BAGIAN 8

130 9 0
                                    

"Heh...?!"
Tawa Malim Janaka seketika lenyap, berganti keterkejutan, saat terdengar deru angin topan dari dalam rumah. Candra Kirana memberi isyarat pada Rangga untuk mundur.
Selanjutnya, terdengar suara langkah-langkah kaki menggetarkan tanah yang dipijak. Tak lama, di ambang pintu muncul sosok berbulu hitam. Wujudnya sepintas lalu memang sangat mirip monyet raksasa. Begitu besar dan tinggi.
Rupanya angin yang menderu-deru tadi berasal dari mulut sosok setengah binatang dan setengah manusia ini. Mulut makhluk berbulu hitam ini kembali membulat. Dan....
"Puuuh...!"
Pendekar Rajawali Sakti bergetar tubuhnya, ketika gelombang angin keras yang keluar dari mulut makhluk itu, menghantam dirinya. Untung Rangga sudah mengerahkan tenaga dalam ke bagian kakinya. Sehingga sepasang kakinya seperti terpantek ke bumi.
Sementara Malim Janaka tertawa-tawa sambil mengusap perutnya yang bundar. Caping bambunya telah melayang jatuh, sehingga rambutnya yang putih berkibar-kibar ditiup angin. Rangga menyadari, sesungguhnya Candra Kirana mengerahkan tenaga dalam juga untuk melindungi diri.
"Hentikan permainanmu ini, Pedut Ireng! Aku datang menagih janji. Sudah kubawa pula rantai neraka untuk membelenggumu. Bagaimana? Apakah kau sudah bersedia pulang bersamaku ke Lembah Tengkorak?" tanya Candra Kirana tegas.
Manusia berwujud monyet raksasa yang ternyata Pedut Ireng ini tidak segera menjawab, melainkan memperhatikan pemuda berompi putih yang telah membunuh raksasa peliharaannya. Kemudian tatapannya beralih pada Candra Kirana. Matanya yang merah memandang penuh murka.
"Aku merasa senang tinggal di dunia bebas! Lembah Tengkorak tidak beda dengan penjara neraka bagiku!" dengus Pedut Ireng, tidak suka.
"Kau di sana hanya untuk menjalani hukuman kutukan. Setelah itu berlalu, kau bebas pergi ke mana saja. Percayalah! Guru memilihkan yang terbaik buatmu!" bujuk Candra Kirana.
"Siapa tahan? Serigala Putih saja tidak tahan. Lagi pula, kesalahanku tidak besar. Salahkah aku jika ingin punya pasukan yang hebat? Coba katakan sejujurnya, Kakang Candra Kirana!" tukas Pedut Ireng tidak sabar.
"Tentu tidak salah. Tapi kau harus menjalani apa yang menjadi kewajibanmu dulu!" tegas Candra Kirana.
"Betul. Kau harus menjalani apa yang menjadi hukumanmu," Rangga ikut menimpali.
"Diam kau! Aku tidak ada urusan denganmu!" dengus Pedut Ireng marah. Rangga tersenyum dingin.
"Akan menjadi urusanku jika kau tidak menuruti perintah kakek gendut ini!"
"Kalau begitu, aku memilih tidak patuh pada siapa pun! Ilmu olah kanuraganku juga tinggi. Kakang Candra Kirana pasti tidak mampu menangkapku!" teriak Pedut Ireng, tanpa mengenal rasa takut.
"Bagaimana kalau aku mempergunakan Lidah Setan? Apakah ini bukan jalan kematian bagimu?" desis Candra Kirana setengah mengancam.
Pedut Ireng memang sempat tertegun. Tapi walaupun otaknya tidak begitu cerdas, namun dia ingat kalau Pusaka Lidah Setan sekarang sedang dipinjam Antasena. Jadi mustahil Candra Kirana punya dua senjata yang sama.
"Kau hanya bergurau, Kakang. Lidah Setan hanya milik titisan iblis seperti kami. Dan kami tahu, di mana pusaka-pusaka itu sekarang berada. Manusia sejati memang selalu berbohong! Kubunuh kalian berdua!" teriak Pedut Ireng gusar, seraya meluruk dengan serangan dahsyat.
Pendekar Rajawali Sakti mencoba menghadang serangan Pedut Ireng yang ganas. Namun Candra Kirana cepat menahan Rangga agar mundur.
"Sekarang giliranku, Rangga. Kau hanya boleh membantu jika aku benar-benar terdesak!"
Rangga terpaksa melompat mundur. Sedangkan perkelahian sengit mulai berlangsung.
"Kau akan menjadi gading busuk kalau tidak suka menurut perintahku! Heaaa...!" seru Candra Kirana.
"Hhhrrrt!" Pedut Ireng menggeram. Mulutnya menggembung. Sedangkan bibirnya membentuk bulatan. Lalu....
"Puuuh!"
Dari mulut Pedut Ireng menyembur hawa panas menyengat, meluruk deras ke tubuh Candra Kirana. Bukan main cepat luncuran serangan itu. Namun tidak kalah cepatnya Candra Kirana langsung berjumpalitan menghindarinya.
Serangan makhluk berwujud menyeramkan ini luput. Namun di dalam kesempatan lain, tiba-tiba kedua tangannya mendorong ke arah Candra Kirana.
Wusss...!
Segulung angin berhawa dingin meluncur deras ke arah Malim Janaka. Kali ini kakek bercaping bambu ini tidak tinggal diam. Cepat tangannya mengibas ke arah gundukan angin yang menyerangnya.
Wusss!
Sungguh aneh! Serangan balasan yang dilancarkan Candra Kirana seperti mengenai ruangan kosong. Sebaliknya, segulung angin milik Pedut Ireng terus meluncur dan membungkus Candra Kirana.
Rangga jelas dapat melihat kakek berperut bundar itu berusaha membebaskan diri dari kepungan api yang mengurungnya. Tampaknya usaha itu mengalami kesulitan.
Sementara, Pedut Ireng telah bersiap-siap membunuhnya. Pedut Ireng mengangkat tangannya tinggi-tinggi. Kedua tangannya yang berwarna hitam semakin berubah hitam saat mengerahkan tenaga dalamnya.
Melihat bahaya yang mengancam, Pendekar Rajawali Sakti tidak dapat diam lebih lama. Tubuhnya meluruk deras ke depan dengan kedua tangan menghentak.
"Hiyaaa...!"
"Wuaaagkh...!"
Sungguh tidak disangka. Aji 'Bayu Bajra yang dilepaskan Rangga hanya membuat Pedut Ireng jatuh terguling-guling saja. Rangga memperbaiki sikap kuda-kudanya. Sebelum Pedut Ireng sempat berdiri, Pendekar Rajawali Sakti melompat mendekati Candra Kirana. Namun, orang yang baru saja hendak ditolongnya telah berhasil membuyarkan kabut yang membungkusnya.
"Bagaimana keadaanmu, Kek?" tanya Rangga perlahan, begitu berada di samping Malim Janaka.
"Hampir mampus!" sahut Candra Kirana dengan napas megap-megap.
"Kalaupun Pedut Ireng dapat kau lukai, dia bukan manusia sewajarnya, Rangga. Dia tidak pernah mati, walaupun tubuhnya ditusuk seribu kali. Aku baru ingat untuk mempergunakan Lidah Setan, senjata pamungkas pemiliknya sendiri!"
"Kalau begitu, jangan mengulur-ulur waktu, Kek," sahut Rangga.
Candra Kirana mengangguk perlahan. Kini kakek berperut bundar ini memasang kuda-kuda, seakan bersiap-siap melakukan serangan balasan. Kedua tangannya meraba bagian pinggang.
"Pedut Ireng! Jika kau tidak menginginkan kebinasaanmu sendiri, kuperingatkan padamu untuk menyerah. Pusaka Lidah Setan milikmu dan milik Serigala Putih sekarang berada ditanganku...!" teriak Malim Janaka memperingatkan.
"Siapa yang percaya ucapanmu, Kakang?! Kalau senjataku ada padamu, mengapa sejak tadi tidak dikeluarkan untuk menghadapi aku?" Tanya Pedut Ireng tidak percaya.
"Aku lupa...," sahut Candra Kirana apa adanya.
"Nyawa sudah hampir sampai di tenggorokan, masa kau lupa?" dengus makhluk berwujud monyet ini mengejek.
"Baru sekarang aku akan mempergunakannya untuk menghancurkan dirimu, jika tidak menuruti apa kataku!" ancam Malim Janaka.
Tentu saja Pedut Ireng menyangka apa yang dikatakan Candra Kirana hanya omong kosong saja. Sehingga hanya menganggap remeh. Pedut Ireng yang setengah manusia nekat hendak menyerang Candra Kirana. Namun, tiba-tiba Malim Janaka telah mencabut dua Pusaka Lidah Setan sekaligus yang langsung disilangkan di depan dada. Sehingga, memancarkan cahaya berwarna merah.
Pedut Ireng langsung menutupi matanya. Tampaknya, dia tidak tahan melihat pancaran cahaya di tangan Candra Kirana yang sebenarnya merupakan senjatanya sendiri. Padahal bila berada di tangannya sendiri, pusaka itu bagai saudara kandungnya!
"Ampun.... wuaah..., tobat! Hentikan! Aku tidak sanggup! Ampun!" teriak Pedut Ireng seperti orang kesakitan.
"Kau masih belum percaya juga padaku, Pedut Ireng?" tanya Malim Janaka.
"Sekarang, aku percaya!" sahut Pedut Ireng.
"Nah, merangkaklah ke depanku. Tanganmu harus diikat dengan rantai neraka...!" perintah Malim Janaka tegas.
Pedut Ireng tampak ragu-ragu. Jika telah diikat rantai tersebut, berarti tidak ada kesempatan baginya dapat berkeliaran bebas lagi seperti hari-hari yang lalu.
"Mengapa kau tidak segera melakukannya, Titisan Iblis! Apakah kau lebih memilih kebebasanmu?" desak Malim Janaka.
"Rasanya tidak adil jika aku saja yang dibawa kembali ke penjara kutukan. Aku tidak terima!" sergah Pedut Ireng.
"Kau merasa iri.... aku tahu itu. Tapi jangan khawatir. Boma juga akan mendapat giliran!"
Pedut Ireng memang tidak punya pilihan lain, jika tidak ingin binasa oleh senjatanya sendiri. Dia memang harus merelakan kedua tangannya diikat rantai neraka. Dengan agak ragu-ragu, Pedut Ireng mendekati Malim Janaka. Kakek berperut bundar ini menyimpan senjatanya lagi. Lalu diambilnya salah satu rantai yang tersampir di bahunya. Dengan rantai itu pula, tangan Pedut Ireng diikat ke belakang.
"Sekarang kita tinggal mencari Boma, Rangga. Apakah kau tidak keberatan membantuku sekali lagi?" pinta Malim Janaka.
"Aku tentu saja bersedia, Kek. Tapi apakah Pedut Ireng harus dibawa serta?" tukas Rangga.
"Tentu saja. Aku tidak ingin dia melarikan diri. Rasanya aku sudah ingin cepat-cepat kembali ke Lembah Tengkorak. Terlambat sedikit, guruku yang berjuluk Dewa Langit bisa mengemplang kepalaku!" gerutu kakek bercaping bambu ini sambil menyeret rantai baja yang dipergunakan untuk mengikat makhluk titisan iblis bernama Pedut Ireng.

192. Pendekar Rajawali Sakti : Pusaka Lidah SetanTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang