Kata Sandi yang Terlupa

512 78 1
                                    

________________________________________________

Akademi Pulau Rintis, setahun yang lalu.

________________________________________________

"Cih, lagi-lagi kehabisan kursi."

"Uuh, ampun, Hali. Jangan cubit pipiku kali ini!"

Dua insan beda jurusan berdiri di depan salah satu kedai di kantin, meratapi nasib akibat kehabisan kursi. Dari ujung ke ujung, kursi telah dipenuhi oleh jiwa-jiwa lapar murid Akademi Pulau Rintis. Jam istirahat kedua memang berbahaya untuk nongkrong di kantin, sebab seseorang bisa kena sundul dari belakang jika kelamaan memesan makanan. Beberapa hari lalu, salah satu korban ditemukan nyangkut di pohon rambutan dekat bangunan kantin.

Taufan memasang wajah memelas sambil memegangi mangkuk panas berisi mi ayam yang ia pesan. Dari samping, Halilintar menatapnya dengan mata setajam bilah pedang. Ah, habislah, batin Taufan. Ia sadar bahwa ini salahnya kelamaan di kelas selepas menyelesaikan tugas tambahan. Kenapa tidak meminta Halilintar memesan tempat terlebih dahulu? Anak biru itu menyeret pasangan petirnya untuk menyelesaikan tugas yang sama sekali bukan tanggung jawabnya.

Akhirnya mereka kehabisan kursi setelah memesan makanan. Nasib baik, sih, mereka masih mendapatkan jatah makan siang. Atau Taufan akan bernasib sama seperti anak kelas sebelas yang nyangkut di pohon rambutan.

Halilintar memutar otak—dan memutar pandangan—untuk mengakali ketidakbisaan mereka untuk duduk. Pilihannya pun jatuh pada sebuah pohon rindang dekat kantin yang tidak sedang ditempati siapapun. Pemuda itu merangkul pundak Taufan dan dengan tenaga yang lumayan, menyeretnya segera dari depan kedai.

Diam-diam, Taufan bersyukur pipinya tidak harus melar kali ini. Tiap kali ia kena masalah, organ kenyal di wajah itu pasti akan kena cubitan maut dari sang pacar. Bukan berarti ia benci—loh, entah sejak kapan sifat masokhis itu tumbuh dalam dirinya.

Taufan duduk berdampingan dengan Halilintar, mengimingi-imingi pemuda itu dengan sebuah hadiah yang hanya dibalas Halilintar dengan, "Tidak butuh."

Kalau kesabaran Taufan menghadapi pacarnya bisa diukur dengan air mata, pastilah genangan itu telah menjadi samudra saat ini. Sabar banget, loh, Taufan menanggapi makhluk bersumbu pendek ini.

"Ini." Halilintar menyodorkan satu tusuk sate usus ke mangkuk Taufan.

"Eh?"

"Kerja bagus udah nyelesein tugasmu tadi. Jangan diulang lagi." Halilintar tak menunggu balasan Taufan untuk mencomot gorengan yang telah ia pesan.

Manik biru itu berkaca-kaca. Keinginannya untuk menggeplak sang pujaan hati berubah menjadi keinginan untuk menerjang tubuhnya. Hasrat itu langsung urung ketika pemuda di sampingnya memberi peringatan Awas Tegangan Tinggi.

Kedua insan dengan warna bertolak belakang menikmati angin sepoi-sepoi yang menggelitik wajah. Tak butuh waktu lama hingga isi mangkuk mereka habis, efek tugas memang begitu menguras tenaga. Kali ini, Taufan sudah lebih dulu menempelkan pelukannya pada lengan Halilintar.

"Panas, tahu. Minggir, sana."

"Gak. Aku gak akan lepasin Hali selama istirahat berlangsung~"

"Nanti, kan, kita pulang bareng."

"Gak!" Taufan menggembungkan pipi mendengar jawaban pacarnya yang monoton. "Rumah kita, kan, beda arah, Hali. Pulang bareng pun, paling pol sampe depan gang aja, kan!"

Halilintar menghela napas. Tidak salah, sih. Walaupun mereka selalu "pulang bersama" selepas kegiatan ekskul, mereka harus berpisah di depan gang sekolah. Tentunya ia sangat tahu kebiasaan sang kekasih yang kelengketannya menyaingi lem tikus.

BANGUNKAN AKU SERIBU ANGIN (HaliTau/TauHali )Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang