Satu

4.9K 390 11
                                    

Ia tersenyum pasrah saat Haruto mengecup keningnya dihadapan beberapa orang yang sama sekali tidak dikenalnya, sambil sesekali mencuri pandang pada wajah-wajah asing yang menatapnya. Tentu saja asing bagi Asahi, sebab seluruh tamu yang hadir adalah kolega, dan orang-orang terdekat Haruto saja.

Asahi?

Dia tidak lagi mempunyai keluarga ataupun kerabat setelah ibunya meninggal tiga bulan yang lalu—dan meninggalkan wasiat untuk menikah dengan Haruto, seorang pebisnis yang Asahi yakini sangat sukses.

Parahnya lagi, dalam surat itu tertulis bahwa ia harus merawat dan menyayangi Haruto seperti yang dilakukannya pada orang itu.

Ah, orang itu... Asahi selalu merindukannya. Apa kabarnya ya? Sudah sepuluh tahun berlalu. Asahi bahkan tidak bisa mengingat wajahnya dengan baik. Namun rasanya, semua itu baru terjadi kemarin.

Asahi menatap cincin ditangannya sendu. Ini bukan pernikahan yang diinginkannya, sungguh jauh dari segala ekspektasinya.

Mereka berdua kembali duduk, sambil sesekali menyambut orang-orang yang datang memberi ucapan selamat tanpa tahu kedua orang tersebut menikah karena adanya paksaan.

Jam di dinding sudah menunjukkan pukul delapan malam. Orang-orang sudah berpulangan sejak satu jam yang lalu. Sehingga tersisalah mereka berdua dengan para staff dan personal assistant Haruto—Mashi.

Walaupun baru mengenal selama satu bulan terakhir, menurut Asahi, mashi adalah orang yang nyaris sempurna. Dia manis, baik, dan mengerjakan semua pekerjaannya dengan baik.

Mashi juga selalu bersedia membantunya kapan saja ia membutuhkan bantuan.

Seperti sekarang misalnya.

Haruto sudah meninggalkan hotel tempat mereka menggelar pesta itu terlebih dahulu tanpa memberitahu Asahi kemana ia akan pergi. Awalnya Asahi mengira Haruto akan pulang ke mansion tempat mereka tinggal.

Iya, mansion. Hal inilah yang mendukung firasat Asahi bahwa Haruto adalah seseorang yang sukses.

Namun nyatanya, ia tidak menemukan Haruto ditempat itu. Asahi sempat berpikir untuk menginap di hotel saja, tapi untungnya ada Mashi yang siap menemaninya.

"Mashi, maaf ya aku ngerepotin" kata Asahi tersenyum sambil menunduk merasa bersalah.

"Aku harus bilang berapa kali biar kamu percaya kalau kamu nggak ngerepotin aku sama sekali" katanya dengan menyilangkan kedua lengannya.

Mashiho menghela napas, "Sekarang kamu bersih-bersih dan langsung tidur. Pasti capek kan?" sambung Mashi menarik Asahi ke kamarnya.

Haruto dan Asahi tidur di kamar yang berbeda, tentu saja. Bahkan, berbeda lantai. Kamar Asahi berada di lantai dua, sedangkan Haruto berada di lantai satu—katanya agar menghemat waktu.

Mashi tahu betul Asahi pasti lelah. Namun itu bukan satu-satunya alasan ia menarik Asahi ke kamarnya dan menyuruhnya untuk segera tidur. Itu karena dia tahu betul kemana Haruto pergi dan apa yang dilakukannya.

Walaupun Haruto dan Asahi menikah tanpa dilandasi rasa cinta. Tetap saja, Asahi adalah pasangan resmi dari bosnya.

Setelah memastikan Asahi sudah tertidur dan membereskan hal-hal penting, Mashi pun pergi meninggalkan tempat itu dan bergegas pulang.

Tiga jam sudah berlalu sejak kepulangan Mashi,

"Eungh"

Asahi berguman pelan sebelum matanya mulai mengerjap—terbangun karena suara berisik dari luar kamarnya.

"Mashi?" Panggilnya pelan, namun tak ada jawaban.

Asahi memicingkan netranya, berusaha melihat pukul berapa sekarang.

01:57

Melihat angka yang ditunjuk kedua jarum tipis itu, ia pun memutuskan untuk kembali tidur—awalnya—sebelum suara itu kembali terdengar dan menganggunya.

Ia turun dari tempat tidur dan keluar dari kamar berukuran super besar itu. Perlahan menuruni tangga sampai langkahnya terhenti pada anak tangga terakhir.

Apa yang dilihat Asahi benar-benar membuatnya terkejut. Haruto dan seorang perempuan sedang melakukan hal tidak senonoh di dapur. Asahi segera berlari kembali ke kamar dan mengunci pintunya.

Asahi memegangi dadanya yang sesak karena lari. Apakah karena berlari? Atau karena yang lain? Entah lah, Asahi tidak peduli. Ia meraih gawainya dan segera mencari kontak Mashiho. Namun sebelum ia sempat melakukan itu, ia melihat satu pesan belum terbaca dari Haruto.

"Jangan keluar kamar."

Kali ini, tangannya ikut bergetar. Haruto memperingatinya untuk tidak keluar, namun ia melanggar hal itu. Bagaimana jika suami barunya itu tahu apa yang dilakukannya?

Asahi berusaha menenangkan dirinya sendiri—kembali tidur dan berharap Haruto tidak menyadari kehadirannya tadi.

Possessive | Harusahi / HasahiTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang