BAGIAN 5

122 8 3
                                    

Candra Kirana malah tertawa-tawa mendapat serangan yang semakin menghebat. Namun tiba-tiba tubuhnya meluruk deras ke depan dengan tangan terjulur untuk menangkis senjata lawan-lawannya. Sedangkan kakinya berputar, sekaligus melepaskan tendangan berantai.
Plak! Buk! Buk! Buk!
"Wuaaagkh...!"
Kembali prajurit-prajurit yang telah berada dibawah pengaruh iblis bernama Pedut Ireng itu terpelanting roboh. Mereka menjadi kocar-kacir. Namun karena setan telah menguasai hati dan jiwa mereka, maka sedikit pun tidak mengenal rasa takut.
"Pedut Ireng! Kalau kaki tanganmu kubunuh semua dengan pukulan 'Penakluk Iblis', kau tidak akan dapat membangkitkan mereka lagi. Mereka mati dan tidak ada kebangkitan kedua. Cepat perintahkan mereka mundur. Atau kau akan menyesal!" dengus Malim Janaka lantang.
"Kakang Candra Kirana! Banyak yang dapat kau lakukan dengan ilmumu yang segudang itu. Tetapi kau tidak bisa menakut-nakuti aku!" sahut Pedut Ireng, dari tempat persembunyiannya.
Malim Janaka merasa tidak punya pilihan lagi. Tiba-tiba dia melompat mundur sejauh dua batang tombak. Kedua tangannya langsung dirangkapkan kedepan dada. Tubuhnya kemudian bergetar. Perlahan-lahan keringat mulai membasahi pakaiannya.
"Hiyaaa....!" teriak Malim Janaka, seraya mengeluarkan pukulan 'Penakluk Iblis'nya ke segala arah.
Blar! Blarrr!
"Aaakh...!"
Bukan main dahsyat serangan Candra Kirana. Prajurit-prajurit beserta orang-orang persilatan yang berada di dalam kekuasaan Pedut Ireng langsung berpelantingan roboh, bagaikan daun-daun hijau diterjang topan. Dan mereka tidak mampu bangkit lagi.
"Biarkan aku yang menghadapi si gendut, Ketua!" Terdengar suara lain dari dalam bangunan.
"Jangan, Algojo. Biarkan dia pergi. Belum waktunya bagi kita untuk membunuhnya. Dan pekan nanti, dia akan menerima giliran dari kita!" sahut Pedut Ireng.
"Jangan coba-coba menggertakku! Aku segera datang menepati janji bila sudah sampai waktunya nanti!" dengus Malim Janaka, seraya berkelebat dari tempat ini.

***

Di Istana Kerajaan Pandu Galuh, Panglima Ubudana sedang menghadap Gusti Prabu Antasena. Pertemuan singkat itu berlangsung cukup tegang. Gusti Prabu Antasena bahkan berulang kali menggeleng-gelengkan kepala seakan tidak percaya.
"Jadi, kau gagal menangkap Patih Kusuma?" tanya Gusti Prabu Antasena, seperti ingin penegasan.
"Ampun, Gusti Prabu. Sebenarnya kami hampir berhasil menangkapnya. Malah dia telah teriuka. Tetapi seseorang yang tidak kami kenal tiba-tiba saja muncul menyelamatkan patih itu," jelas Panglima Ubudana dengan wajah tertunduk dalam.
"Kau tahu siapa orang itu, Panglima?" tukas Gusti Prabu Antasena mendengus curiga.
"Hamba sama sekali tidak mengenalnya!" jawab Panglima Ubudana, tegas.
Untuk yang pertama kalinya, Gusti Prabu Antasena merasa ada sebuah kekuatan yang mengancamnya. Baginya, Panglima Ubudana bukan orang lemah. Kepandaiannya tinggi. Ilmu olah kanuragan yang dimilikinya juga tidak sembarangan. Jika seseorang mampu menyelamatkan Patih Kusuma dari maut, berarti orang itu mempunyai kepandaian jauh lebih tinggi dari panglima perangnya.
"Panglima...!" panggil Gusti Prabu Antasena.
"Hamba, Paduka."
"Aku menginginkan Patih Kusuma hidup atau mati. Dan cari pemuda yang telah menyelamatkannya. Kalau perlu, bunuh kedua-duanya!" tegas Gusti Prabu Antasena.
"Perintah segera hamba laksanakan, Gusti. Hamba mohon diri!" Setelah menghaturkan sembah, panglima perang ini segera berlalu dari hadapan rajanya.
Kini Gusti Prabu Antasena termenung sendirian, memikirkan apa yang bakal dihadapinya. Sesungguhnya dia tidak takut dengan ancaman apa pun. Hatinya selalu yakin dengan kemampuan diri sendiri. Apalagi kini mempunyai Pusaka Lidah Setan yang telah dipinjam dari dua titisan iblis Pedut Ireng dan Serigala Putih.
Senjata maut ini telah membuktikan keampuhannya saat melakukan pemberontakan beberapa purnama yang lalu. Dan bahkan Gusti Prabu Siwanada yang terkenal kesaktiannya tewas di tangannya berkat Pusaka Lidah Setan.
Itu sebabnya laki-laki setengah baya ini terpaksa harus memutuskan untuk melenyapkan Patih Kusuma ketika melaporkan adanya binatang buas yang telah membantai penduduk. Juga kabar tentang prajurit-prajurit yang hilang dan dijumpai lagi dalam keadaan buas.
Secara tidak langsung, Gusti Prabu Antasena merasa ditolong oleh kedua titisan iblis itu. Tidak heran sebagai imbalannya, dia membebaskan mereka dari hukuman kutukan di Lembah Tengkorak. Bahkan mengizinkan Pedut Ireng dan Serigala Putih tinggal di Pandu Galuh.
Tetapi kini datang lagi persoalan baru. Pemuda berbaju rompi putih yang telah menyelamatkan Patih Kusuma itu secara tidak langsung menjadi ancaman. Terutama jika Patih Kusuma membeberkan seluruh peristiwa yang terjadi di Pandu Galuh. Mau tidak mau, demi mempertahankan tahta yang telah didudukinya selama ini. Raja ini harus bersikap waspada.

192. Pendekar Rajawali Sakti : Pusaka Lidah SetanTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang