Sekolah itu bukan beban. Nikmati, syukuri, pelajari, dan jalani, maka everything will be okay..
.
.
.
.
.Pagi itu sangat cerah sekali. Aku dan kedua teman ku, sudah berlari-lari di tengah lapangan, akibat terlambat datang ke sekolah. Ini semua karena monmon- nama aslinya Monika, cuman aku mengejeknya dengan sebutan monmon- mengajak aku dan Ira makan di kantin ibu zubair.
Salah Aku juga sih, mau-mau aja digoda. Dasar perut! Dengar kata makanan sikit, pantang buat nolak!
"Lain kali, kalau si monika ngajak lagi, kita gak usah mau Ris. Ajakan dia, sesat semua." Sorak Ira yang berlari di depan ku. Lapangan sekolah kami ini luas sekali. Dan untuk pertama kalinya aku menggerutu karena ini. Kaki ku sudah pegal, ditambah yang baru makan, udah gitu matahari terik sekali, oke, ini sudah cukup menyiksa ku.
"Tapi serius loh Ir, itu mie nya memang enak. Lain kali ajak lagi ya mon," jawab ku jujur. Seketika Ira menghentikan laju larinya dan memutar tubuhnya ke arah ku. Matanya memicing tajam kepadaku. "Bisa-bisanya kau muji itu mie Ris! Ini kita lagi lari loh. Kena hukum tepatnya. Dan masih bisanya kau bilang enak? Aneh kau!" Ira bersungut-sungut. Karena sudah pasti namanya yang dulu adem ayer, gak pernah masuk buku dosa, akan tercoreng dan ternoda akibat kesalahan hari ini.
"Kau yang salah kali. Aku mah baik itu, ngajak teman makan ke kantin. Kau kenapa mau coba?" Monika menghampiri aku dan Ira. Bodo amat, kalau pak Parlin marah sama kami. Udah tahu kami cewe, si lemah lembut, malah dikasih hukuman dua kali lari lapangan. Iya kalau lapangan nya kecil, lah ini? Kebun binatang aja kalah.
"Yah, kan kau ngajak makan. Aku udah nolak ya, tapi perut ku..." Aku geleng-geleng kepala mendengarnya.
Udalah, rombongan orang-orang yang gak bisa nolak makanan, diam aja.
"Bacooottt" ejek Monika dan langsung kembali lari. Sekali putaran lagi. Yuk bisa yuk. Pasti bisa. Aku, Ira dan Monika kan rajin beribadah, pasti bisa.
"Iramaya Disti. Ini pelanggaran pertama kamu. Lain kali ingat atau kalau perlu hapal setiap waktu di sekolah kita ini. Kapan masuk, kapan pergantian les, dan kapan pulang. Jangan telat lagi, oke?" Ira dengan mantap menganggukkan kepalanya. Yang baru pertama melanggar peraturan memang gitu. Sok kaku, padahal yang menghukum gurunya sendiri. "Oke, kamu boleh masuk. Riska sama Monika tinggal!" Sudah ku tebak. Anak bandal seperti diriku ini pasti akan kena ceramah yang lebih panjang lagi. Kita liat aja.
Ira sudah pergi berlari ke dalam kelas, tidak lupa menda-da kami tadi. Bisa ku tebak, jantungnya itu belum kunjung aman. Karena kami masuk les kimia di jam awal hari ini. Sekilas aku merasa iba, mengajak keliru anak teladan. Fiuh.
"Sekarang alasan kalian apa lagi? Jangan bilang karena jalan raya macet, karena kita bukan tinggal di kota metropolitan. Yang tiap sisi ada lampu merah. Jangan bilang karena bocor ban lagi. Semua alasan kalian, sangat-sangat membuat bapak muak!" Kalau dimarahi seperti ini sih, biasanya aku sama monika hanya menunduk, menatapi sepatu kami masing-masing. Kalau ditanya sekali lagi, barulah kami menjawab. Tidak pa-pa. Kami sudah kelas sebelas sekarang, sebentar lagi kami akan tamat. Melawan sedikit itu wajar.
"Kalian masih punya telinga kan?" Suaranya mulai meninggi. Kalau seperti ini, waktunya mengarang bebas, untuk menciptakan satu jawaban. "Itu Pak, tadi kita makan. Ya kan Ris?" Monika duluan menjawab sambil menyenggol tangan kananku.
"Iya pak. Kita tadi makan." Jawabku dengan jujur. Pak Parlin pasti sangat bosan kami bohongi terus. Macet yang kami maksud itu, bukan karena lampu merah sih, cuman segerombolan kerbau yang membuat kami tidak bisa lewat. Coba terka, apa yang membuat kita tidak bisa lewat di jalan raya, pasti macet kan? Nah sebenarnya kami tidak terlalu salah sih. Bapak itu aja yang salah kira. Mana ada lampu merah di daerah kami. Ada-ada aja.
"Kalian itu memang gak niat sekolah ya? Uang spp kalian itu mahal loh. Gak kasihan sama orang tua kalian, yang susah payah bayar uang sekolah Kalian? Alasan apa itu makan? Kalian kalau mau jadi bandel mending gak usah sekolah! Ingat! kalau kalian gak mau mikirin masa depan Kalian, masih ada orang tua kalian yang harus dipikirkan!"
"Aku ditraktir si Monika sih pak." Sela ku. Selagi ada jawaban yang terlintas harus disampaikan. Ini adalah prinsip ku.
"Nama kalian sudah sering masuk ke daftar siswa terlambat!. Sekali lagi kalian telat, surat panggilan menyusul ke rumah kalian masing-masing!. Dengar?" Aku dan Monika kembali mengangguk. Pak Parlin pergi membawa buku biru kesayangannya, tempat nama ku dan Monika berada. Sudah tak teringat lagi, nama kami berdua ditulis dibuku itu. Andai saja buku itu bisa bersuara, sudah kupastikan dia bakal berucap, "Hey Riska, Monika. Nama kalian nih, bosen gue jaga-jaga nama kalian ini. Mana gajinya woi,"
Dan itu pasti tidak mungkin terjadi teman.
Sekilas jika mengingat-ingat tentang kelas, puji Tuhan aku masih masuk di deretan kelas unggulan. Aku dan Monika memang anak unggulan. Dan kelas kami juga, sejajar dengan ruang piket, ruang kepsek, ruang guru, dan terakhir ruang BK. Tempat namaku dan Monika berada.
o0o
"Dari mana kalian?!" Damn! Sial! Padahal kami udah sembunyi-sembunyi loh yang jalan ini, bisa juga kami ketahuan.
Ibu kepsek melihat kami, seperti kami ini mangsanya yang siap di terkam. Ngeri sekali. Monika cengengesan dan aku menyengir lebar, yang kutahu, itu tidak ada artinya sama ibu kepsek tercinta.
"Kalian gak dengar bel masuk udah bunyi?, Masih muda kok udah nengel*!" Ini nih yang gak kami suka dari ibu kepsek. Omongan nya itu gak ada filter kebaikan sama sekali. Nyinyir mulu, kalau ada kesalahan bahkan yang kecil sekalipun. Ibu kepsek ini kalau ngomong bisa mematikan mental seseorang, kalau dia mudah down. Padahal bentar lagi mau pensiun. Namun sangat disayangkan, ibu kepsek pensiun pas kami tamat. Itu artinya, kami mesti extra sabar dan hati-hati, kalau tidak mau diceramahi dengan kata-kata pedasnya. "Dari mana kalian?!" Ulangnya sekali lagi.
Monika udah menyenggol-nyenggol tanganku, pertanda kali ini giliran aku yang menjawab. Jujur, gugup juga untuk mengungkapan satu kata sama ibu kepsek ini. "Itu bu... kami... kami dari perpus buk." Dengan terbata-bata hanya mengungkapan itu doang. Oalah, aku membuat satu kesalahan lagi.
"Kami minjam buku buk. Cuman disuruh nyapu dulu sama ibu perpustakaannya baru dilayani. Ya kan mon?" Monika menganggukkan kepalanya namun enggan untuk mengangkat kepalanya. Kami memang bandal. Namun, mencari masalah ke ibu kepsek di luar rencana kami. Anak bandal seperti kami ini, juga ingin lulus tepat waktu dan segera melanjut masuk ke ptn impian kami.
"Mana buku yang kalian pinjam?" Tanyanya lagi. Ibu kepsek selalu membawa tisu ditangannya dan satu handphone iphone keluaran lama, yang selalu dia genggam. Wajah nya yang awet muda, sangat kontras terlihat apabila dia marah. "Buku apa itu, satu cinta sejuta repot, backstreet aja,? Ngapain minjam buku yang gak ada ilmunya? Buang-buang waktu aja kalian baca buku yang kaya gitu. Dari mana jalannya kalian bisa pintar kalau kayak gitu?! Bacaan nya aja gak berbobot!" Oh sungguh kejam teman. Aku baru ingat, cuman buku terbitan erlangga, grafindo dan teman-temannya yang lain, yang berbobot dan berilmu, yang patut dipinjam para siswa seperti kami ini. Rombongan fiksi katanya tidak berilmu. Kalian setuju? Wah, kalau aku sih engga.
Kami hanya diam menunggu omongannya selanjutnya. Mau melawan, namun kami masih ingat dia siapa.
"Cepat masuk! Dan jangan ulangi kesalahan kalian hari ini! Buku kayak gitu gak layak dipinjam!" Tapi disediakan di perpus. Ada-ada aja. Aku dan Monika segera berlalu. Malas sekali jika harus mendengar omongannya lagi. Fiksi itu penting. Banyak ilmunya juga, kalau memang kita sigap sebagai pembaca. Kalau ibu kepsek tidak suka dengan bacaan fiksi, setidaknya jangan menghalangi atau menjelekkan, yang tidak seharusnya jadi urusannya. Mau kami baca apa pun, itu bukan urusan ibu kepsek.
Someone to Something
Ditulis oleh riskadamayantinadeak.
.
.
.
.
.Sama seperti manusia, setiap buku punya bobotnya masing-masing. Kita tidak bisa memaksakan buku-buku itu menjadi seperti yang kita inginkan.
Adek beli pete, aku beli permen
Kami pergi bawa kaca
Jangan lupa vote dan komen
Wahai para pembaca*Nengel= (bahasa batak) yang artinya kurang pendengaran atau tuli.
KAMU SEDANG MEMBACA
Someone to Something
Fiksi RemajaIni tentang masa SMA dan segerombolan masalah yang ikut serta. Tentang Cinta juga, yang kala itu aku pikir adalah hal yang biasa. Tentang perjalanan hidup, yang sebetulnya menarik untuk dikisahkan. Masa SMA tidak akan asyik, jika kita tidak berani k...