Menggenggam Tanganmu

743 85 10
                                    

"Hey, hey! Berhenti mendorongku!"

"Huhuhahaha, kamu gak akan bisa lari kali ini!"

"Ah!"

Byur! Sesuatu tercebur ke danau dangkal beraliran deras itu. Penceburan berencana itu lantas mengundang gelak tawa sang pelaku kejahatan. Bukannya merasa bersalah, ia malah makin terbahak melihat si korban kewalahan menepi.

"Itu balasan karena ninggalin aku di toilet tadi!" bela si pelaku. Ia masih berdiri di atas batu besar tempatnya mengeksekusi tindak kriminal yang barusan ia lakukan.

Beberapa detik berlalu tetapi kepala berambut coklat tak juga menepi. Sang pelaku mendadak berkeringat dingin menyadari kemungkinan buruk yang terjadi. Memang sih, aliran danau yang terhubung dengan air terjun itu dangkal, kira-kira hanya sebatas betis mereka, tetapi alirannya lumayan deras.

Sontak, ia merinding. Bagaimana kalau ia tidak sengaja membunuh si korban yang tidak juga menampakkan batang hidungnya?!

"Ooooiii! Kamu dengar aku? Woi, di mana, sih?!" serunya, yang tentu saja tidak mendapat balasan.

Pemuda itu mulai kelabakan. Kepalanya toleh kanan toleh kiri mencari orang yang bisa dimintai tolong, tetapi di obyek wisata yang memang sepi pengunjung itu, hanya mereka berdua yang menempati. Dua yang sekarang hanya satu.

"WOI, BAJIGUR! INI GAK LUCU! KAMU DI MANA?" Keringat dingin yang mengalir di keningnya menyaingi derasnya air terjun.

Sosok itu hilang tanpa jejak. Seharusnya ia masih ada dekat karena air yang dangkal. Hah! Jangan bilang si korban sudah terbawa arus?!

Pemuda itu membentuk sebuah mangkuk dengan kedua telapak tangan, bersiap melakukan pertolongan terakhir yang sama sekali tidak memberikan output berarti, "VOLTRA!!!"

Tep. Sebuah tangan menggenggam kakinya dari bawah bebatuan tempatnya berdiri.

"Hiehh?! SETAN!"

Byur!

Ceburan kedua berhasil dilancarkan. Kini, sang pelaku telah mendapatkan balasan yang setimpal. Seluruh pakaian dan tubuhnya basah akibat tercebur. Dengan susah payah ia duduk dalam aliran deras itu dengan rambut berantakan ke segala arah muka, membingkai wajah cemberutnya.

"Heh, itu balasan untuk jorokin aku, Beliung," ejek si korban yang memasang wajah bangga.

"Bodoh! Kamu buat aku khawatir, tahu!"

Bukannya memarahi, Beliung menerjang tubuh Voltra yang jatuh untuk kedua kalinya. Tubuh mereka ambruk di tengah-tengah danau yang sejuk membasuh kulit. Pemuda yang lebih tinggi bisa melihat jelas bagaimana pipi rekannya menggembung seperti ikan buntal. Tanpa setitik keraguan pun, ia mencubit keduanya sampai kempes.

"Mmphh! Kurang ajar!"

"Hey, lihat, ada pelangi di sana," tunjuk Voltra pada pancaran tujuh warna di dekat air terjun.

"Jangan coba alihkan—oh wow, cakep!" Pemuda yang lengannya masih lengket di tubuh Voltra langsung terpana oleh payung berwarna-warni itu.

Anak ini, gampang sekali. Satu tangan menutupi mulut, menutupi tawa akibat short attention span Beliung yang membuatnya mudah sekali jadi bahan kejahilan.

"Hey." Voltra memulai.

"Apa?"

Mengubah posisi mereka jadi duduk bersandar di bebatuan, keduanya masih memandang titik yang sama. Membiarkan rintik rinai dari air terjun menggelitik kulit yang sudah sepenuhnya basah.

Ia melirik rekannya dari sudut mata, lalu memberikan kecupan singkat di pipinya yang basah, "Aku gak akan ninggalin kamu."

Pipi Beliung bersemu mendapat perlakuan mendadak itu. Dalam dada ia menjerit tak karuan sampai mau meledak.

"Oh ya, itu janji! Aku gak suka ditinggal, soalnya!"

"Iya, iya. Gak akan, kok." Voltra merapatkan duduk mereka, merangkul tubuh rekannya lebih dekat ke tubuhnya. Dengan suara yang nyaris tak terdengar, ia berbisik, "Gak akan lagi."

"Hm? Kamu bilang sesuatu?"

"Gak."

Sebuah percikan air sengaja dilempar ke wajah Beliung. Pemuda itu kembali manyun ketika jatuh pada jebakannya lagi.

"Aku benci kamu!"

Kalah cepat kejar-kejaran dengan Voltra, ia jadi wadah pancaran seringai sinis yang bikin urat nadi berdenyut.

"Oh, ya? Tapi aku sayang kamu."

Belum selesai mengatur suhu wajahnya, lagi-lagi ia dibuat bungkam. Sungguh, sangat tidak adil bagaimana ia seorang yang suka dibuat begini.

"A-aku ...," pada akhirnya, ia memang tak bisa menang, "aku juga sayang, kok."

Jemari, kening, dan hidung mereka bertaut. Di bawah percikan sejuk air terjun yang memancarkan cerah kilau mentari pagi di belakang mereka.







Kali ini, aku gak akan lepaskan genggaman tangan kita. Aku janji.

🎉 Kamu telah selesai membaca BANGUNKAN AKU SERIBU ANGIN (HaliTau/TauHali ) 🎉
BANGUNKAN AKU SERIBU ANGIN (HaliTau/TauHali )Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang