannya dengan sambutan suka cita.

"Deal. Gue juga lagi kangen sama lo." Jawab Tara di seberang telepon malam itu.

Sesuai persetujuan, Tara datang tanpa membawa satupun pasukannya. Di bawah temaram lampu malam itu, keduanya duduk di bawah naungan rimbun pohon, bersama isi kepala yang belum siap diutarakan masing-masing lewat mulut.

"Lo sama sekali nggak ngerasa bersalah?" Sehan jadi yang pertama membuka obrolan.

"Apa yang gue lakuin ke Rangga nggak sebanding sama masa depan gue yang udah dia hancurin." Tara menatap Sehan, tersenyum sinis. "Dari dulu Rangga penghancur, lo nggak sadar?"

Sehan meraup udara masuk ke dalam paru-paru, menahan ledakan emosi. "Lo yang terlalu pendendam. Penyakit hati, paham?"

Tara tertawa. "Gue emang nggak sebaik lo, yang rela buang waktunya buat nemuin gue demi bela sahabatnya. Selama ini Rangga nunjukin topengnya yang gimana, sih? Keren banget bisa nipu lo sampe jadi setia gini."

"Maksud lo?" Rasa penasaran yang mendadak muncul membuat Sehan mengutarakan pertanyaannya.

"Secinta apa lo sama Ara?"

Sehan semakin kebingungan. "Kenapa bawa-bawa Ara?"

"Jawab aja, kali. Gue mau tau gimana perasaan cowok lembut kayak lo ke pacarnya."

Tiba di titik ini, Sehan mulai memikirkan berbagai kemungkinan mulai dari yang buruk hingga ke sangat buruk. Dirinya sadar jika problematika ini hanya seputar Tara dan Rangga. Lantas, kenapa Ara turut masuk ke dalam konversasi mereka?

"Urusan lo sama gue dan Rangga. Jangan bawa-bawa Ara."

"Dan Rangga berurusan sama Ara." Sehan sontak mati kutu. Sedetik tawa remeh menguar dari bibir Tara. "Makanya gue tanya sekali lagi, secinta apa lo sama Ara? Apa sebesar itu sampe lo yakin lo nggak bakal ninggalin dia seandainya dia khianatin lo?"

Naik pitam, Sehan segera bangkit dan mencengkeram kerah denim lawan bicaranya. "Ngomong yang jelas, bangsat!"

"Wah, ternyata akting Rangga sama Ara emang bangus banget selama ini." Tara melepas paksa cengkeraman Sehan. "Mereka selingkuh. Selama ini di belakang lo dan Arin, mereka selingkuh."

Suara-suara di kepalanya mendadak menjelma hening. Sehan terpaku tanpa sedikitpun dapat bicara. Sulit dipercaya, dan seharusnya dia memang tak mempercayai kalimat Tara yang mungkin hanya bualan. Tetapi mengapa hatinya merasa seolah itu adalah nyata?

"Rangga nggak begitu. Cukup lo buat dia hampir mati. Jangan berani lo fitnah dia."

"Kalo nggak percaya, lo bisa tanya orangnya langsung. Rangga atau Ara. Mereka berdua nggak bakal ada yang bisa ngelak." Tara turut bangkit dari duduknya. "Waktu gue abis. Anggep aja ini informasi sekaligus bales dendam terakhir yang bisa gue kasih ke kalian."

Dan malam itu berakhir dengan Sehan yang tak bisa berhenti memikirkan kalimat Tara yang bahkan masih kelabu. Meski begitu, sebagian besar dari dirinya justru percaya.

Dan pagi ini sembari melangkah menyusuri koridor menuju kelasnya, Sehan dengan pikiran kosong terus mendengarkan Ara yang tengah berceloteh di sebelahnya. Pagi ini gadis itu bertingkah tak seperti biasanya. Lebih aktif dan banyak bicara. Hal itu justru membuatnya makin merasa khawatir dan tak nyaman.

"Nanti pulang sekolah ke sini, yuk? Aku traktir kamu es krim."

"Oh, iya! Mampir ke rumah juga. Aku mau balikin jas ujan yang kamu pinjemin waktu itu."

MonokromTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang