Toxic [12]

10K 1K 20
                                    

Rachel menekan tombol lift dengan gugup. Lalu segera berlari keluar saat pintu telah terbuka. Berkali-kali mencoba mengatur napas karena telah berlari sepanjang jalan dari sekolah. Perasaan khawatir memenuhi dadanya, mengalahkan rasa bersalahnya pada Yeji karena telah meninggalkan gadis itu di sekolah.

Jari tangannya dengan cepat menekan digit angka pada panel tombol di pintu unit apartemen Mark. Beruntung Mark tak pernah mengganti password apartemen, jadi ia masih bisa masuk tanpa persetujuan dari si pemilik. Setelah bunyi click terdengar, Rachel pun segera bergegas masuk.

Unit Mark terlihat remang-remang. Hanya lampu dapur, juga lampu kamar Mark yang terlihat menyala. Rachel melangkahkan kaki, mencebik saat kakinya menyandung kaos di lantai. Ia membungkuk, meraih kaos tersebut. Lalu melirik beberapa bungkus makanan ringan di meja. Ia menghela napas, meletakkan kaos yang ia ambil tadi di sofa. Memilih untuk segera menemui Mark di kamarnya.

Mata Rachel memicing, sesaat setelah membuka pintu kamar Mark. Remang-remang, hanya lampu tidur milik Mark yang menyala. Tangannya segera meraih saklar, menyalakan lampu kamar. Dan di sana, ia melihat Mark terbaring di ranjang.

Napas pemuda itu pendek-pendek, terlihat terengah, dengan satu tangan yang menutupi mata. Rachel melepas tas, meletakkan di lantai lalu bergegas mendekat. Ia menyentuh pipi Mark dengan punggung tangannya. Rasa panas langsung menyengat kulit, membuat ia sedikit berjengit kaget. Mark demam!

Rachel bergerak cepat. Berlari menuju dapur, memanaskan air, menyiapkan baskom juga handuk untuk mengompres dahi Mark. Setelah semua siap, ia kembali menuju kamar Mark.

Tangan yang menutupi mata Mark, ia singkirkan perlahan. Menimbulkan lenguhan kecil dari si pemilik. Lalu perlahan, mata yang semula terpejam itu bergerak. Kelopaknya membuka, mengerjap beberapa kali sebelum menatap Rachel dengan sayu.

"Chel," panggil Mark dengan suara serak. Pemuda itu bergerak, mencoba bangkit tetapi langsung di tahan oleh Rachel.

"Diem dulu, lo demam." Rachel mendorong dahi Mark, menyuruh pemuda itu untuk tetap berbaring.

Mark menurut. Ia hanya diam saat kain basah juga hangat itu menempel di dahi. Hanya mengikuti arahan Rachel saat gadis itu mengelap lehernya menggunakan tisu.

"Lo pasti abis ujan-ujanan, makanya jadi demam gini,"

Rachel beralih menyingkap selimut Mark, membuka satu persatu kancing baju pemuda itu, lalu melepaskannya secara perlahan.

"Lo udah tau gampang sakit, masih aja nekat."

Mark mendengarkan dengan seksama. Sejujurnya, ia sedikit merindukan Rachel yang mengomel seperti ini. Susah sangat lama rasanya. Terakhir, saat ia mabuk berat dan muntah semalam penuh.

"Chel," Mark sedikit mengangkat tubuhnya saat Rachel akan memasangkan baju di tubuh. Gadis itu hanya berdehem sebagai sahutan. Masih terlalu sibuk memakaikan baju Mark.

"Bukannya hari ini les?" tanya Mark.

Rachel melirik Mark sekilas, "iya." Lalu kembali menyelimuti Mark. Rachel membawa baju pemuda itu yang basah akan keringat. Ia berniat untuk mencuci, lalu memasak sesuatu untuk Mark. Kasihan sekali jika ia biarkan Mark kelaparan.

Namun bahkan belum sempat ia beranjak dari ranjang, tangan Mark menahannya. Menariknya perlahan hingga membuat ia kembali terduduk, sedikit membungkuk karena Mark masih terus menarik tangannya. Ia menatap Mark datar, menyelami mata sehitam arang dari sang kekasih, lalu beralih pada hidung Mark yang memerah.

Mark juga menatapnya. Sama-sama bertatapan untuk waktu yang Rachel rasa sangat lama. Sampai akhirnya, Mark mengangkat kepala. Pemuda itu mengecup pipinya lama, sebelum kembali meletakkan kepala pada bantal. Mark beralih mengelus pipi Rachel. "Chel,"

Rachel tersenyum kecil, menyentuh tangan Mark yang bertengger di pipi. "Ya, gue di sini," lalu mengecup pipi Mark lama, sama seperti apa yang tadi dilakukan Mark.

"Gue mau masak, tunggu disini. Kalo butuh apa-apa, panggil gue aja."

Rachel berlari cepat menuju dapur saat mendapat anggukan dari Mark.

***

"Udah," Mark mendorong tangan Rachel yang menyodorkan sendok. Menggeleng berkali-kali saat gadis itu kembali menyodorkan sesendok makanan padanya.

"Lo harus makan, biar demam lo cepet turun. Ngeyel banget lo jadi manusia," dumel Rachel, ia kembali menyodorkan sendok pada Mark. Matanya menatap Mark tajam, membuatnya mau tak mau jadi membuka mulut. Mark menerima suapan itu.

Sehabis mengompres dan mengganti baju Mark, Rachel bergegas menuju kamar mandi setelah sebelumnya memungut kaos yang ia temukan saat baru masuk tadi. Merendam baju kotor milik Mark, lalu menuju dapur.

Ia memang memasak, tetapi tak banyak. Hanya sup ayam, tumis daging, serta salad sayuran mentah. Maka dari itu, Mark tadi sempat menolak. Pemuda itu sedikit membenci sayuran, omong-omong.

Sembari menunggu masakan matang, ia juga menyempatkan untuk mencuci baju milik Mark. Sehingga dalam waktu singkat, kedua pekerjaan itu beres. Setelah keduanya selesai, ia beralih membersihkan apartemen Mark. Mengumpulkan sampah, lalu membuangnya ke tong sampah depan.

Melelahkan, sih. Namun mau bagaimana lagi?

"Gerimis," suara serak Mark menyapa indra pendengar Rachel. Membuat gadis itu reflek menoleh pada jendela kaca di kamar Mark, dan ya... titik-titik air itu terlihat turun dari langit. Menghela napas, Rachel melirik mangkuk yang telah kosong.

Rachel meletakkan mangkuk itu, lalu beralih menyodorkan gelas air pada Mark. Dalam diam, Mark menerima gelas itu. Meminumnya hingga tandas, lalu kembali memberikan gelas pada Rachel.

Keduanya tengah duduk di kursi dekat jendela kamar. Sebenarnya, Rachel tadi ingin menolak. Karena ia rasa, Mark perlu istirahat dan tak seharusnya banyak bergerak. Namun pemuda itu memaksa. Berdalih ingin menyegarkan pandangan setelah hampir semalaman hanya menutup mata. Dan ya, Rachel tak mungkin dapat menolak.

Mark menyandarkan kepala di bahu Rachel, mengeratkan selimut yang membungkus tubuhnya.

"Gerimis," Mark kembali bersuara. Mengundang dengusan dari Rachel.

"Gue nggak buta, btw." Rachel menyahut dengan sinis. Ia mendorong kepala Mark menjauh, lalu segera bangkit untuk mengembalikan mangkuk serta gelas bekas tempat makan Mark.

"Jam berapa, Chel?" tanya Mark begitu melihat Rachel menutup tirai jendela. Langit terlihat sangat gelap saat ini.

"Jam 5,"

Rachel berjalan menyalakan lampu, merapikan bantal serta seprai, lalu beralih berjalan menuju arah Mark.

"Lo nginep?" Mark mendapati gelengan dari Rachel.

"Gue harus ngejar materi les yang gue tinggal hari ini,"

Mark termenung. Berpikir mengenai Rachel yang secara suka rela mengurusnya, memilih meninggalkan jadwal les yang begitu penting. Mengingat ujian kelulusan tinggal 2 bulan lagi, tentu dengan adanya les sangat berarti bagi para murid. Dan Rachel, malah memilih pergi menuju apartemennya daripada mengikuti les tersebut.

Melihat Rachel duduk di sampingnya, Mark secara mengejutkan langsung memeluk gadis itu erat. Menyamankan kepala di ceruk leher Rachel. Yang mana membuat Rachel terkejut setengah mati. Apalagi sekarang pelukan Mark semakin mengerat di pinggangnya.

Menghela napas, Mark mengecup leher Rachel beberapa kali. Kembali menyamankan diri, demi mengusir rasa gusar dalam batinnya.

Rachel sangat baik, sedangkan ia?

Ah sial, ia jadi merasa bersalah pada Rachel.

Toxic [ Mark Lee ] (✔)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang