Dwika Sokajati Karsaputra, abg labil yang masih butuh tuntunan dari Abah. Mulai dari kisah pertemanan, cinta, bahkan peliknya hidup dengan sedia Abah tampung semua keluh kesah. Jati tak lebih dari daun sirih tanpa tongkat kayu sebagai penopang. Abah...
Sinar oranye terhampar bak goresan cat di atas kanvas. Dipadu warna-warni layangan lengkap dengan buntut panjang dari kertas. Iringan tawa dari bocah-bocah yang pulang dari madrasah mengaji seraya menenteng seplastik teh sisri serta tas. Benar-benar suasana sore yang khas.
Turut andil bagian dalam kesibukan desa sore itu, Abah menggiring ayam peliharaannya ke dalam kandang. Tak banyak, hanya sepasang jantan dan betina ditambah lima piyik. Meski begitu, butuh tenaga ekstra agar sekeluarga ayam itu mau menurut. Yang paling bebal adalah si bungsu dengan nama E.
"Kur... Kur... Kurayo to, Nang ndang mlebu kandang. Wis sore mundakdipangan wewe gombel," bujuk Abah pada anak ayam yang masih asyik bermain dengan air selokan.
(Kur... Kur... Kur ayo dong, Nak cepetan masuk kandang. Udah sore nanti dimakan wewe gombel.)
"Nanti kalau jatuh ke selokan tak biarin loh." Begitulah Abah anak ayam saja diasuh seperti anak sendiri. "Siji... Loro... Te—" (Satu.. Dua... Ti—)
Hitungan mundur Abah terhenti oleh suara keras dari dalam selokan yang airnya tak terlalu kotor. "WIS DIKANDANI NDANG MLEBU KANDANG NDABLEG TUTURANE," marah Abah seraya mengangkat si E yang hampir terbawa arus selokan.
(Udah dibilangin cepetan masuk kandang susah kalau dibilangin.)
Seusai menyatukan kembali E dengan keluarganya, Abah pergi membawa baskom tempat pakan. Dengan telaten, memberi makan anak-anak asuhnya. Bisa dikatakan ayam ini adalah adik tiri Jati. Sesekali memasukkan tangan ke dalam kandang guna memberi makan langsung dari telapaknya. Tujuannya untuk menjalin kedekatan antara babu dan majikan, begitu kata Abah.
Lama kelamaan, laki-laki dengan usia hampir kepala empat ini termangu. Kembali pada memori lama yang bergentayangan layaknya hantu. Tepatnya pada dua puluh tahun lalu. Lika liku cinta tanpa adanya restu.
Wulan, perempuan ayu dengan selisih satu tahun di atas Karsa yang mampu membuat masa mudanya berbunga-bunga. Kakak kelasnya dulu semasa bangku menengah atas. Cinta klise berawal dari tak sengaja Karsa menabrak Wulan yang tengah membawa tumpukan buku. Hingga membawa keduanya pada cerita yang berakhir tak bahagia.
"Pak, maksud kedatangan saya kesini hendak meminang Dek Wulan menjadi teman sehidup semati bagi saya," izinnya pada bapak Wulan yang terlihat garang. Modal nekat, Karsa yang baru setahun lulus sekolah dan Wulan yang menyandang status sebagai mahasiswa, memantapkan komitmen.
"Punya apa berani meminang anak saya? Saya tahu kamu hanya tamatan SMA. Kerja apa? Mandor atau punya sawah berapa hektare? "
Tidak munafik. Mana ada orang tua yang mau anaknya hidup melarat? Semasa kecil sampai beranjak dewasa diberikan hidup layaknya putri raja. Eh giliran sudah menikah malah diajak hidup susah. Bapak tidak mau anak semata wayangnya demikian.
Karsa meremat celana kain hitam yang digunakan. "Betul, Pak. Saya memang hanya tamat SMA. Jujur saja saya bekerja serabutan. Semua saya kerjakan asal itu halal dan bisa menghasilkan uang. Tapi insyaallah, Pak, Buk saya tidak akan memberikan Dek Wulan hidup nelangsa. Saya akan berusaha untuk memenuhi kebutuhan Dek Wulan dan memberinya kebahagiaan. "
Panggilan 'Dek' adalah ide dari Wulan. Biarlah lebih tua, ia ingin menghormati Karsa sebagai calon imam sekaligus terkesan romantis katanya.
Lama kelamaan batu di hati Bapak terkikis setelah melihat kesungguhan Karsa dan tangis putrinya yang mengiring panjatan doa di sepertiga malam. Tak berselang lama, Karsa dan Wulan bersatu dalam ikatan suci. Hingga lahirnya Jati semua baik-baik saja. Tapi tidak untuk tiga bulan berikutnya.
"Mas, Wulan mau pulang ke rumah Bapak. Wulan gak sanggup hidup susah."
Tak sepenuhnya salah Wulan. Terbiasa hidup berkecukupan, kini dipaksa mengikuti gaya keluarga Karsa yang serba pas-pasan.
"Bah, ngapain?"
Abah terlonjak kala tepukan menyapa bahu kanannya. "Haish... Ganggu orang tua lagi ngasih makan keluarga Jago kamu tuh."
Jati, si tersangka mengernyitkan dahi. Benar Abah mengapit baskom di antara ibu jari dan telunjuk. Tapi...
"Jago opo toh, Bah? Batu loh itu yang di depan."
(Jago apa sih, Bah?)
Jago dan keluarganya :
Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.
aku buat book ini karena jujur kangen sama suasana sebelum cororong. aku tinggal di daerah yg dibilang kota besar juga enggak, kadang tuh ada beberapa acara kaya hajatan gitu kan nah nanti pasti rame tetangga yang bantuin. nah pas inget itu aku kepikiran pengen buat anak enha jadi pemuda di desa gitu kayanya seru.
doain aja aku nggak labil tiba-tiba unpub😭🙏 oh ya, jaga kesehatan ya. kalau gak penting bangetttttt di rumah aja tidur siapa tahu pas bangun jadi orang kaya.