BAGIAN 2

147 9 0
                                    

Seorang laki-laki tua bertopi caping berjalan santai di jalan utama menuju kota Kerajaan Pandu Galuh. Umurnya kira-kira sudah delapan puluh tahun. Wajahnya bulat. Rambutnya putih. Perutnya besar, cocok dengan badannya yang tegap tinggi. Bibirnya selalu tersenyum dengan mata bulat, penampilannya jadi terkesan lucu.
Di bahu laki-laki tua berperut besar ini tersampir dua buah rantai baja yang selalu bergemerincingan. Satu hal yang menjadi kebiasaannya, dia selalu mengusap-usap perutnya yang bundar. Udara terasa penat siang ini. Kegersangan disekelilingnya membuat laki-laki tua itu cepat bosan. Untuk menghilangkan kebosanan, mulutnya mendendangkan tembang dengan kacau dan tidak sedap didengar. Baru beberapa kejap kakek gendut ini menembang....
"Berhenti...!"
Terdengar bentakan keras yang disusul munculnya beberapa sosok tubuh dari kiri dan kanan jalan yang ditumbuhi semak. Namun kakek gendut itu bersikap acuh. Dia terus saja menembang tanpa menghentikan langkahnya. Seorang laki-laki berbaju hitam yang agaknya jadi pemimpin melompat ketengah jalan.
"Berhenti kataku!" bentak laki-laki berbaju hitam ini marah.
Kakek perut gendut ini menghentikan langkahnya dengan kening berkerut. Diperhatikannya orang di depan dengan bibir tetap menghiaskan senyum.
"Siapa kau? Mengapa lancang benar menghentikan langkah si Candra Kirana...?" tanya kakek gendut yang mengaku bernama Candra Kirana tidak senang.
"Hahaha...! Orang tua berperut besar! Kalau kau mau tahu, akulah Kaswa Tama, Ketua Gerombolan Singo Garong," jelas laki-laki berbaju hitam yang tak lain Kaswa Tama.
"O, hanya tikus comberan yang kuhadapi. Kukira kau raja yang patut kuhormati. Tidak tahunya hanya maling pasar yang berani mementang kumis di depan Candra Kirana! Hohoho...! Mimpi apa kau semalam? Apa yang dapat kuberikan padamu, Singo?" tukas Candra Kirana, masih tetap tersenyum.
"Jika kau bermaksud ke kotaraja, sebaiknya tinggalkan barang berharga pada ketua kami. Dengan demikian, keselamatanmu dijamin..." ujar salah seorang anak buah Kaswa Tama.
"Begitu?" tukas Candra Kirana sambil tetap mengumbar senyum.
"Ya...! Hanya itu satu-satunya cara jika perjalananmu tak ingin terganggu!" tegas Kaswa Tama.
"Aku tahu, kalian adalah pemeras tengik. Kalau kalian punya satu cara, maka aku punya banyak cara untuk menyingkirkan kalian! Cepat enyahlah! Aku tidak punya barang apa-apa, kecuali pakaian yang melekat di badanku. Juga rantai baja yang pasti kalian tidak menyukainya!" ujar Candra Kirana, tegas.
Merasa disepelekan, Kaswa Tama kontan melotot dengan gigi bergemelutuk. Amarahnya telah naik sampai ubun-ubun. Segera diberinya isyarat pada kedua anak buahnya untuk melakukan penggeledahan. Dengan patuh pula dua dari kelima anggota Gerombolan Singo Garong bermaksud melakukan pemeriksaan.
Namun mana sudi Candra Kirana diperlakukan begitu rupa? Saat tangan kedua pemuda anak buah Kaswa Tama mulai memeriksa, dengan gerakan cepat luar biasa kedua tangannya mengibas.
Plak! Plak!
"Wuaagkh...!"
Kedua pemuda itu kontan menjerit keras dan melompat ke belakang sejauh dua tombak. Mereka segera memeriksa tangan masing-masing.
"Tanganku...!" pekik keduanya hampir bersamaan. Ternyata kedua tangan mereka tak bisa digerakkan lagi. Tulang mereka hancur. Kejadian yang berlangsung singkat ini tentu saja sangat sulit dipercaya Kaswa Tama.
"Kurang ajar! Kau telah membuat cedera kawan-kawanku, Keparat!" maki Ketua Gerombolan Singo Garong dengan mata melotot.
"Siapa berani mendekat, berarti cari penyakit Kalian manusia kurang ajar yang tidak tahu bagaimana menghormati orang tua sepertiku...!" balas Candra Kirana seenaknya.
"Gendut gila! Bunuh dia...!" teriak Kaswa Tama, sambil memberi aba-aba pada anak buahnya.
Serentak tiga anggota Gerombolan Singo Garong menyerbu. Berbagai macam senjata segera menghujani Candra Kirana. Namun kakek berperut gendut ini melayani serangan sambil tertawa-tawa.
"Hiyaaa...!"
Wut!
Tiga buah senjata meluncur deras ke arah Candra Kirana. Dengan gerakan ringan sekali, kakek berperut gendut melenting ke udara seraya berjumpalitan. Maka, senjata-senjata itu hanya membabat angin kosong setengah jengkal di bawah kaki. Ketika meluncur deras ke bawah, tangan kakek berperut gendut ini menjulur ke bagian kepala salah seorang pengeroyok. Dan....
Prak!
"Aaa...!" Seorang anggota Gerombolan Singo Garong ini menjerit keras.Tubuhnya terpelanting, dan roboh ke tanah dengan kepala pecah mengucurkan darah.
"Hohoho...! Siapa yang sudah bosan hidup, cepat maju! Malim Janaka dengan senang hati bersedia mengirim kalian ke lubang kubur!" ejek Candra Kirana yang ternyata berjuluk Malim Janaka ini sambil tertawa-tawa.
Tangan anak buahnya dibuat remuk saja Kaswa Tama marahnya bukan main, apalagi sekarang melihat salah satu anak buahnya tewas dengan kepala pecah mengerikan. Maka tanpa menunggu lebih lama lagi, tubuhnya meluruk ke depan disertai teriakan keras. Tinju kanan-kiri menjulur ke arah perut Candra Kirana.
Malim Janaka membiarkan luncuran tinju itu. Sementara tangannya menghantam dua lawan di depan. Tidak diduga-duga salah seorang lawan menyabetkan goloknya ke bagian tangan. Sehingga terpaksa kakek berambut putih ini menarik kembali tangannya. Sedangkan tinju Kaswa Tama tanpa ampun lagi menghantam perutnya.
Buk!
"Hohoho...!"
Bukannya terjajar, Candra Kirana malah mengusap-usap perutnya yang terkena tinju Kaswa Tama sambil tertawa-tawa kegelian. Ini sungguh membuat kaget Ketua Gerombolan Singo Garong ini. Padahal setengah dari tenaga dalamnya telah dikerahkan. Namun, justru dirinya sendiri yang terjajar.
"Gelitikanmu sungguh membuatku geli, Singo Jelek. Coba gelitik aku lagi. Tapi aku harus membuat mampus kawan-kawanmu dulu. Barulah setelah itu, kita bebas berbuat apa saja!" ejek Malim Janaka lantang.
Selesai Candra Kirana berkata, tubuhnya yang gemuk meluruk ke depan. Gerakannya ringan, pertanda ilmu meringankan tubuhnya sudah sangat sempurna. Dua anak buah Gerombolan Singo Garong terkejut, tetapi juga merasa senang karena sekarang dengan leluasa dapat menyodokkan golok ke tubuh laki-laki tua gendut itu.
Buk! Buk!
"Heh...?!"
Dua anak buah Kaswa Tama terkejut setengah mati. Karena senjata mereka sama sekali tidak dapat menembus atau melukai tubuh Candra Kirana. Dalam keadaan terperangah begitu, tiba-tiba Malim Janaka menjulurkan kedua tangannya kearah mereka.
Tap! Tap!
Dalam waktu yang sekedipan mata, dua anak buah Kaswa Tama telah berada dalam cengkeraman Candra Kirana. Saat itu juga, laki-laki tua gemuk ini membenturkan dua tubuh itu satu sama lain. Dan....
Prak! Proook!
"Wuagkh!"
Wajah kedua anak buah Kaswa Tama kontan hancur akibat benturan satu sama lain. Begitu Candra Kirana melepaskannya, maka kedua pemuda ini jatuh terduduk tidak bangun-bangun lagi.
"Orang tua gila! Matilah kau! Heaaa...!" teriak Ketua Gerombolan Singo Garong dengan mata melotot.
Kaswa Tama tiba-tiba saja mencabut tombak pendek bermata ganda dari pinggangnya. Tindakannya ini disertai lesatan tubuhnya kearah Candra Kirana. Tombaknya meluncur deras menusuk ke bagian lambung. Malim Janaka tentu tidak tinggal diam. Langkahnya cepat bergeser ke samping kiri sejauh dua tindak.
Sehingga, mata tombak membeset tempat kosong. Sementara Kaswa Tama sendiri terbawa luncuran senjatanya yang cukup berat. Melihat kesempatan baik ini, Malim Janaka jelas tidak menyia-nyiakan kesempatan. Tangannya seketika berkelebat. Dan....
Krak!
"Aaa...!" Kaswa Tama kontan menjerit sekeras-kerasnya. Pinggangnya tahu-tahu terhantam tinju Candra Kirana hingga patah. Saat itu juga Kaswa Tama ambruk, tanpa mampu melakukan perlawanan lagi. Melihat ketuanya tidak berdaya, dua orang anak buah Kaswa Tama yang tangannya hancur langsung berlutut di depan Candra Kirana.
"Ampun.... Kami mengaku kalah!" ucap kedua pemuda itu ketakutan.
"Kalian sudah kalah. Hahaha...! Lalu kalian menginginkan apa lagi dariku?" tanya kakek berwatak jenaka ini sambil mengusap perutnya yang bundar.
"Ka..., kami hanya ingin selamat saja. Beri kami keselamatan hidup agar dapat memperbaiki segala kesalahan yang pernah kami lakukan!" ratap salah seorang pemuda penuh permohonan.
"Kalian memang tikus pengecut! Aku mana mungkin dapat melepaskan tawananku begitu saja? Semua harus ada syaratnya," sahut kakek bercaping ini tanpa menghilangkan senyumnya.
"Apa syaratmu, Tuan...?" tanya Ketua Gerombolan Singo Garong sambil menahan sakit luar biasa di pinggang.
"Hahaha. Bagus! Kiranya kau masih dapat bicara. Jawaban yang jujur turut menjadi pertimbanganku, apakah aku harus mematahkan lehermu atau tidak!" tegas Candra Kirana, bernada mengancam.
"Baik! Kalau aku tahu tentu aku segera menjawab dengan jujur," sahut Kaswa Tama pasrah.
"Hm.... Apakah kalian tahu, siapa saja yang telah mengadakan kekacauan di Pandu Galuh?" tanya Candra Kirana.
"Kami sama sekali tidak tahu. Akhir-akhir ini, kota Pandu Galuh yang menjadi pusat kerajaan memang dalam keadaan tidak aman. Kotaraja yang telah berubah menjadi kota menyeramkan. Banyak orang yang hilang di sana. Beberapa pendatang juga tidak kembali. Kota itu telah berubah menjadi kota hantu. Kalau Tuan sudi mendengarkan aku, sebaiknya jangan coba-coba pergi ke sana!" saran Kaswa Tama, yang kini memanggil Candra Kirana dengan sebutan Tuan.
"Hohoho...! Mana mungkin aku membatalkan niatku? Aku punya tugas khusus di sana," sahut Candra Kirana.
"Terserahlah. Sebagai pecundang, tentu kami tidak dapat melarangmu. Aku telah memberi peringatan yang terbaik!"
"Ya..., bagus! Kalian telah memberi peringatan padaku. Lain hari, kalau kulihat kalian menempuh jalan sesat lagi, maka aku tidak segan-segan menghabisi kalian bertiga!" ancam Candra Kirana, bersungguh-sungguh.
"Mana kami berani melakukan kejahatan lagi?"sahut Kaswa Tama sambil menundukkan kepala.
Ketika ketiga laki-laki itu mengangkat wajah kembali. Namun Malim Janaka sudah tidak berada di situ lagi. Dia telah berkelebat cepat meninggalkan tempat ini.

192. Pendekar Rajawali Sakti : Pusaka Lidah SetanTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang