Jatuh Cinta

1.1K 92 17
                                    

"Bangunkan aku seribu angin,"

adalah sebuah kalimat yang ditulis di sobekan kertas buram bekas ujian matematika. Yang menerima kertas hanya bengong dengan sebuah senyum kecil tercetak di wajah yang malah membuatnya tampak seperti orang bodoh.

Hmm, dalam kasus ini, sih, sebenarnya kata tampak tidak diperlukan. Pasalnya, ia tak paham secuil pun isi kertas yang diberikan kepadanya.

Taufan bukanlah anak jenius macam salah seorang adik kelasnya, Solar, yang baru naik ke bangku sekolah menengah atas sudah menggaet lima medali emas. Yang paling mirip dengannya paling-paling si Blaze, adik kelasnya yang hobi godain ayam peliharaan Ibu Kantin. Sementara ia sendiri hobi ngagetin orang tak berdosa yang lewat depan kelasnya. Sama-sama pecicilan.

Merasa buta arah, Taufan memutuskan untuk bertanya kepada seorang sohibnya, Gempa, yang terkenal bijak dan rajin belajar, bagai penyihir tua di sebuah negeri dongeng. Taufan adalah seorang pengelana yang mencari kitab suci—yang kali ini berupa sobekan kertas buram ujian matematika.

"Jadi, ada apa gerangan mampir ke sini, wahai Anak Muda?" tanya Gempa. Ia mengelus-elus janggut putih panjang sambil duduk sila di sebuah singgahsana.

"Ampun, Guru! Hamba ingin bertanya mengenai pesan yang hamba terima!" Taufan bersujud di hadapan Gempa, menyodorkan sobekan kertas yang bersinar.

Gempa menerima sobekan kertas sambil masih elus-elus janggut. Mata emasnya bergulir dari kiri ke kanan, membaca kalimat yang tertoreh di sana. Kepala Gempa manggut-manggut, menyalakan secercah harapan di kepala Taufan yang sebenarnya adalah kerlipan lampu LED yang sedang diinstalasi anak-anak lainnya.

"Kalimat ini mengingatkan Guru pada sebuah legenda. Tepatnya legenda Candi Prambanan. Saya yakin kamu juga pernah dengar, kan."

"Sudah kuduga! Sebenarnya hamba juga berpikiran demikian, Guru. Tapi hamba masih bingung. Masa hamba disuruh bangun candi dari angin, gitu?"

Legenda Candi Prambanan adalah kisah populer di mana seorang gadis bernama Roro Jonggrang mengelabui pemuda yang berniat memperistrinya, Bandung Bondowoso, untuk membangun seribu candi dalam semalam. Pada akhirnya, Roro Jonggrang berniat menggagalkan usaha Bandung dengan menumbuk padi dan membuat ayam berkokok. Menyadari bahwa ia telah dikelabui, Bandung Bondowoso murka dan mengutuk Roro menjadi sebuah patung.

Dalam pemahaman Taufan yang nilai rapornya nyerempet-nyerempet KKM, ia disuruh membangun seribu candi dari angin. Namun, bagaimana caranya memerangkap angin yang bergerak? Pakai toples? Apakah jika diperangkap masih bisa disebut angin? Apakah diskon 50% ditambah 50% sama dengan diskon 100%? Mulut Taufan berbusa sebelum bisa menyimpulkan jawaban dari semua pertanyaan itu.

"Berdasarkan pengetahuan Guru, angin bisa ditangkap dengan teknologi turbin angin. Jika kita menginginkan seribu angin, maka kita memerlukan seribu turbin angin."

"Gimana caranya hamba bisa dapetin turbin angin, Guru?!"

Gempa merogoh kantong celananya, menarik sebuah ponsel pintar yang tidak serasi dengan janggut putih Santa Claus-nya. Ia mengetikkan sebuah pertanyaan di bar pencarian. Beberapa detik kemudian, matanya membelalak sampai nyaris keluar.

"Anak Muda," Gempa menepuk pundak pemuda itu, "yang sabar, ya."

"Ke-kenapa, Guru?!"

"Dengar, Guru tidak bisa membantumu kali ini." Ia membalikkan layar ponselnya ke arah Taufan. "Guru tidak yakin kita punya biaya sebanyak ini."

Taufan mengernyit untuk memperhatikan harga yang tertera. Detik selanjutnya, ia terempas ke belakang melihat deretan angka yang jumlah nolnya melewati batas layar ponsel Gempa. Tangan-kakinya kejang-kejang bagai cacing tanah kurang air.

BANGUNKAN AKU SERIBU ANGIN (HaliTau/TauHali )Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang