BAGIAN 7

112 8 0
                                    

7
Pendekar Rajawali Sakti yang memang tidak ingin main keroyok, memberi kesempatan pada Candra Kirana untuk maju menghadapi Gusti Prabu. Maka, Malim Janaka yang memang menaruh kemarahan tersendiri, tidak memberi kesempatan lagi. Tubuhnya langsung meluncur deras dengan kedua tangan terjulur ke arah kepala Gusti Prabu Antasena.
Tentu saja Gusti Prabu Antasena tidak membiarkan kepalanya menjadi sasaran. Cepat dia merunduk. Tapi walau serangannya luput, tangan lain milik tokoh jenaka itu melakukan serangan susulan. Dengan cepat Gusti Prabu Antasena menjatuhkan diri dan terus berguling-guling, disertai makian panjang pendek.
"Ufs...!"
"Heaaa...!"
Sambil berteriak keras, Malim Janaka tiba-tiba saja merubah jurus-jurus silatnya. Tubuhnya terhuyung ke kiri dan ke kanan. Sedangkan kakinya terus bergerak lincah. Didahului tawa aneh, tiba-tiba tubuhnya melenting ke udara. Dalam keadaan berjumpalitan itu, tiba-tiba Candra Kirana mendorongkan kedua tangannya ke arah Gusti Prabu Antasena.
"Wusss...!"
Segulung angin berhawa panas kontan menghantam raja lalim itu. Dan....
Blarrr!
"Wuaagkh!"
Laki-laki setengah baya itu jatuh terguling-guling. Tetapi anehnya, tubuhnya tidak mengalami luka sedikit pun. Padahal pukulan yang menghantamnya tadi termasuk pukulan sangat berbahaya, mengandung tenaga dalam tinggi. Jika orang biasa yang terkena pukulan tadi, mungkin sudah binasa. Kini mengertilah Malim Janaka kalau yang membuat kebal raja lalim itu adalah senjata Pusaka Lidah Setan!
Sementara itu Gusti Prabu Antasena sendiri menjadi marah bukan main. Segera pedangnya dicabut. Tampaknya jurus-jurus pedangnya yang cukup handal memang sengaja ingin ditujukannya.
"Heaaa...!"
Disertai teriakan keras, Gusti Prabu Antasena meluruk kedepan. Senjatanya meluncur deras menusuk pada bagian leher. Namun kakek bercaping yang jadi sasaran cepat menggeser tubuhnya ke samping. Maka senjata itu hanya lewat di depan hidung saja.
Pada saat itu, Malim Janaka melihat kesempatan cukup baik. Tanpa membuang waktu lagi, tangan kanannya menghantam dada Gusti Prabu Antasena.
Buk!
"Hugkh!"
Sekali lagi pukulan Candra Kirana menghantam telak dada Gusti Prabu Antasena. Sambil mengeluh untuk kedua kalinya, laki-laki setengah baya itu jatuh terguling-guling. Anehnya, sama sekali tidak mengalami luka sedikit pun. Malah kini keanehan terjadi. Begitu Gusti Prabu Antasena meraba pinggangnya, tiba-tiba saja tubuhnya menjadi dua. Seterusnya, menjadi tiga, empat, sampai akhirnya telah berubah menjadi enam orang.
Perubahan itu semula hanya seperti bayangan semu tembus pandang. Sosok dan penampilannya, mirip dengan Gusti Prabu Antasena. Bagaikan saudara kembar. Dan lama kelamaan, bayangan semua tembus pandang itu berubah menjadi jasad kasar.
Malim Janaka sempat kaget juga melihat kenyataan ini. Tetapi segera disadari kalau semua itu karena Pusaka Lidah Setan. Mau tak mau, Malim Janaka sekarang harus mencari Gusti Prabu Antasena yang sebenarnya. Ini termasuk pilihan sulit. Karena seluruh tenaga dan pikirannya harus dipusatkan. Sementara, Gusti Prabu Antasena dengan lima kembarannya telah menyerangnya dari empat penjuru arah.
"Kau segera mati ditanganku! Hiyaaa...!" teriak Gusti Prabu Antasena nyaring.
Pedang di tangan enam Gusti Prabu Antasena menderu-deru cepat. Mendapat serangan dari enam penjuru, Malim Janaka segera melemparkan caping bambunya.
Wuuut!
Senjata andalan itu langsung meluncur kearah sasaran. Gusti Prabu Antasena dan kembarannya tampak terkesiap. Namun setelah itu salah seorang langsung menyambut luncuran caping dengan pedangnya.
Trak!
"Heh...?!" Gusti Prabu Antasena terkejut. Karena ternyata senjata yang terkandung dalam luncuran caping sangat besar, sehingga membuat tangannya bergetar dan kesemutan. Tetapi rupanya Gusti Prabu Antasena tidak ingin mengulur-ulur waktu lagi.
Tiba-tiba saja dicabutnya Pusaka Lidah Setan dari pinggangnya. Namun, daim-diam dia terkejut juga ketika teringat kalau salah satu senjata itu tertinggal di kamar permaisurinya. Dengan Pusaka Lidah Setan berada di tangannya, maka sekarang sosok-sosok Gusti Prabu Antasena menyatu kembali.
"Aku tidak mungkin unggul menghadapi bangsat ini. Pusaka Lidah Setan adalah senjata yang tidak dapat dianggap main-main," gumam Malim Janaka.
Apa yang dipikirkan Malim Janaka segera menjadi kenyataan. Saat Gusti Prabu Antasena mengacungkan Pusaka Lidah Setan, maka kilatan api langsung melesat dari ujung pusaka berbentuk mata tombak itu. Cahaya merah membara itu menyambar Malim Janaka.
"Heaaa...!" teriak Malim Janaka, seraya menggunakan aji 'Pancasona' dengan mendorongkan tangannya ke depan. Kakek berperut bundar ini terpaksa pergunakan pukulan andalannya.
Glarrr!
"Aaagkh...!" Malim Janaka menjerit kesakitan. Aji Pancasona yang dilepaskannya ternyata tergulung kekuatan dahsyat yang keluar dari Pusaka Lidah Setan.
Bayangkan! Kakek bercaping bambu yang memiliki kesaktian tinggi ini tidak mampu membendung kedahsyatan pusaka itu. Ini merupakan pertanda kalau pusaka di tangan Gusti Prabu Antasena benar-benar hebat!
Candra Kirana yang berasal dari Lembah Tengkorak jatuh terguling-guling sambil muntahkan darah kental. Sedangkan Rangga yang baru saja bicara dengan Patih Kusuma, segera menerima pemberian Pusaka Lidah Setan yang satunya lagi dari Permaisuri Dewi Trijata.
Saat Gusti Prabu Antasena bermaksud membunuh Malim Janaka itulah Pendekar Rajawali Sakti bertindak. Tubuhnya seketika meluruk deras ke arah cahaya merah yang meluncur deras menuju Malim Janaka, seraya menghentakkan kedua tangannya.
"Heaaa...!" Saat itu juga meluruk segelombang angin topan memapak luncuran lidah api yang berwarna merah membara dari jurus aji 'Bayu Bajra'. Akibatnya....
Blarrr!
"Heh...!" Pendekar Rajawali Sakti terkejut. Tanpa dapat dicegah lagi, tubuhnya terguling-guling. Dari sudut-sudut bibirnya meneteskan darah kental. Jelas, Rangga menderita luka dalam. Segera dia mengambil sikap semadi, mengerahkan hawa murni untuk menyembuhkan luka yang diderita.
Pada saat itu pula Gusti Prabu Antasena mengacungkan kembali Pusaka Lidah Setan ke arah Rangga. Secepatnya Pendekar Rajawali Sakti bangkit, dan kembali menjatuhkan diri untuk menghindari serangan maut itu.
Namun, jilatan-jilatan api terus mengejar-ngejar Pendekar Rajawali Sakti. Rangga bergerak bangkit dengan cepat. Tubuhnya segera meliuk-liuk menghindarinya. Namun akhirnya Rangga terpaksa berjumpalitan sambil mengerahkan jurus 'Pukulan Maut Paruh Rajawali'.
"Hiyaaa...!" Tangan Rangga yang telah berubah memerah itu dikibaskan ke depan. Seketika sinar merah melesat, memapak sinar merah dari Pusaka Lidah Setan.
Blarrr...!
Benturan keras terdengar, ketika dua kekuatan besar bertemu pada satu titik. Sementara, Rangga kembali terlempar. Sedangkan Gusti Prabu Antasena terus menyerangnya tanpa ampun. Keselamatan Rangga benar-benar terancam. Namun pada saat yang menegangkan, Pendekar Rajawali Sakti mencabut senjata yang sama pemberian Permaisuri Dewi Trijata.
Senjata Lidah Setan ditangan Pendekar Rajawali Sakti langsung diacungkan ke arah Gusti Prabu Antasena. Tidak bisa dicegah lagi, jilatan lidah api meluruk deras memapak kilatan lidah api dari Pusaka Lidah Setan di tangan Gusti Prabu Antasena.
Blarrr!
"Aaa...!" Gusti Prabu Antasena menjerit keras ketika dua kekuatan yang sama bertemu. Tubuhnya terpelanting. Sedangkan Pusaka Lidah Setan di tangannya terpental cukup jauh. Jelaslah, dengan senjata pusaka itu pula Gusti Prabu Antasena ternyata dapat dilukai.
Rangga tidak menyia-nyiakan waktu lagi. Pedangnya segera dicabut, seketika tubuhnya meluncur deras kearah Gusti Prabu Antasena dengan pedang yang bersinar biru berkilauan dikelebatkan.
Sementara, Penguasa Kerajaan Pandu Galuh itu berusaha meraih senjatanya yang terlempar. Tetapi luncuran Pedang Pusaka Rajawali Sakti ternyata jauh lebih cepat dari gerakannya. Dan...
Cras!
"Hugkh...!" Mata Gusti Prabu Antasena kontan melotot disertai keluhan tertahan. Tangannya berusaha menggapai pedang yang menembus dadanya. Namun gerakannya hanya membuat darah semakin banyak mengucur dari lukanya. Begitu Rangga mencabut senjatanya, nyawa Gusti Prabu Antasena telah melayang.
"Horeee...!"
Suara sorak-sorai terdengar dari prajurit-prajurit maupun perwira tinggi kerajaan yang masih tetap setia pada Patih Kusuma dan mendiang Gusti Prabu Siwanada. Mereka merasa bebas dari belenggu ketakutan yang menekan selama ini.
Sementara itu, Rangga sudah memungut Pusaka Lidah Setan yang telah dipergunakan Gusti Prabu Antasena tadi.
"Hei..., Pendekar Rajawali Sakti! Kedua senjata itu jangan kau simpan. Aku harus membawanya kembali ke Lembah Tengkorak, bersama dua momonganku!"
Pada saat yang bersamaan terdengar suara seruan Malim Janaka. Rangga tersenyum. Sedangkan Patih Kusuma maupun Permaisuri Dewi Trijata tampak kaget. Mereka tidak menyangka kalau pemuda rompi putih yang bernama Rangga itu tidak lain dari Pendekar Rajawali Sakti.
"Jangan khawatir, Kek. Aku tidak butuh pusaka yang menjadikan malapetaka ini. Aku tetap akan menyerahkannya padamu. Tapi nanti setelah aku bicara dengan Patih Kusuma!" sahut Rangga, tegas.
"Sebaiknya kakek gendut dan Rangga masuk dulu ke tempat pertemuan. Kalian adalah tamu-tamu yang paling kami hormati!" serobot Patih Kusuma yang diikuti anggukan setuju Permaisuri Dewi Trijata.
"Hohoho...! Kalau menyangkut soal makanan, aku setuju saja. Apalagi ada arak wanginya," sahut Malim Janaka sambil menelan ludah.
Pendekar Rajawali Sakti, Malim Janaka, Patih Kusuma, dan Permaisuri Dewi Trijata berkumpul di dalam ruangan pertemuan. Berbagai jenis hidangan tersedia untuk memeriahkan rasa syukur atas keberhasilan mereka menegakkan keadilan kembali di Kerajaan Pandu Galuh. Malim Janaka bagai tidak mengenal rasa kenyang terus melahap semua jenis hidangan. Sedangkan Pendekar Rajawali Sakti memperhatikan sambil tersenyum-senyum.
"Ayo, Rangga! Tunggu apa lagi? Semua hidangan ini khusus untuk orang yang hidup. Sedangkan yang bosan hidup seperti si Antasena itu, memang tidak suka lagi makanan enak! Ayo..., sikat saja...!" ujar Malim Janaka, sehingga membuat Permasuri Dewi Trijata tersenyum.
"Kami pihak kerajaan merasa berterima kasih pada Pendekar Rajawali Sakti dan pada Kakek Malim Janaka. Tanpa bantuan kalian semua, kerajaan ini pasti akan hancur. Syukurlah keadilan dapat ditegakkan kembali. Kalau bersedia, kau bisa menjadi panglima perang disini, Rangga...!" ucap Permaisuri Dewi Trijata penuh harap.
Pendekar Rajawali Sakti terkesiap. Sama sekali tidak disangka kalau permaisuri ini memberi keputusan seperti itu.
"Maaf, Gusti Ratu. Hamba bukan bermaksud menolak jabatan terhormat itu. Tapi begitu banyak tugas yang harus diselesaikan di rimba persilatan. Gusti Ratu dan Paman Patih Kusuma tentu dapat mengembalikan kepercayaan rakyat yang hampir musnah, sekaligus membangun kerajaan ini!" tolak Rangga, halus. "Hamba yakin, semuanya akan kembali seperti sediakala."
"Betul," sahut Malim Janaka, "Lagi pula, Patih Kusuma dengan mendiang raja masih bersaudara. Tidak ada salahnya jika ada kecocokan, patih mendampingi Gusti Ratu menjadi pasangan. Bukan begitu, Rangga...?" saran kakek berbadan besar ini.
Permaisuri Dewi Trijata menundukkan kepala. Sedangkan Patih Kusuma tampak merah wajahnya. Sementara, Malim Janaka mengusap-usap perutnya yang kekenyangan.
"Urusan hati, kita serahkan pada yang bersangkutan," Rangga menengahi. "Hamba yakin, semuanya dapat diselesaikan dengan baik. Dengan begitu urusan kerajaan sudah selesai. Sekarang, hamba harus menyelesaikan apa yang menjadi tugas Kakek Malim Janaka. Boma dan Pedut Ireng harus ditangkap untuk dikembalikan kepenjara kutukan di Lembah Tengkorak."
"Betul! Tapi serahkan dulu Pusaka Lidah Setan padakku. Hanya dengan pusaka itu, mereka pasti takut, dan membuat mereka binasa," pinta Malim Janaka.
"Jangan takut. Ini kukembalikan padamu, Kek!" ujar Rangga sambil menjulurkan tangannya.
Candra Kirana menerima kedua senjata pusaka ini, lalu menyelipkannya di balik pinggang.
"Secepat itukah kalian hendak pergi?" tanya Permaisuri Dewi Trijata keberatan.
"Bukankah semua urusan harus segera diselesaikan, Gusti Ratu? Lagi pula kedua titisan iblis itu harus cepat ditangkap. Aku takut guruku marah-marah nanti!" sahut Malim Janaka.
"Kalau kalian butuh pasukan, aku bisa membawa beberapa prajurit untuk membantu!" Patih Kusuma mengajukan tawaran.
"Tidak! Terima kasih, Paman. Biarkan urusan ini kami yang akan menyelesaikannya berdua. Kami mohon diri!" pamit Rangga.

***

Rangga dan Candra Kirana terus menelusuri jalan pintas menuju tempat persembunyian Pedut Ireng. Menjelang senja, barulah mereka berdua sampai di tempat tujuan. Namun, rumah besar itu tampak lebih sunyi dari biasanya.
"Kakek yakin dia bersembunyi di rumah ini?" tanya Rangga perlahan.
"Hohoho...! Aku yakin, seyakin-yakinnya. Bau mereka saja masih tercium olehku...!" jawab Candra Kirana, enteng.
"Bagaimana bau Pedut Ireng itu, Kek?" pancing Rangga.
"Baunya? Hmm.... Seperti bau api neraka. Hahaha...!" sahut kakek berperut buncit disertai tawa.
"Kalau begitu, Kakek pernah pergi ke neraka. Bagaimana keadaan di sana?" tanya Rangga berkelakar.
"Pokoknya serba sedih dan mengerikan. Aku memang pernah datang ke sana. Tapi baru dalam mimpi saja," sahut Candra Kirana, seenaknya.
Rangga terdiam. Sikapnya kembali bersungguh-sungguh. Diperhatikannya bangunan sederhana didepannya. Naluri kependekarannya mengatakan, ada yang memperhatikan kehadiran mereka sejak tadi.
"Perintahkan pada tahanan itu untuk menyerahkan diri, Kek!" seru Rangga.
"Kusarankan, kau saja yang masuk ke dalam. Atau kalau perlu, kita masuk bersama-sama," usul Candra Kirana.
"Mari!" sahut Pendekar Rajawali Sakti, langsung menyetujui.
Selanjutnya mereka berdua menghampiri pintu didepan. Ketika Rangga mendorong pintu sampai terbuka, tiba-tiba....
"Graungrr...!"
Terdengar suara menggeram disertai berkelebatnya sesosok tubuh berkepala botak. Sosok berpakaian hitam ini langsung melepaskan sebuah pukulan ke arah mereka berdua.
"Uts...!" Untung Rangga dan Candra Kirana telah bersikap siaga sejak semula. Mereka melompat ke kiri dan kanan dengan gerakan indah, sehingga berhasil menghindari serangan sosok bertubuh tinggi besar bagai raksasa, kaki tangan Pedut Ireng.
Kini baru terlihat jelas rupa sosok raksasa ini. Wajahnya kasar dengan hidung lebar. Mulutnya pun lebar, dengan taring pada sudut bibirnya. Matanya bulat nyalang, menyorot tajam.
"Graunggrrr...!"
"Tidak ada gunanya kau melawan kami! Suruh keluar Pedut Ireng untuk dibawa kembali ke Lembah Tengkorak!" perintah Pendekar Rajawali Sakti.
Perintah pemuda berbaju rompi putih tersebut sama sekali tidak ditanggapi sosok raksasa berwajah mengerikan. Malah tubuhnya meluruk ke depan menyerang Rangga. Pemuda ini tidak tinggal diam ketika merasakan sambaran tangan laki-laki tinggi besar berkepala botak itu. Segera dipasangnya kuda-kuda, lalu membuat gerakan-gerakan aneh. Badannya condong ke kiri, dan condong ke kanan. Lalu tubuhnya berputar.
Begitu serangan raksasa ini lewat, Rangga meluncurkan kakinya begitu cepat, sehingga tidak dapat dihentikan lagi. Tidak ampun lagi....
Duk!
"Wuaaakh...!"
Tubuh raksasa itu jatuh berdebum disertai erangan keras. Tetapi tendangan Rangga yang mengandung tenaga dalam tinggi tadi tidak berakibat apa-apa bagi sosok mengerikan ini. Bahkan langsung bangkit berdiri.
"Graungggrrr...!"
Disertai teriakan marah, raksasa itu membalas serangan dengan tidak kalah hebatnya. Pemuda berbaju rompi putih segera mempergunakan jurus 'Sembilan Langkah Ajaib' untuk mengelakkan serangan. Sedangkan Malim Janaka yang mengawasi perkelahian seru bertepuk tangan.
"Pukul anunya, Rangga! Kelemahannya terletak di anunya itu! Kalau tidak, kau bisa hancur diinjak-injaknya...!" teriak Malim Janaka, memberi petunjuk.
"Tenang saja, Kek!" sahut Rangga.
Rangga tiba-tiba saja meluruk. Tangannya meluncur deras ke bagian terlarang dan juga ke wajah. Tetapi raksasa itu sekarang membuat gerakan-gerakan kacau. Tangan kanannya terpentang ke depan.
"Heaaa...!" teriak raksasa itu seraya menghantamkan tangannya menggunakan pukulan Geledek.
Demikian cepat serangan itu, membuat Rangga sedikit terkejut. Namun secepat kilat dia berusaha menghindar ke samping. Akan tetapi hawa dingin tetap menyambar sebagian kakinya.
Blarrr!
"Oh...!" Rangga jatuh terguling-guling. Kakinya terasa membeku. Dengan terpincang-pincang, pemuda berompi putih ini bangkit berdiri. Namun belum lagi siap dengan kuda-kudanya, raksasa itu telah menyerangnya kembali penuh nafsu.
Pendekar Rajawali Sakti tidak tinggal diam. Segera dikerahkannya jurus 'Seribu Rajawali'. Rangga seketika berkelebat sedemikian cepatnya, mengitari raksasa itu. Gerakan yang sangat gesit ini, membuat tubuhnya tampak berubah banyak.
Sehingga, membingungkan lawannya. Namun tidak kalah cepatnya, raksasa itu melepaskan serangan bertubi-tubi dengan menghentakkan tangannya. Tapi serangannya tetap mengenai tempat kosong. Sementara Kirana tampak melonjak kegirangan.
"Bagus! Gajah bengkak berkepala gundul mulai bingung, Rangga!" kelakar Malim Janaka.
Rangga sama sekali tidak menghiraukan ocehan kakek itu. Tubuhnya terus berputar-putar beberapa kali. Dan mendadak kakinya meluncur ke selangkangan. Sedangkan tangannya menghantam ke wajah.
Wuttt!
Serangan cepat ini membuat bingung. Namun raksasa itu mencoba melompat mundur, sambil menarik wajahnya ke belakang. Wajahnya yang bundar memang dapat diselamatkan dari kehancuran. Namun luncuran kaki Rangga tidak dapat dicegah lagi. Sehingga....
Jrottt!
"Auaaa...!"
Disertai jerit kesakitan, raksasa tangan kanan Pedut ireng jatuh terguling-guling. Tubuhnya berkelojotan seperti orang kesetanan. Apa yang dikatakan Candra Kirana memang benar. Setelah bagian rahasianya hancur, raksasa ini meregang nyawa.
"Hohoho...! Betul, bolanya pecah. Nyawanya di situ. Dan sekarang dia telah mati. Pekerjaan yang bagus, Rangga," puji Candra Kirana disertai tawa.

***

192. Pendekar Rajawali Sakti : Pusaka Lidah SetanTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang