Toxic [32]

5.7K 573 17
                                    

"Kamu udah mutusin itu emang?" Perempuan berumur 30 tahun itu bersuara, tangan nya mengaduk latte di meja sembari menatap si lawan bicara.

"Udah," Pria di depannya itu mengangguk, menyesap cappucino nya sedikit lalu melanjutkan. "Aku juga udah kasih tau ke salah satu pengacara sama notaris paling top buat urusin. Soal ini, nggak bisa kalo minta ke orang sembarangan."

Perempuan itu mengangguk-angguk. "Terus, jadinya gimana? Maksudku, bagiannya seberapa? Soalnya kamu bilang mau rubah yang dulu kan?"

Pria itu mengangguk membenarkan, "Ya. Aku pikir, kalo cuma buat donasi semua, kesannya aku kaya kurang ajar banget sebagai Ayah. Jadi, aku putusin buat ngebagi setengah untuk Rachel, dan sisanya buat tambahan gaji karyawan sama donasi panti asuhan."

Perempuan itu tersenyum, "dari dulu kamu itu memang selalu baik ya, Kim."

"Kamu sendiri juga Kim, omong-omong." Pria itu berceletuk, dan keduanya lantas tertawa karena menyadari jika nama keduanya memang sama sejak awal.

Kim Jongin dan Kim Jennie. Sepasang suami istri yang sayangnya tidak saling mencintai. Bersatu dalam wadah pernikahan karena perjodohan, sebab keluarga mereka telah membuat kesepakatan sebelumnya. Keduanya jelas keberatan, tetapi hanya mampu pasrah dengan keadaan karena benar-benar tak bisa menolak.

Kehidupan keduanya setelah menikah berjalan dengan baik, sangat baik untuk ukuran sepasang suami istri yang tak pernah menaruh rasa sama sekali. Jennie bersikap baik sebagai istri pada umumnya. Memasak, mencuci, mengurus keperluan suami. Sama halnya dengan Jongin yang juga masih menunaikan kewajibannya sebagai suami, yakni memenuhi segala kebutuhan Jennie. Meski mereka sering sibuk dengan karir, tapi hubungan keduanya bisa dikatakan lebih dari baik.

Jongin mengurus perusahaan yang diwariskan oleh sang Ayah. Perusahaannya bergerak di bidang furnitur, sudah sangat sukses, dikenal oleh banyak orang, memiliki banyak investor yang mengajak bekerja sama sehingga sahamnya melonjak dengan cepat. Singkatnya, Jongin itu kaya.

Sedangkan sang istri; Jennie, bekerja sebagai sekretaris di salah satu perusahaan yang bergerak di bidang pariwisata. Perusahaan tempatnya bekerja itu juga bekerja sama dengan banyak sekali biro wisata. Menjadikannya begitu sibuk sebab harus mengatur jadwal pertemuan-pertemuan dari sang atasan.

Keduanya itu sangat akur, kehidupan mereka sangat tentram. Mereka juga sering bertemu, saat pagi; sarapan, dan saat malam ketika pulang kerja. Mereka biasa keluar saat akhir pekan, melepas penat dengan berjalan-jalan, atau menonton film. Mereka hanya melakukannya seakan-akan hubungan mereka adalah teman. Tidak, jangan menganggap mereka menyedihkan sebab mereka sudah berunding tentang ini sejak awal.

Namun, ketentraman mereka itu lambat laun mulai pudar. Disebabkan oleh tekanan dari kedua pihak keluarga yang terus menuntut adanya keturunan, mereka ingin Jongin dan Jennie segera memiliki anak. Terlebih pada diri Jennie, yang di cap sebagai istri tak becus karena tak dapat mengandung. Padahal faktanya adalah sebaliknya.

Suaminya lah yang mengalami masalah itu. Yah, sederhana saja, suaminya itu mandul.

Jongin dan Jennie tak  pernah mempermasalahkan soal kemandulan yang di miliki Jongin. Karena mereka awalnya malah berniat untuk hidup berdua hingga akhir hayat (meski tak pernah merajut kasih).

Sampai akhirnya, Jennie mencetuskan ide untuk mengadopsi anak. Mereka berkunjung ke salah satu panti asuhan paling makmur di kota mereka untuk mengadopsi anak dari sana. Kebanyakan masih anak-anak, Jennie tak suka. Bukan karena tak menyukai anak kecil, hanya saja Jennie tak tega jika harus meninggalkan anak kecil sendirian di rumah saat ia dan Jongin pergi bekerja.

Kemudian, pengurus panti membawa mereka berkeliling, hendak menunjukkan anak-anak lain yang mungkin menarik hati Jongin dan Jennie untuk merawat. Dan akhirnya, mereka bertemu dengan Rachel.

Rachel berumur 15 tahun saat itu. Tengah menyapu area panti sembari memperingati adik-adik lainnya yang bermain di sekitar. Terlihat begitu mandiri meski umurnya masih belia. Raut wajahnya selalu datar, tapi anak itu sangat sopan. Menurut cerita pengurus panti, Rachel merupakan tertua ketiga di sana. Sehingga keduanya pun memutuskan untuk mengadopsi Rachel, mengangkatnya menjadi anak.

Namun lagi-lagi, keberuntungan enggan mampir pada mereka saat itu.

Keluarga mereka tak senang dengan adanya Rachel. Saat ada perkumpulan keluarga, beberapa anggota keluarga mereka seringkali mencibir Rachel diam-diam. Mengatai soal status Rachel yang ternyata bukan anak kandung keduanya. Bisa ditebak sebenarnya. Mengingat jika selisih umur Rachel dan Jennie saja hanya 12 tahun, dan dengan Jongin selisih 13 tahun.

Ya, benar. Rachel berumur 15 tahun saat di adopsi oleh Jennie yang berumur 27 tahun, dan Jongin yang berumur 28 tahun. Memang rumit, tapi begitulah.

Hal itu membuat Jennie tak senang, ia tak suka jika anak baik-baik seperti Rachel mendapatkan perlakuan demikian. Ia lalu berbicara pada Jongin soal ini. Meminta pada suaminya itu agar lain kali tidak perlu hadir di acara keluarga mereka karena Rachel selalu mendapat perlakuan tidak baik. Jongin setuju, dan mereka pun tak pernah lagi menghadiri acara keluarga hingga sekarang.

"Kalo kamu, Jenn? Udah mutusin?" Giliran Jongin yang bertanya.

Mereka berdua ini memang berniat membagi harta mereka untuk Rachel.

"Mungkin iya, kalau aku nggak kepincut buat nikah lagi sih."

Jongin mengangguk-angguk. "Jadi, kapan kamu buat ajuan ke pengadilan?"

Jennie menghela napas. Topik ini lagi, perceraian.

Keduanya berniat untuk bercerai. Hendak memutus hubungan suami-istri mereka, tapi sama-sama berjanji jika mereka tetap akan terus berhubungan baik.

"Jangan dulu kayaknya, Jong. Rachel masih ujian, kasian kalo kepikiran soal kita. Biar Rachel lulus sekalian aja gimana?"

Jongin mengangguk setuju. "Boleh juga. Nanti soal kuliah biar aku aja yang tanggung biaya nya. Uang kiriman dari kita sebelum-sebelumnya biar buat keperluan dia sehari-hari."

Jennie menghela napas lagi. Menengok ke jendela di sampingnya, kemudian teringat dengan wajah sumringah Rachel saat mereka bertiga berjalan-jalan waktu itu. "Aku kasihan sama dia. Nggak tega kalau anak kaya dia harus sedih-sedih. Jongin, aku tuh selalu ngerasa bersalah tau, kalo inget pas dia liat kita berdua berantem."

Ah... pertengkaran mereka yang dulu-dulu. Bukan masalah besar, hanya sebab tekanan dari keluarga mereka saja kok.

"Sama, Jenn."

Hening beberapa saat, karena keduanya sibuk dengan pikiran masing-masing. Lalu Jennie lah yang kembali memulai.

"Minggu depan mungkin aku bakal lebih sibuk. Kantor mau ada event— apa ya aku lupa. Kayaknya ulang tahun perusahaan sih. Jadi aku bakal ikutan sibuk nata jadwalnya pak bos."

"Hm, okay."

"Jadi, kamu lebih luangin waktu buat Rachel bisa ya? Karena kan kamu tuh yang sering nggak pulang, kalian jarang ngobrol-ngobrol tau!"

Jongin tertawa pelan, mengangguk setuju dengan cetusan Jennie. "Iya-iya. Kalo perlu aku ajak jalan-jalan aja sekalian."

"Gak di ajak nih aku?"

"Gak!"

Keduanya tertawa lagi. Menyenangkan, selalu menyenangkan jika tertawa bersama tanpa memikirkan hubungan pernikahan mereka yang diambang runtuh itu. Karena mereka hanya mengikuti alur....

"Semoga, Rachel nanti dapet suami yang baik." Jongin tiba-tiba berceletuk, menolehkan kepalanya pada Jennie untuk meminta persetujuan.

"Iya, semoga nggak dapet yang kaya kamu, Jong." Tukas Jennie.

"Mulai!"

Toxic [ Mark Lee ] (✔)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang