Jawaban dari Teka-Teki

465 82 3
                                    

Hhh, mentari sore bulan September memang bisa dibilang neraka kedua. Apalagi jika di saat yang sama, pendingin ruangan kelas rusak dan tidak ada opsi lain seperti kipas angin atau semacamnya. Taufan pernah nekat membangun kolam air es berbahan plastik demi melangsungkan pembelajaran di kelas, tetapi oleh ketua jurusan langsung kena sabet rotan.

Tak mau di punggungnya tercetak memar merah yang mirip lindesan roda mobil, pemuda itu bersama teman sekelasnya terpaksa menjadi manusia panggang untuk sementara waktu. (Yang namanya sementara, nih, sudah dijamin dalam praktiknya tidak sementara sama sekali.)

Kadang ia iri dengan anak-anak TKJ yang kerjanya di laboratorium komputer. Wuih, pasti sejuk! Setiap hari berlindung di bawah AC sambil main game di komputer—nah, lagi-lagi ia mengkhayal tentang enaknya saja.

Omong-omong tentang TKJ, Halilintar anak jurusan itu, kan?

Ia langsung pindah haluan dari yang jalannya di setapak batu ke lantai berkeramik milik laboratorium komputer. Benar-benar melupakan misinya untuk menuju ke lapangan menghadiri ekskul bola basket. Kepalanya nyembul dari balik pintu, mencari-cari sosok merah yang selalu menghiasi ingatannya dengan keinginan untuk memeluknya dari belakang. Hm, sepertinya tidak ada yang sedang menghuni laboratorium komputer bagian selatan.

Pemuda itu lanjut menyusuri sepanjang gedung hingga ia mencapai laboratorium komputer utara. Dengan dramatis ia ngerem menggunakan sepatu sport ber-highlight kuning ngejreng yang menyilaukan mata dannn ... GOL! Halilintar ada di sana, Mamank!

Oh, sungguh indah pujaan hati. Mata tajam itu memeriksa tiap bagian komputer yang tampak ribet dengan teliti. Beberapa alat seperti palu dan gergaji (hah, buat apa?) ada di sekeliling. Sepertinya ia sedang berniat merakit PC.

Taufan melesat lewat pintu untuk menghampiri geledek favoritnya. Tanpa sadar seseorang membuntutinya dari belakang.

"Oh, Hali~ akhirnya kita ketemu!"

Taufan melayangkan peluk, Halilintar dengan luwesnya kayang, Taufan terjerembab ke lantai.

Pemuda biru itu mencak-mencak, memprotes bawa aset berharga (wajahnya) bisa lecet gara-gara aksi tadi. Padahal salah dia sendiri. Seperti biasa, Halilintar acuh tak acuh, lebih memilih melancarkan hubungan dengan seperangkat alat keras di mejanya.

Setelah bangkit dari jatuhnya, Taufan menyeret sebuah kursi nganggur yang paling dekat dengan Halilintar. Seperti dugaannya, laboratorium komputer masih sejuk bahkan di sore durjana perwujudan neraka ini. Grhhh, rasanya pengin tinggal selamanya di sini~!

"Hali, ngerjain apa? Tugas, ya? Kenapa sendirian aja?" Yang terdengar setelahnya hanyalah suara angin berembus dari AC dan "klik-klak" dari alat-alat yang dipegang Halilintar.

"?"

Keheningan ini ... kapan ia terakhir kali merasakannya? Hidup Taufan selalu dikelilingi anak-anak berisik yang kalau mencerocos bagai tak kenal esok. Selain itu, kesehariannya identik dengan langit luas yang membentang; seperti saat ia ekskul basket atau main layang-layang di waktu luang. Tidak seperti di laboratorium komputer, tempat yang di matanya bagaikan kotak kecil dengan pendingin ruangan. Tak perlu takut kepanasan, paling takut kesetrum saja.

Sekilas, ia bisa melihat wajah Halilintar nongol dari sisi kotak CPU. Wajah itu pernah tersenyum tidak, sih? Ia kenal anak-anak seperti Halilintar yang jarang tersenyum seperti Solar (lagi-lagi adik kelasnya satu ini jadi contoh nista). Namun, tiap kali Taufan melakukan hal konyol seperti memperagakan sikap lilin di air mancur taman sekolah, Solar yang jaim akan ngibrit menyembunyikan ledakan tawanya. Berbeda dengan Halilintar; pemuda itu benar-benar batu.

BANGUNKAN AKU SERIBU ANGIN (HaliTau/TauHali )Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang