Chapter 1

1.3K 158 6
                                    

"They say that no matter how old you become, when you're with your siblings, you revert back to childhood"

– Karen White

Hari ini pertama kalinya aku bertemu dengan Mama setelah 9 tahun lamanya.

Sejujurnya ini memang momen yang kutunggu-tunggu sejak dulu dengan penuh harap. Meski aku tahu,Mama tidak pernah mengharapkan hal yang sama terhadapku. Selalu,sejak dulu,yang Mama pedulikan hanyalah kembaranku. Yang juga kini berada tidak jauh di sampingku tanpa setitik pun air mata yang mengalir di hadapan makam batu yang sudah bertuliskan nama Mama.

Di hari pemakaman Mama ini pula,pertama kalinya aku bertemu dengan orang yang wajahnya bagai pinang di belah dua denganku. Dengan rambut yang di cat berwarna abu-abu dan wajah yang selalu terlihat tanpa ekspresi. Setelah kami saling diam cukup lama,dapat kudengar dia akhirnya berkata pelan. Seolah-olah dia hanya berbicara pada dirinya sendiri.

 "Lama tidak bertemu,Atsumu."

=v=v=v=

"Pasti berat ya bagi kalian berdua..."

"Nyonya Miya pasti tenang punya dua anak baik seperti kalian."

"Semoga beliau tenang ya disana..."

Omong kosong.

Aku muak dengan omong kosong para orang tua yang hanya mencari perhatian Papa atau sekadar basa-basi ini. Mereka bahkan pura-pura atau MUNGKIN tidak tahu kalau aku dan Papa sudah tidak pernah bertemu Mama sekalipun sejak 9 tahun terakhir. Mama yang digugat cerai oleh Papa kemudian menghilang setelah mendapatkan hak asuh Osamu itu jangankan menjenguk kami sesekali,kami bahkan baru tahu dimana dia tinggal sekarang. Saat dia sudah meninggalkan dunia ini,meninggalkan kembaranku yang sedari tadi tidak berminat untuk membuka suara dan hanya duduk diam disampingku menyambut tamu-tamu yang datang untuk berbelasungkawa.

Kalau boleh jujur,aku tidak menyukai kehadirannya di rumahku sekarang. Lihatlah dia yang selalu mendapatkan kasih sayang Mama tapi mengeluarkan air mata setetes pun tidak. Aku menyangsikan soal apakah sebenarnya kami memang saudara meski jelas-jelas wajahnya bagai fotokopi wajahku sendiri--dengan versi lebih tidak ber ekspresi tentunya. Apa dia tidak punya hati? Aku yang sudah lama tidak bertemu Mama saja menangis,tapi dia?

Aku harap aku tidak perlu bertemu dia lagi kedepannya,seperti yang selama ini terjadi.

=∆=∆=∆=

"Osamu,mulai sekarang kamu tinggal dengan kami ya?" Kata Papa setelah tidak ada lagi tamu yang terlihat. Menyisakan kami bertiga di rumah.

Apa?

"Apa maksud Papa? Orang ini? Tinggal bersama?" Tanyaku tidak percaya sambil menunjuk Osamu yang diam seribu bahasa,tidak bereaksi dengan ajakan Papa.

"Kenapa reaksiku begitu? Memangnya apa yang salah? Dari awal Osamu itu keluarga kita,kan? Dia bahkan kembaranmu."

"Memang dia MUNGKIN kembaranku. Tapi aku tidak sudi berbagi rumah dengan orang yang meninggalkan kita seolah kita bukan siapa-siapanya."

"Atsumu jaga bicaramu. Kalian sama-sama baru kehilangan Mama. Papa tidak mau dia juga kehilangan sosok Ayah."

"Dari awal dia sudah bahagia tanpa aku dan Papa,kenapa kita harus peduli padanya sekarang?"

"MIYA ATSUMU!!" Suara Papa mulai meninggi,jelas sekali marah besar. Tapi aku tidak peduli,Aku benci dengan kehadirannya. Apalagi dari sikap Papa,mungkin dia nanti juga akan merebut perhatian Papa dariku. Aku benci dia yang sudah mengambil Mama dariku. Kalau sekarang Papa memukulku itu hanya akan menambah daftar kebencianku terhadapnya.

"Sudahlah Papa..." Mendadak Osamu bersuara,menghentikan gerakan tangan Papa.

"Aku tidak apa-apa,Aku bisa tinggal sendiri di rumah saudara Mama." Sambungnya pelan. Aku melirik ke arahnya. Sekarang apa? Playing victim? Dia mau mencari simpati Papa? Hah.

"Osamu,bukan begitu. Papa berharap kamu mau tinggal lagi bersama kami..." Papa tidak jadi memarahiku,berganti membujuk Osamu agar mengubah keputusannya.

"Tuh,Dia sendiri bilang tidak apa-apa. Kenapa Papa harus memaksa dia?" Kataku merasa mendapat peluang. Playing victim atau bukan,dia pasti sadar aku tidak mengharapkan kehadirannya sedari awal ditilik dari sikapku padanya. Bagus,biarkan aku hidup normal seperti biasanya tanpa kehadiran pengganggu dirumah kami. 

Papa menatapku dalam,seperti mempertimbangkan sesuatu,kemudian tiba-tiba menarik lenganku menjauh dari Osamu. Membawaku pergi dari ruang tamu untuk bicara empat mata. Baiklah,sepertinya sekarang Papa akan menggunakan kata-kata untuk membujukku agar mengalah. Tapi aku sudah bertekad,jadi kalimat apapun yang Papa katakan aku tidak akan berubah pikiran.
.
.
.
.
.
.
.
.
.
.
.
.
.
Tapi aku keliru. 

"Papa sebenarnya tidak mau memberitahumu sekarang,tapi kalau tidak begini kamu tidak akan mengerti keadaannya. Nak,Osamu itu mengidap Little Space"

"Huh? Apa..?"

"Sewaktu-waktu kalau kambuh,dia akan bersikap seperti anak kecil. Mungkin bukan sesuatu yang gawat,tapi Osamu sangat membutuhkan keberadaan keluarga seperti kita sekarang. Kamu mengerti kan?"

Tidak,

ini curang. Bukan berarti aku merasa dia beruntung karena sakit. Tapi kalau begini,sama saja perhatian Papa sudah bukan milikku lagi sepenuhnya... 

Tapi aku bisa apa? Justru aku yang tidak punya hati kalau tidak peduli padanya. Meski aku belum tahu pasti little space itu seperti apa,sepertinya keputusan Papa memang sudah tidak bisa diganggu-gugat lagi.

"...Terserah Papa. Yang jelas aku tidak mau berbagi kamar."

Papa tersenyum padaku,meski tahu aku tidak tulus mengatakannya. Segera saja beliau kembali menemui Osamu dan mengatakan beberapa hal padanya. Mungkin seputar pindahan.

Saat itu,Osamu melirik ke arahku--yang masih memperhatikan dirinya dan Papa--dengan ekspresi seolah-olah merasa tidak enak kepadaku.

Hah,omong kosong. Kamu senang kan,Papa sekarang perhatian padamu. Tapi tidak denganku.

Aku membencimu

FRATERNITY (Haikyuu AU) (END) Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang