01. game of love

1.1K 159 19
                                    

Terkadang, hubungan bisa jadi satu hal yang amat sulit dijalani kendati telah dijadikan komitmen oleh masing-masing pihak. Kekeras-kepalaan membuat cekcok sering terjadi, hingga berpisah jadi satu-satunya jalan yang bisa dipilih untuk bebas. Sebab pada kenyataannya, jarang ada hubungan yang terus berjalan sehat, tanpa perbedaan pendapat, apalagi penempatan emosi yang kurang tepat.

Namun untuk Rangga dan Arin, hubungan semacam itu tak pernah terjadi. Mereka damai meski hal itu justru menyakiti salah satu pihak.

Mari mulai kisahnya dari awal.

Arin adalah gadis normal, sama seperti murid perempuan lain di sekolahnya yang tergila-gila kepada King Card sekolah. Rangga Rafardhan, namanya. Murid kelas 12 yang artinya berada satu tahun di atas Arin. Rangga terkenal bukan karena prestasi atau partisipasinya terhadap kemajuan sekolah. Arin tahu betul Rangga adalah murid urakan yang bergabung bersama satu temannya yang lain untuk membentuk sebuah lingkaran pertemanan yang hobi membuat perkara di sekolah. Namun sekali lagi, Arin sama seperti murid perempuan lainnya. Dia menyukai Rangga karena pria itu keren dan terkenal.

Mengikuti teman-temannya yang lain, secara diam-diam, Arin seringkali memberikan hadiah beserta surat kecil yang diletakkannya di loker milik Rangga yang syukurnya jarang sekali dikunci. Saat itu, Arin nyaris bergabung masuk ke dalam kelompok penggemar Rangga. Namun setelah berpikir dua kali, Arin memutuskan untuk tetap menyukai Rangga secara diam-diam. Dia merasa puas dengan perasaan satu arahnya.

Suatu pagi ketika sekolah masih begitu sepi, Arin melangkah diam-diam sembari menggenggam sebotol minuman herbal. Pagi ini dingin, dan agaknya hingga siang cuaca akan tetap dingin.

Arin selalu berdebar setiap kali membuka loker milik Rangga. Terlalu banyak hadiah yang Rangga dapatkan, dan Arin selalu khawatir jika hadiahnya selama ini tak diterima. Sebab dari tumpukkan surat dan hadiah di dalam sana, Arin bisa menyimpulkan bahwa Rangga nyaris tidak pernah membuka lokernya apalagi menyentuh hadiah-hadiah itu.

"Semoga yang ini diterima." Arin meraup banyak napas dan meletakkan botol tersebut bergabung dengan hadiah lainnya.

Pintu loker ditutup. Arin hendak pergi meninggalkan tempat, namun tepat setelah tubuhnya berotasi, Arin dibuat menahan napas sebab presensi Rangga tahu-tahu tengah berdiri di hadapannya. Rambut legam pria itu masih sedikit basah, jaket tebal yang dikenakan membuktikan bahwa cuaca pagi ini memang sedingin itu.

"K-kak Rangga ..." Arin gelagapan.

Rangga mengalihkan pandang ke belakang, tepat ke arah pintu lokernya yang tertutup. Ketika pria itu melangkah maju untuk membuka loker, Arin hanya bisa menahan napas dengan mata tertutup sebab jarak mereka jadi begitu dekat hingga penghidunya bisa mencium aroma parfum yang Rangga pakai.

"Ini dari lo?" Rangga kembali pada posisi semula, mengangkat botol kecil pemberian Arin. Perlahan, Arin membuka mata dan mengangguk kaku.

Dan hal yang selanjutnya Rangga lakukan justru membuat Arin makin berdebar di tempatnya. Pria itu membuka penutup botol minuman pemberian Arin hanya dalam sekali putar, menenggaknya cepat hingga habis, dan kembali menutup botol itu sebelum menenggelamkannya ke dalam saku celana.

Rangga tersenyum, manis dan lembut, nyaris membuat Arin lupa kalau pria di hadapannya ini adalah biang masalah sekolah. "Makasih."

Arin berkedip mengumpulkan kesadaran. "A-ah ... iya, sama-sama."

"Lo juga sering ngasih gue surat, kan?" Atas pertanyaan Rangga yang justru terkesan seperti tebakan, Arin hanya diam tanpa memberi respon. Rasanya seperti tengah ditangkap basah. Menyadari ekspresi itu, Rangga kembali melanjutkan, "Jujur aja, nggak apa-apa, gue nggak marah."

MonokromTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang